Harga Tandan Buah Segar Anjlok, Petani Sawit di Sumut Minta Pengawasan Diperketat
Pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng telah mendorong harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumut turun dari Rp 3.300 per kilogram menjadi 700 per kg, jauh dari harga yang ditetapkan pemerintah Rp 3.900 per kg.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Petani di Sumatera Utara mengencangkan ikat pinggang akibat merosotnya harga tandan buah segar kelapa sawit menjelang Lebaran. Mereka berharap pemerintah lebih jelas memberikan informasi terkait pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan memperketat pengawasannya. Informasi yang tidak jelas diduga telah membuat harga tandan buah segar di tingkat petani anjlok, jauh dari harga yang ditetapkan pemerintah.
Data Badan Pusat Statistik menujukkan luas penanaman kelapa sawit di Sumut pada tahun 2020 mencapai 441.300,52 hektar dengan produksi mencapai 7.199,750 ton. Kebun tersebar di 22 kabupaten dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumut. Jutaan orang di Sumut bergantung hidup pada komoditas ini.
Risman Siahaan (56), petani kelapa sawit di Desa Batahan I Transmini, Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandaling Natal, Sumut, yang dihubungi Selasa (26/4/2022) mengatakan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok lima hari terakhir, dari Rp 3.300 per kilogram menjadi Rp 700 per kilogram.
”Di tempat kami tidak ada penurunan harga bertahap, langsung jadi Rp 700 per kg,” kata Risman.
Akibatnya, ia sempat tidak memanen tanamannya yang berusia 15-16 tahun itu. Baru hari ini, ia memanen setelah harga TBS naik jadi Rp 1.000. ”Tadi dihubungi pengumpulnya, katanya, harga Rp 1.000 per kg jadi kami panen. Daripada busuk di pohon nanti merusak tanaman, lebih baik dipanen,” kata Risman.
Tidak ada informasi apa pun yang didapat dari tauke pengumpul sawit di desanya terkait penurunan harga itu. ”Kalau harga turun Rp 500 sampai Rp 1.000 per kg itu wajar, tetapi kalau sampai Rp 2.600 per kg itu patut dipertanyakan ada apa,” kata Risman. Memang, kata Risman, menjelang Lebaran biasanya harga TBS turun. Tapi, ia tidak menyangka harganya anjlok seperti sekarang.
Berdasarkan informasi yang ia dapat di media, Risman menduga, penurunan harga karena larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO). Belakangan, ia terkejut setelah tahu bahwa yang dilarang adalah refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein bukan CPO. Ia meminta pemerintah memperjelas larangan ekspor itu dan mengawasinya sehingga tidak terjadi penetapan harga sepihak oleh pabrik pengolahan kelapa sawit.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan Posman Sibuea mengatakan, berdasarkan pantauannya di Aek Kanopan, Labuhan Batu Utara, harga TBS petani daerah itu saat ini mencapai Rp 1.300-Rp 1.500 per kg dari sebelumnya Rp 3.250 per kg.
Penurunan harga berlangsung secara bertahap, antara Rp 500 dan Rp 1.000 per kg per hari. Sementara di Kabupaten Langkat, harga berkisar Rp 1.200 per kg.
”Pemerintah perlu tegas memberikan informasi ke petani agar pengusaha dan pabrik kelapa sawit tidak membuat harga seenak hati,” kata Posman Sibuea. Penetapan harga pun harus dibahas asosiasi petani, pengusaha, dan pemerintah tidak ditetapkan sendiri. ”Harga TBS minim Rp 1.500 per kg untuk memenuhi biaya produksi,” kata Posman.
Larangan ekspor bahan baku minyak goreng telah dipahami meleset menjadi CPO, sementara istilah RPB palm olein hanya diketahui oleh pihak-pihak yang bergerak di industri kelapa sawit dan akademisi di universitas. (Posman Sibuea)
Larangan ekspor bahan baku minyak goreng telah dipahami meleset menjadi CPO, sementara istilah RBD palm olein hanya diketahui oleh pihak-pihak yang bergerak di industri kelapa sawit dan akademisi di universitas. Komunikasi perlu diperjelas dan ia mengusulkan agar kebijakan pelarangan ekspor itu direvisi demi kebaikan masa depan sawit nasional.
Kepala Dinas Perkebunan Sumut Lies Handayani Siregar mengatakan, berdasarkan penetapan harga TBS yang dilakukan pemerintah bersama sejumlah asosasi pemangku kepentingan kelapa sawit Minggu lalu, harga TBS ditetapkan Rp 3.900 per kg. ”Penetapan harga berlangsung selama seminggu, baru besok ada penetapan lagi,” kata Lies.
Akan tetapi, penetapan itu diperuntukkan bagi petani plasma. Harga yang ditetapkan juga bergantung pada umur tanaman. ”Saya kira yang nakal-nakal itu bukan petani plasma dan memang perlu ditertibkan,” kata Lies. Monitoring dan evaluasi akan dilakukan melibatkan berbagai pihak termasuk aparat pada perusahaan-perusahaan pengolah sawit petani agar tidak sembarangan menetapkan harga.