Target Tak Tercapai, Baru 1.118 Izin Usaha Pertambangan Dicabut
Presiden Jokowi di awal 2022 mengumumkan pencabutan 2.078 izin usaha pertambangan, 192 izin kehutanan, dan 34.448 hektar HGU perkebunan. Namun, hingga kini, baru 1.118 IUP dan 15 izin penggunaan hutan yang dicabut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi telah mencabut 1.118 izin usaha pertambangan dan 15 izin penggunaan kawasan hutan. Izin ini merupakan bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan, 192 izin sektor kehutanan, dan 34.448 hektar hak guna usaha perkebunan yang ditelantarkan yang diumumkan pencabutannya oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2022.
”Total izin (usaha pertambangan), dari 2.078 (izin), yang sudah kami cabut sampai hari ini sudah 1.118 (izin). Berarti masih ada 900 lebih (izin). Harusnya, Bapak Presiden (Jokowi) memberikan target kepada kami selesai di bulan ini, April (2022) ini. Tetapi karena kami harus dengan hati-hati, kami harus mengecek betul, maka kami butuh waktu sampai dengan bulan depan. Bulan depan harus selesai,” kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta, Senin (25/4/2022).
Bahlil, yang juga Ketua Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi, mengatakan hal ini dalam keterangan pers terkait perkembangan proses pencabutan izin usaha pertambangan (IUP), izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), hak guna usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB). Acara yang digelar luring ini juga ditayangkan di kanal Youtube Kementerian Investasi-BKPM.
Bapak Presiden memberikan target kepada kami selesai di bulan ini, April ini. Tetapi karena kami harus dengan hati-hati, kami harus mengecek betul, maka kami butuh waktu sampai dengan bulan depan. Bulan depan harus selesai.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo, Kamis (6/1/2022), mengumumkan 2.078 izin perusahaan penambangan mineral dan batubara dicabut karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Selain itu, izin-izin tersebut juga dicabut karena sudah bertahun-tahun telah diberikan tetapi tidak dikerjakan.
Pemerintah juga mencabut 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektar. Izin-izin ini dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan. Selanjutnya, pemerintah pun mencabut HGU perkebunan seluas 34.448 hektar yang ditelantarkan. Seluas 25.128 hektar adalah milik 12 badan hukum dan sisanya, yakni 9.320 hektar, merupakan bagian dari HGU yang telantar milik 24 badan hukum.
”Sampai dengan hari ini, tertanggal 24 (April 2022), yang sudah kami tanda tangani (pencabutan) perizinan, (untuk) yang IUP dicabut 1.118 (izin). Dari 1.118 (izin yang dicabut tersebut), total luas areal luas yang dicabut 2.707.443 hektar,” kata Bahlil.
Apabila dirinci, ada 102 IUP nikel seluas 161.254 hektar, 271 IUP batubara 914.136 hektar, 14 IUP tembaga 51.563 hektar, 50 IUP bauksit 311.294 hektar, 237 IUP timah 374.031 hektar, 59 IUP emas 529.869 hektar, dan 385 IUP mineral lainnya 365.296 hektar.
Latar belakang
Terkait alasan yang melatarbelakangi pencabutan izin, Bahlil menuturkan, berdasarkan data yang ada, IUP-IUP tersebut diberikan kepada pihak pengusaha tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya.
”Contoh, IUP ini dipakai untuk digadaikan di bank. Ini enggak boleh. Atau, IUP ini diambil (dan) habis itu diperjualbelikan. Atau, IUP ini diambil cuma ditaruh di pasar keuangan tanpa mengimplementasikan (investasi riil) di lapangan. Atau, IUP ini dipegang hanya untuk ditahan sampai sekian puluh tahun kemudian baru dikelola,” ujarnya.
Bahlil mengatakan, pertama, ada yang IUP-nya ada tetapi tidak mengurus IPPKH atau berlama-lama dalam mengurusnya hingga hitungan tahun atau puluhan tahun. ”(Kedua,) IUP-nya ada, IPPKH ada, tetapi tidak mengurus RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya tahunan). Ini karena ada niat-niat tertentu, mau jual, mau apa. Ketiga, IUP-nya ada, IPPKH sudah ada, RKAB sudah ada, tetapi enggak jalan-jalan. Ini biasanya kekurangan keuangan,” ujar Bahlil.
