Petani kelapa sawit berharap larangan ekspor CPO dan produk turunannya tidak justru semakin menekan petani. Harga tandan buah segar sawit di sejumlah sentra anjlok di bawah harga acuan dalam sepekan terakhir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi menerapkan larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan sejumlah produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022) pukul 00.00. Kebijakan itu diharapkan tidak makin menekan harga tandan buah segar di tingkat petani. Pemerintah diminta tegas terhadap perusahaan sawit yang melanggar aturan.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung dalam telekonferensi pers yang digelar Dewan Minyak Sawit Indonesia, Kamis (28/4/2022), mengatakan, pihaknya memahami maksud pemerintah melarang ekspor CPO dan produk turunannya guna menjaga pasokan serta menjamin harga minyak goreng curah sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.
Namun, kebijakan itu diharapkan tidak semakin menekan petani. ”Sebab, sejak 22 April perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) tidak patuh pada harga yang disepakati di dinas. Rata-rata penurunan (harga tandan buah segar/TBS) 30-70 persen dari yang tertulis di kertas kesepakatan. Kami minta ketegasan pemerintah menegakkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2018 (tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit pekebun),” ujar Gulat.
Ia menambahkan, berdasarkan pengecekan oleh pihaknya, minyak goreng curah sebenarnya ada di pabrik-barik. Namun, minyak goreng tidak tersalurkan dan terkesan langka karena tak ada yang mau menjadi distributor. Sebab, HET Rp 14.000 per liter termasuk biaya transportasi. Besaran itu dinilai tak menutup ongkos distribusinya. Ia mendorong agar HET Rp 14.000 per liter tidak termasuk ongkos transportasi.
Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, sejak pertama kebijakan diumumkan, Jumat (22/4/2022), ada praktik penetapan harga sawit di level pabrik sawit di daerah dengan bervariasi dari Rp 1.600 hingga Rp 3.000 per kilogram. Angka itu di bawah semestinya yang berkisar Rp 3.600-Rp 3.700 per kg.
”Jauh sebelum diumumkan, harga input produksi pertanian juga naik, seperti pupuk, pestisida, dan herbisida. Kenaikan itu mendorong biaya produksi semakin tinggi. Jika penurunan harga TBS terus berlangsung, petani semakin rugi bahkan tidak lagi mampu untuk berproduksi,” ujar Darto, Kamis.
Ia juga menyoroti pidato Presiden yang tak disertai solusi jangka panjang. Sebab, menurut dia, kelangkaan minyak goreng dipicu problem tata kelola kelapa sawit yang kronis. Di tengah kebijakan pelarangan ekspor sementara, pemerintah harus mengevaluasi kembali tata kelola kelapa sawit, dari hulu ke hilir, serta perlu ada perbaikan struktur pasar.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Chandra Setiawan, menuturkan, perlu dilihat apakah pelaku usaha membeli produk pertanian dengan harga yang adil. Menurut dia, praktik oligopsoni atau keadaan pasar dengan sedikit pembeli bisa saja terjadi. Artinya, pembeli yang menentukan harga.
Hal itu juga menjadi pekerjaan rumah dari KPPU. ”Terutama pada daerah-daerah di mana banyak plasma dan petani rakyat. Jika pelaku usaha besar, katakanlah menguasai 70 persen, berarti 30 persennya petani. Tentu (petani yang menyumbang) 30 persen tak bisa dikorbankan. Baru diumumkan saja, harga TBS turun sedemikian besar,” katanya.
Anjloknya harga TBS sawit antara lain dialami oleh petani di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, Rabu (27/4/2022). Di Kalimantan Timur, misalnya, harga TBS sawit yang semula Rp 3.100 per kg merosot di kisaran Rp 1.600 per kg. Terkait itu, Kementerian Pertanian pada 25 April 2022 menyurati 21 gubernur provinsi penghasil sawit. Gubernur diminta mengirim edaran kepada bupati/wali kota sentra-sentra sawit untuk memastikan tak ada penetapan harga sepihak oleh pabrik sawit.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi, dalam keterangannya, menuturkan, pihaknya terus berkomunikasi dengan asosiasi petani kelapa sawit untuk menyampaikan situasi terkini di industri kelapa sawit pasca-pelarangan ekspor. Selain itu, juga mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi dampaknya bagi petani kelapa sawit.
Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga menyatakan, meski HET minyak goreng curah Rp 14.000 per liter, ada subsidi tertentu dan penjualan tetap dengan harga komersial. Ia menilai seharusnya tak ada pengaitan dengan penurunan harga TBS. Dengan adanya subsidi, HET Rp 14.000 semestinya tetap bisa dicapai, dengan harga TBS sesuai mekanisme pasar.
Ketentuan terkait larangan sementara ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022. Produk yang dilarang sementara untuk diekspor ialah CPO, refined, bleached, deodorized (RBD) palm oil, RBD palm olein, dan minyak jelantah.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dalam telekonferensi pers, Kamis, mengatakan, larangan tersebut berlaku untuk seluruh daerah pabean Indonesia, dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), yakni Batam-Bintan-Karimun (Kepulauan Riau) dan Sabang (Aceh).
”Eksportir yang melanggar akan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saya pastikan pemerintah bersama kepolisian dan aparat penegak hukum lain akan memantau seluruh pelaksanaan kebijakan ini. Bagi eksportir yang telah mendapat nomor pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor paling lambat 27 April 2022, tetap dapat melaksanakan ekspor,” ujarnya.
Menurut Sahat, kebijakan tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, ia menilai kebijakan itu hanya pemindahan alur (shifting) yang sifatnya sementara, hingga HET minyak goreng curah Rp 14.000 per liter tercapai. Menurut dia, komposisi produk ekspor dari CPO relatif tak ada yang berubah pada 2022. Terlebih, sepekan ke depan, aktivitas pengolahan sawit akan berhenti karena libur Lebaran.
Dari analisis di lapangan pada Januari-Maret 2022, kata Sahat, yang menjadi persoalan bukanlah pasokan minyak goreng. Yang menjadi masalah ialah produsen diminta mengalirkan minyak goreng curah dengan HET ke pasar, tetapi tidak punya keahlian sehingga ada keterlambatan.
”Karena itu, dengan diterjunkannya Bulog dan ID Food (dalam distribusi minyak goreng curah), akan menjembatani produk dari produsen ke konsumen. Jadi, akan berhasil dan tak perlu lama-lama. Kemungkinan setelah Lebaran tercapai,” ujarnya.
Ia pun berharap Satgas Pangan untuk mengawasi salah satunya pengemasan ulang minyak goreng curah. Selain itu, industri makanan dan minuman agar jangan sampai membeli minyak goreng curah bersubsidi. ”Kalau ditemukan (penyelewengan), sebaiknya dibikin regulasi keras. Langsung tutup. Yang melakukan pengumpulan minyak goreng juga ditindak hukum,” ujar Sahat.