Mudik Tak Afdal Tanpa Oleh-oleh
Rezeki sudah ada yang mengatur. Setelah dua tahun ”terbelenggu” pandemi Covid-19, tradisi pulang kampung saat Idul Fitri kembali jadi angin segar. Tentu kembali ke kota dengan membawa oleh-oleh.
Rezeki sudah ada yang mengatur. Setelah dua tahun ”terbelenggu” Covid-19, tradisi pulang kampung saat Idul Fitri kembali menjadi angin segar. Tak sekadar silaturahmi keluarga, buah tangan atau oleh-oleh jadi buruan sekembalinya dari mudik.
”Alhamdullilah, omzet naik lebih dari dua kali lipat. Biasanya, omzet hanya Rp 7 jutaan, sekarang hampir Rp 17 jutaan. Belum afdal, balik ke kota tanpa oleh-oleh dong,” kata Handrini Rahayuningtyas, produsen kerupuk amplang kuku macan Qisbelin khas Bontang, Kalimantan Timur, Kamis (5/5/2022).
Lebaran kali ini memang menjadi berkah. Handrini bukan satu-satunya produsen cemilan amplang, tetapi ketekunannya mengikuti penyuluhan pangan dan pelatihan membuat amplang bikinannya bisa menembus pemasaran di Bandara Sepinggan dan Banjarmasin.
Amplang atau kerupuk berbahan baku ikan tenggiri ini dikemas dengan kemasan bening dan printing. Kemasan bening dijual seharga Rp 140.000 per kilogram (isi delapan bungkus), sedangkan kemasan printing yang lebih menarik sebagai oleh-oleh dijual seharga Rp 20.000 per bungkus (125 gram).
Handrini mengatakan, dua tahun tanpa kegiatan mudik menjadi kesempatan baginya untuk terus memperbaiki kualitas produk. Rupanya, usaha kerasnya itu bisa diterima pasar. Orderan terus berdatangan untuk mengisi gerai di bandara-bandara.
Dua tahun tanpa kegiatan mudik menjadi kesempatan baginya untuk terus memperbaiki kualitas produk
Tak sekadar pembelian eceran, budaya mengirim hampers Lebaran yang makin menjamur pun dijadikan peluang. Ia juga menyesuaikan dengan permintaan konsumen korporasi yang menginginkan amplangnya dikemas 200 gram per bungkus. Satu pesanan hampers kerupuk amplang ini bisa mencapai 100 paket. Handrini sempat pula mendapat konsumen dari Papua yang minta dibikinkan 21 kilogram kerupuk amplang. Tekstur produknya disebut-sebut renyah dan padat.
Handrini mengatakan, ia kini tidak sekadar memproduksi lantas menjual, tetapi juga banyak belajar soal pencatatan produksi, pemasaran, distribusi, hingga pembukuan keuangan. Dari semula sekadar pencatatan manual, ia kini mencoba menggunakan aplikasi dengan bimbingan Yayasan Dharma Bakti Astra.
Nur Endang Mujiati, produsen sambel dari Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur, pun menangguk keuntungan dari momentum Lebaran. Omzetnya naik 100 persen. Bahkan, sejak puasa Ramadhan, pesanan terus berdatangan, baik dalam bentuk parsel maupun pembelian eceran.
”Satu paket parsel bisa bervariasi harganya, mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 1,5 juta. Tidak semua paket diisi sambel, tetapi yang pasti produk khas daerah. Di sini, kami selalu didorong untuk membudayakan UKM lokal supaya lebih dikenal di berbagai daerah,” kata Endang.
Seperti halnya pergerakan mudik di Jawa, perantau dari Kalimantan umumnya pulang kampung ke daerah-daerah di Sulawesi atau Jawa. Produk sambel—atau dalam bahasa Kalimantan disebut sode—bikinan Endang menjadi salah satu produk oleh-oleh para pemudik.
Sambel ini memiliki varian sambel lele, tuna, kepiting, kelinci, dan terasi. Produksi ini dikembangkan Endang dengan dorongan dari Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Pama Bessai Barinta mengingat banyak cabai serta produk perikanan dan peternakan yang dihasilkan di daerah Sangatta.
Sambel yang diberi label ”Bu’End” ini dibandrol Rp 30.000 per kemasan (isi 70 gram). Selain sambel, Endang juga mengolah pisang dari petani lokal menjadi keripik pisang ”PicanQueen” yang dibandrol Rp 17.000 per kantong (isi 100 gram). Sebelumnya, Endang juga memproduksi keripik singkong, tetapi menjelang Lebaran kali ini, singkong petani di daerah Sangatta mengalami gagal panen akibat banjir besar.
Daripada mengorbankan kualitas, lebih baik jujur kalau enggak sanggup melayani permintaan konsumen.
Lebaran kali ini, permintaan sambel mencapai sekitar 25 kilogram dan keripik singkong mencapai 15-20 kilogram. Pesanan masih terus berdatangan karena produk dipasarkan di hotel-hotel dan bandara di Balikpapan dan Banjarmasin. Penjualan juga dilakukan oleh para mitra pemasaran.
”Dengan dua produk ini saja, saya sempat menolak beberapa orderan. Enggak sanggup. Daripada mengorbankan kualitas, lebih baik jujur kalau enggak sanggup melayani permintaan konsumen,” kata Endang.
