Ombudsman Dalami Dugaan Malaadministrasi Program Subsidi Minyak Goreng
Ombudsman RI memulai pemeriksaan terhadap kementerian dan lembaga yang terlibat dalam program minyak goreng bersubsidi. Ada potensi kelalaian dan inkompetensi pemerintah yang sedang diuji lewat pemeriksaan.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua bulan sejak program minyak goreng bersubsidi dijalankan, harga minyak goreng curah di pasaran tak kunjung turun menyentuh harga eceran tertinggi. Ombudsman RI mendalami dugaan malaadministrasi dalam program penyediaan minyak goreng bersubsidi dan mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan harga.
Pergerakan harga di sejumlah situs pemantauan harga komoditas per Jumat (13/5/2022), menunjukkan kenaikan harga minyak goreng curah. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, misalnya mencatat harga minyak goreng curah naik 0,58 persen dalam sepekan menjadi Rp 17.300 per liter atau masih di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.
Sementara Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) mencatat, harga minyak goreng curah Rp 19.100 per kilogram (kg). Meski turun dibandingkan dengan Rp 20.500 per kg pada pekan sebelumnya, angka itu masih di atas HET Rp 15.500 per kg.
Komisioner Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, harga tak kunjung turun kendati program minyak goreng curah bersubsidi sudah berlangsung sekitar dua bulan. Hal itu memunculkan dugaan malaadministrasi dalam proses penyediaan dan penyaluran minyak goreng.
Di sisi lain, larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya yang sudah berjalan dua pekan terakhir tidak berdampak pada penurunan harga. Kebijakan itu justru ditengarai memperkeruh upaya pengendalian harga minyak goreng curah.
Kegagalan berbagai jenis kebijakan minyak goreng sejak awal tahun pun memunculkan pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah mengendalikan harga, mulai dari tahap merencanakan kebijakan, implementasi, sampai pengawasan. ”Ada potensi kelalaian dan inkompetensi. Ini sedang diuji melalui pemeriksaan. Dugaan malaadministrasinya bisa berkembang meski bisa juga tidak terbukti,” katanya saat dihubungi, Jumat.
Pemeriksaan maraton
Rangkaian pemeriksaan telah dilakukan Ombudsman RI awal pekan ini. Pada Selasa (10/5/2022), misalnya, Ombudsman secara maraton memeriksa empat kementerian dan lembaga yang terlibat dalam program itu, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan Kementerian Keuangan.
Yeka menjelaskan, pihak-pihak tersebut diundang untuk memberikan penjelasan terkait pasokan dan harga minyak goreng curah yang masih bermasalah di pasaran. Terkait keterlibatan Kementerian Perindustrian, Ombudsman meminta keterangan terkait konsep, tata laksana penyediaan minyak goreng curah, serta sistem pengawasannya.
Kegagalan berbagai jenis kebijakan minyak goreng sejak awal tahun memunculkan pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah mengendalikan harga, mulai dari tahap merencanakan kebijakan, implementasi, sampai pengawasan.
Sementara itu, terhadap Kementerian Perdagangan, Ombudsman meminta keterangan terkait kendala yang dihadapi dalam menjamin ketersediaan dan stabilitas harga minyak goreng lewat kebijakan harga serta pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri (DMO dan DPO) di awal tahun serta pola pengawasan yang diterapkan saat itu.
Ombudsman juga meminta keterangan dari BPDPKS mengenai prosedur pembiayaan subsidi, tahapan perkembangan, serta kendala yang dihadapi. Hal ini menyusul adanya komplain dari produsen minyak goreng sawit bahwa klaim biaya subsidi minyak goreng curah belum dibayarkan BPDPKS.
”Untuk Kementerian Keuangan, kami juga minta keterangan terkait penerimaan pajak dari sektor sawit serta skema pemberian subsidi bagi para produsen minyak goreng. Kami juga tanyakan, sejauh mana sebenarnya keuangan negara mampu mendukung ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat,” kata Yeka.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan, pasokan minyak goreng curah sebenarnya sudah melebihi kebutuhan. Target produksi untuk April 2022 adalah 194.000 ton, sementara pasokan yang tersedia mencapai 214.000 ton atau 8,7 persen di atas kapasitas yang diperlukan.
Persoalan harga yang tak kunjung turun ditengarai akibat problem di jalur distribusi. Ada empat faktor yang, menurut Sahat, menjadi sebab. Pertama, minyak goreng bersubsidi disalurkan sampai ke pelosok Indonesia, bahkan ke daerah yang selama ini tidak pernah dipasok minyak goreng jenis curah. ”Artinya, jangkauan distribusi jauh lebih luas dibandingkan yang diduga. Makanya, pasokan seolah selalu kurang,” katanya.
Dari data yang ada, sejak Senin (9/5/2022), minyak goreng curah sudah dipasok hampir 45.000 ton. Bulan Mei ini, kami akan banjiri pasokan.
Kedua, masyarakat yang biasanya mengonsumsi minyak goreng kemasan diduga beralih ke curah yang harganya lebih murah. Hal itu terlihat dari sejumlah ritel yang belakangan menurunkan harga minyak goreng kemasan premium.
Ketiga, ada dugaan minyak goreng curah diekspor dalam bentuk minyak jelantah. Menurut Sahat, berdasarkan data asosiasi pengekspor minyak jelantah, pada April 2022, volume ekspor minyak jelantah justru naik dari biasanya 400.000 ton per bulan menjadi 700.000 ton per bulan.
”Itu ditengarai berasal dari minyak goreng curah karena minyak jelantah yang diekspor harganya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dijual sebagai minyak goreng curah di dalam negeri,” kata Sahat. Namun, ia menambahkan, setelah ada larangan ekspor minyak jelantah, praktik itu mulai berkurang.
Harga minyak goreng curah ditargetkan akan lebih terkendali mulai pekan depan seiring dengan keterlibatan Perum Bulog dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dalam mendistribusikan minyak goreng bersubsidi ke berbagai pelosok daerah. Terlebih, menurut Sahat, untuk sementara ini memang belum semua produsen efektif beroperasi setelah Lebaran.
”Mulai hari Senin (9/5/2022) kemarin sampai hari ini, dari data yang ada, minyak goreng curah sudah dipasok hampir 45.000 ton. Bulan Mei ini, kami akan banjiri pasokan. Bisa dilihat sekarang masyarakat yang mengantre sudah hampir tidak ada. Artinya, pasokan sudah cukup, tinggal harganya yang perlu kami kendalikan,” kata Sahat.