Perkuat Pangsa Pasar, Operator Telekomunikasi Seluler Rambah Bisnis Jaringan Tetap
Sejumlah operator telekomunikasi seluler di Tanah Air, seperti XL Axiata dan Smartfren, memutuskan merambah layanan jaringan tetap telekomunikasi. Keberadaannya dinilai bakal semakin dibutuhkan di masa depan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis operator telekomunikasi seluler kini merambah layanan berbasis jaringan tetap, seperti sambungan kabel serat optik ke rumah tangga atau fiber to the home. Strategi bisnis dijalankan untuk memperkuat pangsa pasar.
Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) Dian Siswarini mengatakan, pada 2022, perusahaan berambisi menjadi operator telekomunikasi konvergen terdepan. Tiga strategi yang diambil adalah memperluas pasar jaringan bergerak di luar Jawa, pasar layanan jaringan tetap telekomunikasi bersama Link Net, dan pasar layanan telekomunikasi untuk segmen usaha (bisnis ke bisnis/B2B) pasca-akuisisi Hipernet Indodata.
”Tiga strategi tersebut memerlukan infrastruktur jaringan yang kompleks. Kami mengalokasikan 70 persen dari Rp 9 triliun total belanja modal tahun 2022 untuk infrastruktur jaringan,” ujar Dian Siswarini saat konferensi pers hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2022 di Jakarta, Jumat (22/4/2022).
XL Axiata telah mulai bisnis layanan telekomunikasi berbasis kabel fiber optik ke rumah (fiber to the home/FTTH) sejak dua-tiga tahun lalu. Akuisisi Link Net, perusahaan telekomunikasi di sektor infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi, diyakini XL Axiata akan mempermudah perluasan pembangunan FTTH ke skala nasional. Apalagi, pembangunan FTTH di Indonesia susah karena kondisi geografis berupa kepulauan.
Mengutip laporan presentasi kinerja keuangan tahun 2021 yang diunggah XL Axiata di laman perusahaan, bisnis FTTH telah mempunyai tingkat penetrasi pasar sekitar 11 persen. XL Axiata mengklaim hal itu merupakan indikasi permintaan FTTH yang kuat.
Sampai akhir tahun 2021, infrastruktur jaringan bergerak telekomunikasi XL Axiata telah menjangkau 458 kabupaten/kota. Di kabupaten/kota luar Jawa, khususnya, XL Axiata mengklaim telah menjadi pemain kedua terbesar untuk layanan telekomunikasi seluler.
Sementara itu, pada akhir Mei 2021, PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) melalui anak usahanya, PT Smart Telecom (Smartel), mengakuisisi 20,5 persen saham PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo). Moratelindo merupakan perusahaan telekomunikasi yang berkecimpung di layanan jaringan tetap telekomunikasi.
Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) Merza Fachys mengatakan, akuisisi itu akan memudahkan Smartfren memperluas pembangunan infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi berupa fiber optik. Infrastruktur ini akan memperkuat Smartfren yang akan segera menggelar layanan 5G tahun 2022. Bisnis FTTH milik Moratelindo, yakni Oxygen, akan tetap berjalan seperti biasa.
Smartfren dan Moratelindo berada di bawah Sinar Mas Group. Penyedia layanan FTTH MyRepublic juga berada di bawah Sinar Mas Group. Menurut Merza, keberadaan MyRepublic akan melengkapi layanan telekomunikasi yang ada di Sinar Mas Group.
”Kami percaya, pada masa depan, layanan FTTH akan dibutuhkan setiap orang saat berada di rumah atau di kantor. Sementara layanan telekomunikasi seluler dibutuhkan warga ketika beraktivitas aktif di luar rumah/kantor dan saat bepergian. Jadi, operator telekomunikasi seluler yang berhasil menguasai infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi akan lebih cepat maju,” kata Merza.
Sebelumnya, menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel), tingkat penetrasi jaringan tetap pita lebar telekomunikasi baru mencapai sekitar 12 persen pada akhir tahun 2020. Sementara menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada sekitar 12.000 desa dari sekitar 83.000 desa di Indonesia belum menikmati layanan sinyal 4G LTE (Kompas, 3/5/2021).
Konsolidasi
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif Angga, saat dihubungi pada Minggu (24/4/2022), di Jakarta, memandang, konsolidasi antara perusahaan telekomunikasi seluler dan penyedia jaringan tetap telekomunikasi merupakan hal wajar. Selain meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan, konsolidasi mendorong efisiensi belanja modal dan operasional.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah perusahaan telekomunikasi yang mengantongi izin jasa telekomunikasi mencapai sekitar 900 perusahaan. Jumlah perusahaan telekomunikasi berizin penyelenggara jaringan telekomunikasi mencapai sekitar 250 perusahaan dan didominasi oleh perusahaan penyelenggara jaringan tetap telekomunikasi.
Adapun jumlah perusahaan yang menyediakan jasa untuk mengakses internet atau internet service provider (ISP) anggota APJII tercatat sekitar 730 perusahaan. ”Konsolidasi bisa saja terjadi di kalangan ISP. Semakin banyak pemain, semakin tumpang tindih pelayanan. Kami sedang melakukan penelitian sejauh mana kemajuan penetrasi layanan internet, khususnya bersumber dari FTTH, dengan banyaknya pemain,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, konvergensi antara layanan telekomunikasi seluler dan layanan berbasis jaringan tetap telekomunikasi telah mengemuka sejak 10 tahun lalu. Pada saat itu, industri mengistilahkan fixed mobile convergence (FMC). FMC yang kini tengah berkembang bertujuan untuk memperkuat layanan data internet.
Menjalankan bisnis FMC membutuhkan permodalan kuat. Sebab, pengembangan infrastruktur setiap jenis jaringan telekomunikasi butuh biaya besar. Tantangan lain adalah ada potensi tumpang tindih pasar yang jadi target layanan operator.
”Harus ada semacam pembagian pasar (area) mana yang lebih baik dioptimalkan pembangunan infrastruktur jaringan tetap dan mana yang dimaksimalkan pengembangan infrastruktur jaringan bergerak telekomunikasi. Namun, apabila di suatu area dikembangkan dua jenis infrastruktur bersamaan, masyarakat akan diuntungkan. Akses mereka ke internet semakin baik,” ujarnya.