Menurut Bahlil, satgas tidak mau melakukan tindakan yang berdampak pada indikasi penzaliman kepada pengusaha. ”Kita pengin, (izin) yang kita cabut itu yang betul-betul memenuhi syarat untuk dicabut. Tetapi kalau yang sudah bagus, ya, kita tidak boleh semena-mena kepada pengusaha. (Bagi) Yang sudah bagus, tetap harus mereka jalankan usahanya,” katanya.
Menurut Bahlil, satgas membuka ruang kalau ada pelaku usaha yang menyampaikan keberatan. Saat ini, dari 1.118 IUP yang dicabut, 227 perusahaan menyampaikan keberatan atas pencabutan IUP. Sebanyak 160 perusahaan sudah diundang untuk melakukan klarifikasi atau verifikasi.
”Kalau kemudian ternyata mereka itu benar, pengusahanya itu benar, ya kita harus kembalikan posisinya lewat mekanisme pengambilan keputusan yang ada pada pemerintah dan satgas, dalam hal ini Kementerian Investasi dan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). (Langkah) Ini untuk menghilangkan rasa ketidakadilan. Jadi, tetap kami membuka (ruang). Saya sebagai mantan pengusaha tahu betul (pemerintah) tidak boleh semena-mena kepada pengusaha. Namun, pengusaha juga jangan main-main,” kata Bahlil.
Terkait pencabutan izin penggunaan kawasan hutan, Bahlil menuturkan bahwa dirinya sudah mengajukan lewat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. ”Dari 192 perusahaan (pemilik izin yang akan dicabut) sudah 15 perusahaan (pemilik izin yang akan dicabut) yang kami teken. Total yang kami cabut 482.000 hektar, ada HTI (hutan tanaman industri), ada kebun, ada HPH (hak pengusahaan hutan), ada IPPKH. Kenapa (dicabut)? Ini izin sudah dikasih tetapi tidak dikelola-kelola. Negara enggak boleh disandera. Jadi, ini dalam rangka penataan dan penertiban,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Bahlil menuturkan bahwa proses terkait HGU masih berjalan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Distribusi
Bahlil mengatakan bahwa seluruh masukan mengenai perusahaan yang akan dicabut izinnya berasal dari kementerian teknis. Kementerian Investasi dan satgas bertugas mengelola dan mengeksekusi. ”Nanti setelah pencabutan, mungkin di bulan Mei, mulai kami akan atur tentang pendistribusiannya. Bapak Presiden (Jokowi), dalam perintahnya, akan melakukan distribusi untuk mencapai keadilan,” katanya.
Bahlil menuturkan, Presiden Jokowi memerintahkan pihaknya untuk memberikan prioritas kepada kelompok-kelompok kemasyarakatan atau organisasi kemasyarakatan. ”Seperti NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, organisasi-organisasi yang punya kontribusi, kemudian–katakanlah–untuk gereja, kemudian untuk organisasi masyarakat yang lain. Itu contoh,” katanya.
Berikutnya adalah untuk badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), koperasi, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah. ”Jangan semua IUP ini berkantor di Jakarta. (Kalau seperti) Ini asas keadilannya tidak terjadi. Itu perintah Bapak Presiden. Bapak Presiden pengin kalau lahan di Sulawesi, ya, diupayakan semaksimal mungkin untuk teman-teman Sulawesi yang bisa mengelolanya, yang profesional, yang punya kapasitas. Jangan pengusaha yang cuma jual-jual izin saja,” kata Bahlil.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, beberapa waktu lalu, menuturkan, keputusan pemerintah mencabut izin usaha di beberapa sektor tersebut sejalan dengan peringatan yang sudah diberikan beberapa kali kepada para pengusaha agar dapat mengoptimalkan izin konsesi untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. Hal yang dinilai krusial adalah menyangkut transparansi, akutabilitas, dan kredibilitas proses atau mekanisme distribusi atau pemberian izin kepada pemegang izin baru nantinya.
Menurut Abra, pencabutan izin-izin menjadi momentum perbaikan besar-besaran untuk melakukan evaluasi menyeluruh bukan hanya ke perusahaan, melainkan juga ke pemerintah di level pusat dan daerah. Tanpa ada evaluasi menyeluruh dan penyelesaian masalah utamanya, maka ketika nanti konsesi diserahkan ke pemegang baru juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya.