Sepekan Larangan Ekspor Berlaku, Harga Minyak Goreng Curah Tak Kunjung Murah
Kebijakan larangan ekspor CPO belum membawa dampak pengendalian harga minyak goreng curah sesuai ekspektasi. Sepekan setelah larangan diterapkan, harga minyak goreng di pasaran belum menyentuh harga eceran tertinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan turunannya sudah dilarang selama satu pekan terakhir, harga minyak goreng curah di pasaran belum juga menyentuh harga eceran tertinggi. Kebijakan larangan ekspor dinilai tidak efektif serta berpotensi menjadi bumerang yang justru membuat harga minyak goreng semakin tidak stabil.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga minyak goreng curah pada Rabu (4/5/2022) mencapai Rp 17.200 per liter, masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang seharusnya Rp 14.000 per liter.
Harga tersebut menurun tipis sebanyak 1,15 persen dibandingkan dengan sepekan lalu ketika kebijakan larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan berbagai bentuk turunannya mulai berlaku. Saat itu, per 28 April 2022, harga minyak goreng curah tercatat Rp 17.400 per liter.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri mengatakan, sampai sejauh ini, kebijakan larangan ekspor CPO tidak membawa dampak sesuai dengan ekspektasi. Pedagang pasar masih mendapatkan pasokan minyak goreng curah dari distributor dengan harga tinggi di atas ketentuan sehingga harga jual ke konsumen pun masih melampaui HET.
Abdullah mengkhawatirkan, larangan ekspor dapat menjadi bumerang yang membuat harga minyak goreng di dalam negeri semakin tidak stabil. Pertama, kebijakan tersebut membawa kepanikan untuk negara-negara yang bergantung pada ekspor CPO Indonesia sehingga bisa memengaruhi harga dunia. ”Kalau harga CPO dunia naik lagi karena ada kepanikan, itu bisa berbahaya,” ujarnya, Kamis (5/5/2022).
Kedua, larangan tersebut membuka potensi penyelundupan ekspor secara diam-diam oleh pelaku industri. Ketiga, ada indikasi stok hasil produksi ditahan oleh industri, atau industri menyalurkan stok dengan harga lebih tinggi di luar ketentuan demi mempertahankan margin keuntungan yang tergerus akibat larangan ekspor.
”Potensi-potensi penyelewengan itu ada dan semakin besar celahnya sehingga harus ada solusi lain. Pemerintah dan pengusaha tidak bisa sama-sama merasa paling kuat. Pemerintah merasa kuat karena bisa mengendalikan sesuai dengan aturan perundang-undangan, pengusaha juga merasa kuat dengan menahan stok atau tidak berproduksi,” kata Abdullah.
Sekretaris Jenderal IKAPPI Reynaldi Sarijowan menambahkan, persoalan tidak hanya pada proses produksi, tetapi juga pada alur distribusi. Meskipun Perum Bulog sudah ditugaskan untuk menyalurkan minyak goreng curah, pasokan dan harga di pasaran belum terkendali. ”Tugas Bulog sudah banyak. Untuk harga daging saja urusannya belum selesai, harga daging sekarang masih di atas HET,” ujarnya.
Potensi-potensi penyelewengan itu ada dan semakin besar celahnya, sehingga harus ada solusi lain.
Persoalan alur produksi sampai distribusi ini, ujarnya, tidak hanya ditemukan pada komoditas minyak goreng saja, tetapi komoditas pangan lainnya. Ini menunjukkan ada persoalan lebih besar yang tidak bisa sekadar diatasi dengan kebijakan yang bersifat sementara dan selalu berubah-ubah. ”Harus ada perbaikan dari hulu ke hilir supaya persoalan karut-marut ini tidak terjadi setiap tahun,” katanya.
Senada, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalan menilai, terlalu banyak kerugian yang harus dihadapi dari berbagai aspek hanya untuk mencapai tujuan menurunkan harga minyak goreng. ”Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” ujar Piter.
Di satu sisi, pelarangan ekspor itu menurunkan harga minyak goreng, tetapi di berbagai aspek lainnya secara keseluruhan, Indonesia justru merugi. Negara bisa kehilangan potensi devisa dari pendapatan ekspor mengingat Indonesia adalah salah satu pemasok sawit dan produk turunan terbesar di dunia. Hal itu bisa merusak tata niaga produk sawit Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.
Menurut dia, pihak yang lebih dirugikan adalah jutaan petani sawit yang pendapatannya berkurang dari adanya kebijakan pelarangan ekspor tersebut. Padahal, pendapatan mereka menjadi sumber pendorong perekonomian di daerah-daerah. ”Ini memotong daya beli mereka. Padahal, kita sedang memerlukan dorongan untuk pemulihan ekonomi nasional,” ujar Piter.
Negara bisa kehilangan potensi devisa dari pendapatan ekspor mengingat Indonesia adalah salah satu pemasok sawit dan produk turunan terbesar di dunia.
Mempercepat pembayaran
Sementara itu, untuk menjaga kelancaran program minyak goreng curah bersubsidi, pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk mempercepat pembayaran subsidi ke produsen. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Permenperin Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, untuk alur pembayaran subsidi, pelaku usaha cukup menyampaikan permohonan pembayaran kepada BPDPKS secara daring melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dengan mengunggah dokumen, seperti laporan rekapitulasi dan bukti transaksi penjualan pada setiap distributor dan pengecer, serta faktur pajak.
Selanjutnya, Kemenperin akan melakukan verifikasi atas permohonan tersebut dengan dibantu oleh surveyor independen yang ditunjuk dan didanai BPDPKS. Setelah verifikasi, Kemenperin akan menyampaikan surat permohonan pembayaran subsidi dan hasil verifikasi tersebut ke BPDPKS.
Untuk mempercepat proses pembayaran, Permenperin No 12/2022 mengatur bahwa permohonan pembayaran dapat diajukan oleh pelaku usaha sebelum surveyor independen ditunjuk oleh BPDPKS. Dengan mekanisme baru itu, pemerintah dapat mengirimkan surat perintah pembayaran dana pembiayaan minyak goreng curah mulai 27 April 2022.
”Pelaku usaha kemudian menandatangani surat pernyataan yang sedikitnya memuat kesanggupan untuk mengembalikan kelebihan pembayaran dana subsidi yang sudah diterima paling lambat 10 hari kerja sejak menerima surat penagihan kelebihan pembayaran dari BPDPKS,” kata Putu.
Sebelum ini, produsen minyak goreng sawit yang mengikuti program minyak goreng curah bersubsidi sempat mengeluhkan pembayaran subsidi yang terlambat oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Menurut catatan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), ada 42 produsen minyak goreng sawit yang sampai sekarang masih menunggu pembayaran subsidi senilai Rp 354,3 miliar. Mereka telah menyalurkan sebanyak 64.600 ton minyak goreng curah pada periode 16-31 Maret 2022 dengan besaran subsidi Rp 5.478 per kilogram per perusahaan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga berharap pemerintah dan BPDPKS bisa segera mempercepat proses verifikasi klaim itu supaya kelanjutan program minyak goreng curah tidak terganggu. Jika sampai minggu ketiga bulan April pembayaran belum dilakukan, produsen akan kehabisan modal kerja dan kesulitan menyuplai minyak goreng di tahap berikutnya (Kompas, 22/4/2022).