Pembangunan Jaringan Akses Tetap Pita Lebar Baru 12 Persen
Tingkat penetrasi jaringan tetap pita lebar telekomunikasi di Indonesia masih rendah. PLN mencoba ambil peluang lewat peluncuran Icon+.
JAKARTA, KOMPAS — Penetrasi jaringan tetap pita lebar di Indonesia belum merata. Sampai akhir tahun 2020, tingkat penetrasinya baru mencapai 12 persen.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) Muhammad Arif, saat dihubungi pada Senin (31/5/2021) di Jakarta, menyampaikan hal tersebut. Data pencapaian penetrasi jaringan tetap pita lebar itu hasil perhitungan Apjatel dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
”Kalaupun sejumlah operator telekomunikasi penyelenggara jaringan tetap pita lebar mengklaim pandemi Covid-19 mendorong kenaikan sambungan baru, kami rasa penetrasinya hingga sekarang naik menjadi sekitar 15 persen. Tidak masuk akal jika disebut kenaikan penetrasi sampai 20 persen,” ujarnya.
Jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai sekitar 60-65 juta. Dengan penetrasi jaringan tetap pita lebar yang masih 12-15 persen, itu berarti tingkat penetrasinya masih rendah.
Dari sisi pelanggan, Arif menggambarkan, jumlah pelanggan jaringan tetap pita lebar terbesar dimiliki oleh Telkom, yaitu sekitar 8 juta pelanggan. Kemudian, pelanggan First Media yang berkisar 800.000 pelanggan. Operator lainnya diperkirakan memiliki jumlah pelanggan 250.000 pelanggan dan mungkin lebih kecil dari itu.
”Kami memperkirakan total pelanggan jaringan tetap pita lebar di Indonesia mencapai 10 juta. Jika dibandingkan dengan total rumah tangga di Indonesia, jumlah pelanggan jaringan tetap pita lebar seperti itu, ya, masih rendah,” kata Arif.
Kebanyakan operator berfokus menggelar dan melayani di kota-kota besar yang sudah ada kepastingan pengembalian investasi. Akibatnya, satu kota besar diisi oleh beberapa operator.
Menurut Arif, ada beberapa faktor penyebab klasik di balik masih terbatasnya penetrasi jaringan tetap pita lebar telekomunikasi. Faktor pertama adalah kebanyakan operator berfokus menggelar dan melayani di kota-kota besar yang sudah ada kepastian pengembalian investasi. Akibatnya, satu kota besar diisi oleh beberapa operator. Kondisi ini terkesan dibiarkan oleh pemerintah.
Faktor lainnya adalah regulasi pemerintah daerah yang menghambat penggelaran jaringan tetap pita lebar. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Surabaya yang mengenakan tarif sewa lahan dengan patokan komersial atas jaringan utilitas kabel. Kebijakan ini tidak diikuti dengan pembuatan sarana terpadu utilitas (ducting) untuk mendukung aktivitas operator telekomunikasi. Apjatel dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sudah 2,5 tahun terakhir memprotes kebijakan tersebut, tetapi belum kunjung ada perubahan.
Sebelumnya, pemerintah meluncurkan Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 September 2014.
Menurut Perpres itu, program Rencana Pitalebar Indonesia bertujuan untuk memberikan arah dan panduan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan jaringan pita lebar telekomunikasi yang komprehensif dan terintegrasi di wilayah Indonesia. Program untuk periode 2014-2019 ini merupakan bagian dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2005-2015 dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Khusus jaringan tetap pita lebar telekomunikasi, Perpres No 96/2014 mengamanatkan, sampai akhir tahun 2019, penetrasinya mencapai 30 persen dari total populasi di perkotaan, 71 persen dari total rumah tangga dengan kecepatan 20 megabita per detik (Mbps), 10 persen dari total gedung dengan kecepatan 1 gigabita per detik (Gbps).
Sementara di tingkat perdesaan, prasarana jaringan akses tetap pita lebar mencapai tingkat penetrasi sebesar 6 persen dari total populasi dan 49 persen dari total rumah tangga dengan kecepatan 10 Mbps.
Baca juga: Operator Wajib Bangun Infrastruktur di 3.435 Desa Nonkomersial
Jaringan PLN
Secara terpisah, pada hari yang sama, PT Indonesia Comnets Plus (ICON+) selaku anak perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) melakukan pencitraan ulang produk jaringan tetap pita lebarnya dari StroomNet menjadi ICON Net. Pada tahun 2021, ICON+ menargetkan 1.000 rumah tangga pelanggan baru tersambung jaringan tetap pita lebar.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyampaikan, target pelanggan baru sebanyak itu bisa berasal dari warga yang belum pernah berlangganan layanan jaringan tetap pita lebar telekomunikasi dari operator mana pun. Target lainnya adalah warga yang sempat berlangganan dari operator lain, tetapi tidak terpuaskan kebutuhannya.
Zulkifli menambahkan, pihaknya selalu berharap agar ICON+ belajar menjadi perusahaan telekomunikasi yang selalu mengedepankan pengalaman konsumen. Geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi anak perusahaan PLN itu.
”Kami berharap, di mana ada jaringan listrik PLN di situ ada jaringan tetap pita lebar ICON Net. Jadi, sampai 2024, ICON Net bisa meraih jumlah pelanggan sebanyak 20 juta,” ujarnya.
Kami berharap, di mana ada jaringan listrik PLN di situ ada jaringan tetap pita lebar ICON Net. Jadi, sampai 2024, ICON Net bisa meraih jumlah pelanggan sampai sebanyak 20 juta. (Zulkifli Zaini)
Direktur Utama ICON+ Yuddy Setyo Wicaksono mengatakan, pandemi Covid-19 mendorong kenaikan permintaan layanan internet pita lebar, khususnya melalui jaringan tetap. Aktivitas warga yang dominan di rumah membuat kebutuhan komunikasi jarak jauh menggunakan internet harus terpenuhi.
Selain penawaran akses internet melalui jaringan tetap pita lebar, ICON+ dikabarkan turut menawarkan konten dalam paket ICON Net. Hingga kemarin siang, ICON+ mengklaim, dari target 1.000 pelanggan baru tahun 2021 sudah ada 996 rumah tangga yang melakukan aktivasi layanan ICON Net.
Baca juga: Pembangunan Jaringan 4G di 7.904 Desa Tanggung Jawab Pemerintah