Lain lagi cerita Sobirin, pembina petani bahan baku gula semut khas Banyumas, Jawa Tengah. Ia juga mencari celah untuk menangguk keuntungan dari pasar domestik. Selama dua tahun masa pandemi, pasar ekspor gula semut lesu karena terhambat masalah logistik.
Padahal, potensi produk gula semut ini sangat besar. Satu kelompok tani yang terdiri dari sekitar 25 petani bisa menghasilkan 5-10 kilogram gula semut per petani. Sejak menggandeng eksportir tahun 2013, Sobirin membina 6 hingga 7 kelompok tani. Secara total, jumlah petani yang mampu memproduksi gula semut di kawasan Banyumas ini diperkirakan 1.000 orang.
Produk gula semut dirasa belum begitu familiar di pasar domestik karena dianggap mahal dan rasanya tidak semanis gula putih. Toh, hal itu tidak menghentikan langkah Sobirin. Lebaran kali ini, Sobirin berinovasi memperkenalkan gula semut dengan berbagai varian rasa. Mulai dari rasa jahe, jahe kayu manis, daun sirsak, kunyit, temulawak, kencur, empon-empon, hingga rempah.
Di balik inovasi ini, Sobirin merasa bertanggung jawab untuk tetap bisa membeli produk petani supaya ada perputaran ekonomi bagi masyarakat. Di samping itu, operasional produksi tetap berjalan sambil menunggu kembali pemulihan pasar ekspor.
”Omzet Lebaran saat ini, saya kira bisa naik 50-70 persen. Tidak hanya untuk oleh-oleh, tetapi juga trennya sudah untuk bingkisan Lebaran. Ada juga yang memesan paket hampers sebanyak 1.000 buah,” ujar Sobirin, yang mengandalkan sistem pemasaran melalui lokapasar dan media sosial.
Bagi Sobirin, Lebaran menjadi momentum penting. Saat pasar ekspor lesu, pasar domestiklah yang menjadi penopang bagi UMKM. Terlebih, pemerintah telah mendorong masyarakat untuk bangga buatan Indonesia.
Saat pasar ekspor lesu, pasar domestiklah yang menjadi penopang bagi UMKM. Terlebih, pemerintah telah mendorong masyarakat untuk bangga buatan Indonesia.
Keuletan
Tentang keuletan, Chris Inderayanto bisa menjadil inspirasi. Chris lebih terfokus pada manajemen produksi dalam bertahan. Berbekal ketekunan belajar memproduksi pai apel, dia merintis bisnis pai apel sebagai oleh-oleh khas Malang, Jawa Timur.
Ia memulai usaha ini pada 2010. Setelah lima tahun, baru dia menikmati ledakan penjualan produknya. Tahun 2017, kompetitor bermunculan. Bisnisnya menciut dan sebagian karyawan terpaksa dirumahkan. Namun, Chris tak menyerah. ”Saya sudah telanjur membesarkan pai apel seperti anak sendiri. Saya juga harus bertanggung jawab kepada karyawan,” katanya.
Ketika terempas oleh pandemi Covid-19, Chris beralih memproduksi kue mooncake dan strudel. Lebaran kali ini pun memperbanyak produksi mooncake sebagai oleh-oleh. Sementara pai apel dan strudel ia siapkan sebagai andalan kedua untuk menangguk keuntungan di musim liburan sekolah pada Juni-Juli mendatang.
”Potensi penjualan diprediksi naik 30-40 persen dari tahun lalu. Ini pun belum menyentuh angka normal, seperti sebelum Covid-19. Sebab, sejak pandemi, banyak toko yang saya titipi (produk) tumbang. Bahkan, sempat menyisakan tunggakan yang sudah tak terbayar,” ujar Chris.
Meski masih berhadapan dengan banyak tantangan, Chris kini optimistis perekonomian mulai menggeliat lagi.
Kerupuk amplang khas Kalimantan.
Baca juga: Digitalisasi Jadi Penopang Kebangkitan UMKM
Sekretaris Pengurus YDBA, Ida RM Sigalingging, dalam kegiatan #YukExplore UMKM Indonesia beberapa waktu lalu menyatakan pentingnya inovasi dan kolaborasi. Gambaran inovasi bisnis yang dijalankan UMKM saat ini menunjukkan bagaimana beragam pihak dapat berkolaborasi untuk sama-sama mengembangkan UMKM Indonesia.
”Paling penting, konsistensi produk ditunjukkan dengan menerapkan secara ketat standar quality, cost and delivery (QCD), sehingga memuaskan permintaan konsumen,” katanya.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satriya mengatakan, tahun ini mudik Lebaran menjadi momentum yang paling ditunggu-tunggu setelah hampir dua tahun tertahan akibat pandemi. UMKM perlu memanfaatkan untuk mempromosikan produk unggulan daerah.
Menurut Eddy, apabila diasumsikan rata-rata belanja per orang mencapai minimal Rp 100.000 saja, dari potensi pemudik Lebaran 2022 yang diperkirakan Kementerian Perhubungan mencapai 85,5 juta orang, sungguh menjadi perputaran ekonomi luar biasa bagi UMKM di beberapa daerah tujuan mudik.
Sekali lagi, rezeki memang sudah ada yang mengatur. Namun, keyakinan itu tetaplah perlu dibarengi upaya untuk mengolah peluang, termasuk pada momen libur Lebaran yang baru berlalu.