Larangan Ekspor Gandum India Bisa Memperburuk Inflasi Pangan
Larangan ekspor gandum India dapat memberatkan industri makanan minuman, yang kini menjadikan India salah satu pemasok bahan baku pascaperang Rusia-Ukraina. Pelaku industri bersiap menaikkan harga produk turunan gandum.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan India melarang ekspor gandum karena gangguan produksi yang diakibatkan gelombang panas dapat memperkeruh krisis rantai pasok dunia. Kebijakan itu dikhawatirkan berdampak terhadap pasokan bahan baku gandum di sektor makanan dan minuman serta menambah buruk inflasi kebutuhan pokok di dalam negeri.
India sebagai produsen gandum terbesar kedua dunia mengeluarkan kebijakan larangan ekspor tersebut sejak Jumat (13/5/2022). Gelombang panas yang kini melanda India membuat produksi terhambat dan mendorong harga gandum domestik negara tersebut melonjak ke level tertinggi. Larangan ekspor itu keluar di tengah tingginya permintaan global atas gandum India untuk menggantikan pasokan dari Rusia dan Ukraina yang sampai sekarang masih berperang.
Setelah Pemerintah India mengeluarkan kebijakan itu, harga gandum dunia pun ikut melonjak. Mengutip data Trading Economics, harga komoditas tersebut pada Senin (16/5/2022) menyentuh level 12,47 dollar AS per bushel (gantang) atau mencapai level tertinggi dalam dua bulan terakhir. Sebelum larangan ekspor keluar, harga gandum dunia ada di kisaran 11,65 dollar AS per bushel.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, larangan ekspor itu akan memberatkan industri makanan dan minuman dalam negeri, yang saat ini menjadikan India sebagai alternatif sumber bahan baku impor gandum yang murah akibat terganggunya pasokan dari Ukraina.
Indonesia merupakan salah satu importir gandum terbesar di dunia. Pada 2021, Indonesia mengimpor 40,9 persen kebutuhan gandumnya dari Australia sebanyak 4,69 juta ton. Importir gandum kedua terbesar adalah dari Ukraina (26,8 persen) sebanyak 3 juta ton.
Adapun impor dari India hanya 318.467 ton atau 2,8 persen dari kebutuhan gandum nasional. Namun, sejak awal tahun 2022, jumlahnya meningkat setelah pasokan dari Ukraina terganggu akibat perang.
Adhi memperkirakan, sekitar setengah atau 15 persen pangsa impor gandum yang biasanya dipenuhi oleh Ukraina dan Rusia, kini dialihkan dari India. India dan Ukraina memiliki harga gandum yang kurang lebih sama, tidak seperti gandum asal Australia yang harganya relatif lebih mahal. Oleh karena itu, meski India bukan importir utama gandum untuk Indonesia, dampak larangan ekspor itu tetap terasa.
”Ini jadi kendala untuk kita menjaga pasokan. Sekarang para pelaku industri sedang berhitung dan mencari sumber pasokan lain. Meski masih ada dari Australia dan Kanada, yang pasti larangan ekspor dari India ini ikut membuat harga gandum dunia semakin tinggi,” kata Adhi saat dihubungi, Senin.
Larangan ekspor itu akan memberatkan industri makanan dan minuman dalam negeri, yang saat ini menjadikan India sebagai alternatif sumber bahan baku impor gandum.
Pasokan bahan baku yang terganggu dan harga yang semakin mahal itu pun akan berdampak pada harga produk akhir bagi konsumen. Minggu lalu, pelaku industri makanan dan minuman baru saja menaikkan harga jual sejumlah produk berbahan baku gandum hingga 3 persen untuk Mei 2022, seperti roti, biskuit, dan mi instan.
Dengan pergerakan harga gandum dunia terbaru ini, bulan depan, diperhitungkan sejumlah produk makanan dan minuman tersebut akan kembali mengalami kenaikan harga hingga 3 persen. Menurut Adhi, harga produk mau tidak mau dinaikkan karena produsen tidak bisa menekan margin keuntungan lebih lama.
Awal tahun ini, ketika perang Rusia-Ukraina baru dimulai, produsen makanan dan minuman memang sempat mengorbankan margin keuntungan dengan tidak menaikkan harga barang di tengah momen Ramadhan. Namun, menurut Adhi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan.
”Tidak mungkin margin perusahaan terus-menerus minus, dampaknya bisa ke mana-mana. Ini tidak bisa dihindari, semua konsumen dan produsen harus mengantisipasi bahwa ke depan akan ada kenaikan harga lebih tinggi lagi,” kata Adhi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies mengatakan tidak terlalu khawatir dengan kebijakan larangan ekspor tersebut. Menurut dia, India tidak banyak memasok kebutuhan gandum untuk industri tepung terigu. Produsen umumnya masih lebih mengandalkan impor dari Australia.
”Memang gandum dari India itu murah dan ketika kemarin pasokan dari Ukraina bermasalah, mereka agak gencar menawarkan ke kita. Tetapi, kalau melihat data, impor kita dari India selama ini hanya sedikit, jadi semoga tidak ada masalah,” ucapnya.
Beberapa produk turunan gandum telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat, seperti mi instan, tepung terigu, dan roti.
Jaga daya beli
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, dampak dari kebijakan larangan ekspor gandum India itu akan memengaruhi harga produk turunan gandum di dalam negeri setelah terjadinya kenaikan harga gandum di level global. Namun, ia meyakini hal itu bisa segera diatasi dengan mencari negara importir lainnya.
Meski demikian, inflasi pangan di dalam negeri tetap perlu diantisipasi. Pasalnya, beberapa produk turunan gandum telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah, seperti mi instan, tepung terigu untuk memasak, dan roti. Kenaikan harga ini pun terasa lebih berat karena terjadi di saat harga kebutuhan pokok lainnya juga sedang menanjak.
”Jadi ada dua hal yang dikhawatirkan, pertama, timing kenaikan harga yang bertepatan dengan inflasi kebutuhan pokok. Kedua, jenis produk turunannya, terutama mi instan, termasuk dalam konsumsi sembako masyarakat kebanyakan,” ujar Faisal.
Untuk meredam dampak inflasi terhadap daya beli masyarakat, Faisal mengatakan, pemerintah harus mengontrol kenaikan harga sejumlah komoditas yang ada di bawah kendali negara, seperti subsidi elpiji, bahan bakar minyak pertalite, dan tarif listrik.
”Ketimbang mengeluarkan bantuan langsung tunai (BLT), lebih baik sedapat mungkin kenaikan harga komoditas lain bisa diredam. Subsidi untuk kalangan bawah, terutama untuk komoditas yang bisa dikontrol oleh pemerintah, jangan dinaikkan dulu,” katanya.