Kesuksesan pelaksanaan proses migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial (”analog switch off”/ASO) tergantung dari konsistensi pemerintah menegakkan regulasi ASO.
Oleh
MEDIANA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial membutuhkan konsistensi seluruh pelaku di ekosistem industri penyiaran, tidak terkecuali pemerintah. Pemerintah diharapkan bisa bertindak tegas kepada lembaga penyiaran yang enggan bermigrasi dengan memberikan sanksi ataupun menetapkan kompensasi.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Darmanto, saat dihubungi pada hari Senin (2/5/2022), di Jakarta, mengatakan, sanksi kepada lembaga penyiaran yang enggan bermigrasi dari siaran televisi analog ke digital terestrial telah terangkum dalam Lampiran VII poin ke-17 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permenkominfo No 6/2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Dalam lampiran itu disebutkan, sanksi diawali dengan teguran tertulis pertama (tujuh hari) dan teguran kedua (tujuh hari). Setelah dilakukan teguran-teguran itu, sanksi berikutnya berupa denda administrasi, kemudian penghentian sementara, dan terakhir adalah pencabutan izin penyiaran.
Dia memandang, sejak awal kebijakan migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial (analog switch off/ASO) digaungkan melalui Undang-Undang (UU) No 11/2020 tentang Cipta Kerja, tarik-menarik kepentingan pemerintah dan lembaga penyiaran nyata terlihat. Lembaga penyiaran swasta, menurut Darmanto, masih bimbang untuk sepenuhnya beralih ke siaran digital terestrial.
Dari sisi pemerintah, Kementerian Kominfo sempat melakukan penyesuaian tahapan ASO. Melalui Permenkominfo No 11/2021, tahapan ASO yang semula terdiri atas lima dikurangi menjadi tiga tahap. Pada tahap I tenggat migrasi yang sebelumnya 17 Agustus 2021 diundur menjadi 30 April 2022. Sementara pada tahap II tenggat migrasi yang semula 31 Desember 2021 diundur menjadi 31 Agustus 2022. Tahap III yang seharusnya 31 Maret 2022 diubah selambatnya 2 November 2022.
”Sekarang, sukses tidaknya proses ASO tergantung pada pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Kominfo. Kementerian Kominfo perlu konsisten menegakkan regulasi ASO (UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, seperti Permenkominfo No 11/2021). Kalau pemerintah tidak konsisten, ASO tidak akan terwujud,” kata Darmanto.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Agung Harsoyo, berpendapat, sebagai regulator, Kementerian Kominfo seharusnya memiliki perangkat pengendalian bagi yang melanggar ketentuan perundangan. Sanksi pelanggaran terkait pemancaran gelombang elektromagnetik ilegal, misalnya, bisa berupa administratif pencabutan izin, denda, dan pidana kurungan.
Proses ASO sesuai Permenkominfo No 11/2021 sebenarnya telah memberi waktu kepada lembaga penyiaran untuk menggelar infrastruktur penyiaran digital. Maka, menurut Agung, segala pelanggaran terhadap peraturan itu sudah tepat jika dikenai sanksi.
”Dalam konteks persaingan para penyelenggara siaran, saya menilai sesungguhnya penyelenggara yang lambat dalam ASO akan rugi. Lembaga penyiaran yang seperti itu akan kalah bersaing dengan yang lebih cepat menyelenggarakan siaran televisi digital terestrial,” ujar Agung.
Contoh kelebihan siaran digital terestrial ialah selama ada sinyal, masyarakat bisa menerima siaran televisi di mana pun mereka berada. Ini berbeda dengan cara kerja siaran televisi analog. Semakin jauh dari pemancar, semakin jelek kualitas penerimaan siarannya.
Sementara itu, Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran Bayu Wardhana lebih menyoroti spektrum frekuensi 700 megahertz (MHz) yang kini dipakai oleh lembaga penyiaran televisi analog. Spektrum frekuensi apa pun, termasuk 700 MHz, pada dasarnya dikuasai oleh negara.
”Jika berangkat dengan pendekatan seperti itu, pemerintah sebenarnya punya kendali kuat untuk urusan ASO. Seandainya pemerintah menutup penggunaan semua frekuensi 700 MHz saat tenggat pelaksanaan ASO tahap I, lembaga penyiaran juga tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Lebih jauh, Bayu berpendapat, di luar pengenaan sanksi, pemerintah sebenarnya bisa memberlakukan skema kompensasi menyerupai pungutan dana kewajiban pelayanan umum atau USO (universal service obligation) yang berlaku di industri telekomunikasi. Setiap perusahaan telekomunikasi wajib menyetor USO sekitar 1,25 persen dari pendapatan kotor. Dana USO itu kemudian dipakai oleh badan layanan umum Kementerian Kominfo, yakni Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, untuk membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi di daerah pelosok yang operator telekomunikasinya cenderung enggan membangun.
