Tak Bayar THR Sesuai Ketentuan, Ribuan Perusahaan Diadukan
Ribuan perusahaan diadukan lantaran tidak membayar tunjangan hari raya keagamaan sesuai aturan. Upaya membaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan harus mulai disikapi secara serius.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran pembayaran tunjangan hari raya keagamaan masih banyak terjadi. Hingga sehari sebelum Lebaran, ribuan perusahaan diadukan ke Posko THR Kementerian Ketenagakerjaan karena tidak membayar THR sesuai ketentuan. Buruh mendesak pemerintah untuk serius membenahi sistem pengawasan ketenagakerjaan yang selama ini terbukti tidak efektif.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, selama periode 8 April-1 Mei 2022 ada total 5.496 laporan yang masuk ke Posko THR 2022 secara daring, terdiri dari 2.935 pengaduan pelanggaran THR dan 2.561 konsultasi seputar pembayaran THR. Jumlah perusahaan yang diadukan sebanyak 1.688 perusahaan.
Adapun isu yang diadukan adalah 1.384 THR yang tidak dibayarkan oleh 794 perusahaan, 1.200 THR yang tidak dibayarkan sesuai ketentuan oleh 694 perusahaan, dan 351 THR yang terlambat dibayarkan oleh 200 perusahaan.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi, Senin (2/5/2022), mengatakan, sebanyak 72 laporan pengaduan sudah ditindaklanjuti dan 1.610 sisanya masih berproses. Sementara itu, sebagian besar laporan konsultasi THR sudah direspons pemerintah. Dari total 2.561 laporan konsultasi, petugas sudah menyelesaikan 1.685 laporan dan tinggal merampungkan sisa 876 laporan lainnya.
”Laporan konsultasi yang masih dalam proses itu 100 persen pasti akan diselesaikan,” kata Anwar dalam keterangan pers.
Pengaduan THR yang paling banyak masuk berasal dari DKI Jakarta (918 laporan), Jawa Barat (599 laporan), Banten (316 laporan), dan Jawa Timur (280 laporan). Provinsi dengan laporan pengaduan terendah adalah Papua, yaitu hanya satu laporan dengan pokok pengaduan THR yang tidak dibayarkan.
Anwar mengatakan, pemerintah akan menjatuhkan sanksi secara bertahap kepada pengusaha yang tidak membayar THR atau tidak membayar THR sesuai ketentuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, sanksi tersebut terdiri dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan pembayaran THR juga diwajibkan segera melunasi kewajibannya. ”Di masa pandemi (tahun 2020) perusahaan memang mencicil agak lama. Tetapi, biasanya dalam keadaan normal perusahaan butuh waktu 2-3 bulan setelah Lebaran untuk melunasi THR,” kata Anwar.
Di masa pandemi (tahun 2020) perusahaan memang mencicil agak lama. Tetapi, biasanya dalam keadaan normal perusahaan butuh waktu 2-3 bulan setelah Lebaran untuk melunasi THR.
Sebagai perbandingan, jumlah pengaduan THR dari tahun ke tahun terus mengalami tren meningkat. Tahun lalu, untuk periode 20 April-6 Mei 2021, Posko THR Kemenaker mencatat 1.569 laporan yang terdiri dari 607 konsultasi THR dan 899 pengaduan THR. Sementara pada 11-18 Mei 2020, Posko THR menerima 735 laporan yang terdiri dari 313 konsultasi dan 422 pengaduan.
”Memang ada tren pengaduan meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi, ini mungkin didorong oleh aktivitas perusahaan yang lebih banyak dibandingkan yang lalu-lalu,” ujarnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat mengatakan, banyak buruh kontrak dan alihdaya (outsource) yang tidak mendapat THR tahun ini meskipun pemerintah telah mengimbau agar semua pekerja, baik buruh tetap maupun berstatus kontrak dan alihdaya, wajib dibayarkan THR-nya.
Mirah menyayangkan kewajiban perusahaan untuk membayarkan THR ke pekerja kontrak dan alihdaya itu tidak tercantum dengan jelas dalam Surat Edaran (SE) M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Hal itu hanya disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam konferensi pers dan pernyataan tertulis.
”Mungkin Kemenaker merasa perusahaan sudah paham. Padahal, yang sudah jelas-jelas diatur di SE dan UU saja masih bisa dilanggar, apalagi yang tidak,” kata Mirah.
Laporan yang paling banyak diterima Mirah menyangkut buruh kontrak dan alihdaya yang bekerja di sejumlah perusahaan perkebunan sawit besar. Hal ini diperkeruh kenyataan bahwa buruh non-tetap umumnya tidak berserikat sehingga sulit menuntut perbaikan nasib sebagaimana buruh tetap.
”Paling banyak korbannya buruh perempuan. Dari tahun ke tahun nasibnya sama. Ada yang dibayar tapi mepet, ada yang dibayar setelah Lebaran, ada yang sama sekali tidak dibayar,” tuturnya.
Banyak buruh kontrak dan alihdaya ( outsource) yang tidak mendapat THR tahun ini meskipun pemerintah telah mengimbau agar semua pekerja, baik buruh tetap maupun berstatus kontrak dan alihdaya, wajib dibayarkan THR-nya.
Serius membenahi
Ia pun menegaskan pentingnya pemerintah segera membenahi sistem pengawasan ketenagakerjaan yang selama ini tidak berjalan efektif karena minimnya kuantitas dan kualitas petugas. Petugas pengawas yang jumlahnya sangat minim itu hanya terpusat di ibu kota provinsi, padahal pelanggaran banyak terjadi di level kabupaten dan kota.
Hingga 2021, jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya 1.686 orang dan ditempatkan di ibu kota provinsi. Sementara itu, idealnya diperlukan 6.000 pengawas yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah pengawas tersebut sangat timpang dibandingkan jumlah perusahaan yang terdaftar di Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) per tahun 2021, yaitu 343.000 perusahaan.
Mirah, yang pernah menjabat Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, mengatakan, lemahnya pengawasan ini sudah menjadi persoalan menahun yang tak kunjung ada solusi konkret. Terlebih, akibat pandemi, upaya pengajuan anggaran oleh Kemenaker untuk menambah jumlah petugas pengawas ketenagakerjaan kandas karena efisiensi anggaran.
Seiring dengan perbaikan kondisi perekonomian belakangan ini, Mirah mengatakan, upaya memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan harus mulai disikapi secara serius.
”Harus ada skala prioritas dari pemerintah pusat untuk melihat apa saja program kerja yang harus betul-betul dijaga dan mana yang bisa dicoret. Di masa-masa pemulihan ekonomi sekarang ini, buruh yang terjaga daya belinya bisa jadi faktor penggerak ekonomi,” kata Mirah.