Upaya meningkatkan daya saing produk tuna Indonesia memerlukan pembenahan hulu-hilir agar tidak semakin tertinggal.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya saing Indonesia dalam pasar tuna dunia masih menghadapi sejumlah tantangan. Kendati tergolong produsen besar tuna dunia, nilai ekspor tuna Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain.
Direktur Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Erwin Dwiyana mengungkapkan, Indonesia tercatat sebagai produsen terbesar tuna-tongkol-cakalang dunia selama 2010-2019, dengan kontribusi 15 persen dari total produksi tuna-tongkol-cakalang dunia. Posisi itu diikuti Filipina dengan kontribusi 7,3 persen; Vietnam 6,6 persen; dan Ekuador 6,1 persen.
Meski menjadi produsen utama tuna, Indonesia hanya menempati peringkat keenam eksportir tuna dunia. Negara tujuan utama ekspor tuna Indonesia, antara lain, Jepang, Uni Eropa, serta Amerika Serikat dan Thailand. Sebaliknya, Thailand yang merupakan importir tuna-cakalang terbesar ketiga dunia justru menjadi eksportir tuna terbesar dunia dengan mengandalkan ekspor produk olahan tuna.
Pada 2020, ekspor tuna-cakalang dari Thailand tercatat senilai 2,4 miliar dollar AS atau 17,73 persen dari pasar dunia. Sedangkan ekspor tuna-cakalang dari Indonesia hanya senilai 724.094 dollar AS atau 5,33 persen dari pasar dunia. Dari data KKP, pada 2020 tercatat 410 unit pengolahan ikan (UPI) skala menengah-besar untuk komoditas tuna-tongkol dan cakalang.
”Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Thailand,” ungkap Erwin dalam webinar ”Daya Saing Tuna Indonesia” yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch Indonesia dan Freedom Fund, Selasa (19/4/2022).
Erwin menambahkan, tantangan peningkatan ekspor tuna Indonesia saat ini meliputi hambatan tarif, nontarif, dan logistik. Dari aspek tarif, pengenaan tarif tinggi di atas 15 persen dan tarif eskalasi untuk produk olahan dan tarif bahan baku masih dikenakan oleh sejumlah negara kepada Indonesia. Sementara hambatan nontarif, antara lain, persyaratan ekspor yang semakin ketat terkait mutu dan keberlanjutan.
”Peningkatan daya saing untuk meningkatkan ekspor dimulai dari pemenuhan bahan baku, perbaikan sistem produksi, distribusi dan logistik, hingga upaya menumbuhkan iklim usaha investasi yang kondusif,” ujar Erwin.
Tantangan peningkatan ekspor tuna Indonesia saat ini meliputi hambatan tarif, nontarif , dan logistik. Dari aspek tarif, pengenaan tarif tinggi di atas 15 persen dan tarif eskalasi untuk produk olahan dan tarif bahan baku masih dikenakan oleh sejumlah negara kepada Indonesia.
Ia memprediksi, hambatan terkait tarif akan menurun, tetapi hambatan nontarif akan terus meningkat seiring persyaratan pasar yang semakin ketat. Oleh karena itu, perbaikan sistem terkait mutu, keamanan pangan, ketertelusuran, aspek keberlanjutan, dan sertifikasi produk perlu terus dilakukan, di samping negosiasi hambatan tarif dan nontarif dengan negara tujuan utama ekspor. Di sisi lain, pemerintah juga menjajaki perluasan pasar tuna di luar pasar tujuan utama, antara lain ke negara-negara ASEAN dan Timur Tengah.
Persyaratan pasar
Country Representative Marine Stewardship Council (MSC) Hirmen Syofyanto mengatakan, tren produk dan konsumen perikanan tuna dunia bersertifikasi MSC semakin diminati pasar. Saat ini, produk tuna dunia yang sudah bersertifikasi MSC sebanyak 2,1 juta ton atau 3 persen dari total tangkapan dunia serta kebanyakan dipasarkan di AS, Eropa, dan negara-negara Pasifik.
MSC menggunakan dua standar, yakni memastikan standar perikanan memastikan keberlanjutan stok dan dampak ekosistem yang minimum. Selain itu, standar rantai pengawasan dan memastikan produk yang berlabel MSC bisa ditelusuri.
Direktur Ocean Solution Zulficar Mochtar menambahkan, peningkatan daya saing tuna Indonesia memerlukan pembenahan hulu ke hilir, meliputi perbaikan data stok, kuota, tata kelola yang terkait dengan organisasi perikanan regional (RFMO), kebijakan perizinan, persiapan operasional, penangkapan ikan, pendaratan, pengolahan, target ekspor, transportasi, dan importir. Ia menilai masih terjadi perbedaan mencolok terkait data stok tuna antara Pemerintah Indonesia dan RFMO sehingga memengaruhi kuota tangkap tuna bagi Indonesia.
Zulficar meminta Pemerintah Indonesia menyiapkan tim negosiator yang tangguh dan berpengalaman dalam menghadapi putaran perundingan internasional. Negosiasi perlu ditingkatkan agar kuota tangkapan yang didapat Indonesia bisa lebih optimal. ”Banyak perundingan terkait perdagangan perikanan tuna yang hasilnya merugikan Indonesia karena kegagalan tim sehingga perlu ada penyiapan bahan yang solid dengan melibatkan tim ahli, pengacara, dan pelaku usaha” katanya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, mengemukakan, pemerintah perlu memprioritaskan pembinaan kepada nelayan kecil dalam upaya peningkatan ekspor tuna. Ini karena produksi tuna Indonesia dihasilkan oleh 70 persen armada perikanan skala kecil-menengah dan hanya 30 persen oleh skala industri. ”Kebijakan pemerintah perlu menitikberatkan pada perikanan skala kecil dan perlindungan anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal penangkap ikan skala industri,” ujarnya.