Petani Kecil Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim
Dengan kapasitas respons yang terbatas, petani kecil menjadi pihak yang paling rentan terdampak perubahan iklim di sektor pertanian. Penguatan kapasitas petani melalui pendampingan perlu guna mengurangi kerentanan itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani kecil atau gurem, yakni mereka yang memiliki atau menyewa lahan seluas kurang dari 0,5 hektar, menjadi pihak yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Kapasitas respons mereka relatif kecil dibandingkan para petani besar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah edukasi terkait agroekologi agar pertanian berkelanjutan tercapai.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Mahra Arari Heryanto, mengatakan, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejak tahun 1981 atau empat dekade terakhir, suhu rata-rata Indonesia telah meningkat 0,63 derajat celsius. Setiap dekade ada peningkatan suhu berkisar 0,1-0,3 derajat celsius.
Pertanian sebenarnya menjadi salah satu sektor pemicu terjadinya perubahan iklim. Melalui modernisasi, yakni dengan input kimia secara intensif pada sistem monokultur, pertanian memberi dampak besar pada perubahan iklim. Padahal, dampak dari perubahan iklim juga dirasakan pelaku sektor pertanian itu sendiri, terlebih petani kecil.
”Sektor pertanian ini ironi karena menjadi salah satu kontributor terbesar pada gas rumah kaca, tetapi sekaligus (menjadi sektor yang) merasakan dampaknya, seperti terkait hama, lahan, termasuk tumbuhan. Ujung-ujungnya pada ketahanan pangan,” kata Mahra dalam webinar ”Ketahanan Pangan & Perubahan Iklim” yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian dan Fakultas Pertanian Unpad, Selasa (19/4/2022).
Pengaruh perubahan iklim pada produktivitas pertanian, antara lain, terlihat pada perilaku serangga yang tidak bisa ditebak. Selain itu, musim hujan ataupun musim kemarau berkepanjangan atau sulit terprediksi. Pada akhirnya, produksi pertanian pun terganggu.
”Yang terdampak, ya, petani kecil. Kita tahu bahwa lebih dari 50 persen petani di Indonesia adalah petani gurem. Jadi, merekalah yang akan merasakan dampak dari peningkatan suhu bumi. Mereka mau tak mau hanya bisa pasrah karena pendapatan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kapasitas respons mereka rendah,” ujar Mahra.
Oleh karena itu, penting bagi petani untuk merespons perubahan iklim, antara lain dengan mitigasi. Dalam hal ini, kapasitas respons yang baik guna mengurangi kerentanan ialah melalui agroekologi. Penggunaan pupuk organik menjadi salah satu caranya. Apabila dikelola dengan baik, kapasitas respons dapat menekan kerentanan atau risiko dampak negatif perubahan iklim.
Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Unpad, Shantosa Yudha Siswanto, menuturkan, dari data Environmental Protection Agency, sektor pertanian, seperti peralihan penggunaan lahan dan pembukaan lahan hutan, berkontribusi 24 persen dalam emisi. Itu merupakan sektor terbesar kedua setelah produksi listrik dan panas (25 persen).
Pada akhirnya, produktivitas pertanian terancam menurun. ”Jika produksi menurun, ketahanan pangan akan dipertanyakan. Ini tentu menjadi telah perhatian penting tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia,” ujar Shantosa.
Erosi
Salah satu pemicu pemanasan global tersebut, menurut Shantosa, adalah erosi tanah. Pasalnya, tanah memiliki stok karbon sekitar 2.300 gigaton. Pada tanah dengan ketebalan 40 sentimeter, misalnya, jika terbuka, 860 gigaton karbon akan terbang ke atmosfer. Oleh karena itu, dari sisi konservasi, yang bisa dilakukan ialah jangan sampai tanah terbuka.
Guna menjaga lahan tersebut, hal yang perlu terus didorong ialah membangun komunikasi atau menghubungkan ilmu pengetahuan dengan para petani. ”Ini sangat jarang dilakukan, entah karena faktor karakter atau budaya. Namun, mereka harus tahu karena masalah perubahan iklim ialah soal pola pikir. Jika tidak dibenahi, tidak akan pernah baik,” ujar Shantosa.
Sejumlah hal yang perlu didorong guna menekan kontribusi pertanian pada perubahan iklim ialah pengolahan tanah secara minimum, pemupukan bahan organik, pemulsaan (penutupan permukaan dengan bahan organik), dan penanaman penutup tanah. Juga penanaman searah kontur, penanaman jalur, penerapan sistem lorong, dan sistem rotasi tanaman.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan, pihaknya terus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam membuat terobosan demi ketahanan pangan nasional. Di Jawa Barat, misalnya, semua kabupaten didorong untuk minimal menanam 1.000 hektar tanaman padi IP (indeks pertanaman) 400, yang bisa empat kali tanam setahun.
Sebelumnya, dalam upaya mengantisipasi puncak musim kemarau 2022, Kementerian Pertanian mendorong berbagai hal, salah satunya gerakan panen air. Suwandi mengatakan, air hujan dan run-off (limpasan permukaan) ialah sumber daya alam yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, yakni hanya dibiarkan mengalir ke saluran drainase menuju sungai.
Apabila dapat dikelola dengan baik, air hujan akan memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia. ”Saya berharap kita semua bisa mengelola air, panen air sedemikian rupa sekaligus mengubah kebiasaan yang ada. Air sebaiknya diputar dahulu untuk berbagai proses produksi, terakhir baru dilepas ke tempat pembuangan,” kata Suwandi, dalam keterangannya, Jumat (8/4/2022).