”Lembaga penyiaran swasta yang sudah bersiaran digital terestrial dan mendapatkan untung harus tetap mau terlibat dalam membangun infrastruktur penyiaran digital sampai ke daerah-daerah. Kalau tetap enggan bermigrasi karena alasan keberatan harus membangun infrastruktur, pemerintah harus mau menerapkan skema mirip USO seperti di industri telekomunikasi. Tidak apa-apa jika akhirnya yang membangun infrastrukturnya lembaga penyiaran publik (LPP) TVRI,” tuturnya. Dengan pemberlakuan kebijakan seperti itu, masyarakat di mana pun berada tetap terjangkau dengan siaran televisi digital terestrial.
Pada saat telekonferensi pers, Minggu (1/5/2022) petang, Staf Khusus Menteri Kominfo bidang Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti menyatakan, pihaknya telah melakukan peninjauan terhadap delapan kabupaten/kota yang telah dihentikan siaran televisi analog terestrial pada 30 April 2022 pukul 24.00. Kedelapan kabupaten kota itu adalah Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, Kota Dumai (masuk wilayah siaran Riau-4), Kabupaten Timor Tengah Utara (wilayah siaran Nusa Tenggara Timur-3), Kabupaten Belu, Malaka (wilayah siaran Nusa Tenggara Timur-4), Sorong, dan Kota Sorong (wilayah siaran Papua Barat-1). Pelaksanaan ASO akan terus berjalan dan pemerintah akan melakukan evaluasi secara berkala.
Untuk tahap I, ASO sebenarnya menyasar ke 56 wilayah siaran dengan total kabupaten/kota mencapai 166. Dengan penghentian siaran analog terestrial baru dilakukan di empat wilayah siaran di delapan kabupaten/kota, berarti masih ada sekitar 52 wilayah siaran dan 158 kabupaten/kota yang semestinya harus dilakukan penghentian siaran analog terestrial.
Untuk wilayah siaran Riau-4, Niken menjelaskan, masyarakat sebelumnya hanya menerima siaran televisi analog terestrial dari TVRI lokal dan TV Bengkalis. Setelah ada migrasi ke siaran televisi digital terestrial, mereka bisa menonton TVRI Nasional, TVRI World, dan TVRI Sports.
Kemudian di wilayah siaran Nusa Tenggara Timur-3 dan 4, masyarakat semula hanya bisa menonton siaran televisi analog terestrial dari TVRI lokal dan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Pinmabo TV. Kini, mereka dapat menyaksikan siaran TVRI Nasional, TVRI World, dan TVRI Sports.
Adapun di wilayah siaran Papua Barat-1, masyarakat sebelumnya hanya bisa menonton siaran televisi analog terestrial dari TVRI dan Kompas TV. Setelah migrasi ke siaran televisi digital terestrial, mereka dapat menyaksikan TVRI Nasional, TVRI World, dan TVRI Sports.
Niken menyampaikan, di delapan kabupaten/kota tersebut, infrastruktur penyiaran digital telah selesai dibangun. Bantuan alat bantu penyiaran digital kepada rumah tangga miskin di sana juga sudah tuntas disalurkan.
Direktur Penyiaran Kementerian Kominfo Geryantika Kurnia menambahkan, di delapan kabupaten/kota tersebut belum banyak lembaga penyiaran swasta yang bersiaran televisi digital terestrial. Hanya ada Kompas TV. Di sana hanya ada beberapa televisi lokal, termasuk LPP TVRI, dan lembaga penyiaran milik pemerintah daerah.
”Warga di sana sebelumnya mendapatkan siaran televisi menggunakan parabola atau televisi berbayar bulanan. Dengan adanya siaran televisi digital terestrial, masyarakat akhirnya bisa menonton siaran dari TVRI yang sebelumnya hanya empat jam menjadi 24 jam,” kata Geryantika.
Kementerian Kominfo menyebutkan, saat ini terdapat lebih dari 600 kanal siaran di Indonesia. Lembaga penyiaran swasta, komunitas, dan lokal yang sudah mengoperasikan infrastruktur penyiaran digital diimbau agar segera bergabung dalam siaran digital terestrial.
Untuk memperoleh informasi lebih jauh soal ASO dan mengadukan masalah subsidi alat penyiaran digital, dia mengatakan, masyarakat bisa mengontak 159 serta chatbot Whatsapp Migrasi Siaran Digital di nomor 08118202208.