Industri Berjibaku Siasati Imbas Perang Rusia-Ukraina
Imbas perang Rusia-Ukraina mulai memantik kekhawatiran dunia industri. Berbagai sektor kini berjibaku berusaha menjaga pasokan bahan baku serta menavigasi dinamika geopolitik yang kompleks dan dilematis.
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina terus bereskalasi dan kian mendisrupsi rantai pasok dunia. Pelaku industri pun gamang. Berbagai sektor menghadapi kendala pasokan dan harga bahan baku yang meroket. Terjadi pula hambatan transaksi dagang akibat imbas sanksi ekonomi negara-negara barat terhadap Rusia.
Salah satu sektor yang terdampak adalah industri makanan dan minuman yang cukup bergantung pada bahan baku gandum dari Ukraina. Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2021, Indonesia mengimpor 3,07 juta ton gandum dari Ukraina, mencakup 26,78 persen dari total impor gandum saat itu.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman memperkirakan, pasokan gandum masih tersedia sampai Mei 2022. Oleh karena itu, sejauh ini, produksi belum terganggu dan kenaikan harga produk jadi olahan gandum masih bisa direm. Namun, ketenangan itu tidak akan bertahan lama.
Baca juga: Habis Wabah, Terbit Perang
Pelaku industri pun kini berjibaku mencari sumber gandum alternatif dari negara lain untuk menjaga kecukupan pasokan yang akan segera menipis. Ikhtiar itu dilakukan di tengah harga gandum dunia yang per Maret 2022 sudah meroket hingga 486,3 dollar AS per metrik ton akibat imbas perang. Sebagai perbandingan, tahun lalu harganya masih 289,3 dollar AS per metrik ton.
Pelaku industri pun kini berjibaku mencari sumber gandum alternatif dari negara lain untuk menjaga kecukupan pasokan yang akan segera menipis.
Namun, upaya itu pun terhambat karena kerja sama karantina dengan beberapa negara penghasil gandum dan produk hortikultura lain, seperti India, Romania, dan Bulgaria, sudah habis masa berlaku. Menurut Adhi, hal ini menjadi kendala besar karena dengan harga termurah di dunia, impor gandum dari India diandalkan untuk menggantikan pasokan dari Ukraina.
Alhasil, di tengah stok yang terus menipis, banyak pelaku industri yang sampai sekarang belum bisa mengimpor gandum dari India. ”Kami harap pemerintah melihat kondisi ini dalam bingkai sense of crisis dan segera bicara dengan negara-negara itu agar ada pengecualian. Kalau tidak diantisipasi, ini akan menambah hambatan ketersediaan bahan baku,” kata Adhi, pekan lalu.
Kelangkaan bahan baku juga dirasakan sektor telekomunikasi. Menurut Presiden Direktur PT XL Axiata Tbk Dian Siswarini, konflik Rusia-Ukraina telah berdampak pada kelangkaan cip semikonduktor selaku komponen terpenting dalam produksi kartu sim.
Serangan Rusia ke Ukraina membuat produksi gas neon dua perusahaan asal Ukraina, Ingas dan Cryoin, berhenti. Padahal, keduanya memasok 45-50 persen kebutuhan gas neon untuk manufaktur dunia. Gas neon menjadi komponen penting untuk laser yang dipakai dalam produksi cip semikonduktor.
Kondisi itu diperburuk kebijakan China selaku pemasok cip semikonduktor yang memilih memprioritaskan hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri menyusul kelangkaan gas neon itu. ”Baru dua minggu sejak invasi Rusia, cip semikonduktor di pasar global langsung langka,” ujar Dian.
Baru dua minggu sejak invasi Rusia, cip semikonduktor di pasar global langsung langka.
Semua sektor pengguna komponen cip semikonduktor kini tengah melakukan diversifikasi rantai pasok dan menjajaki produsen asal India. Dian pun berharap situasi ini menjadi momentum untuk mulai mengembangkan sektor cip semikonduktor nasional.
”Jika kapasitas produksi cip semikonduktor lokal sudah memadai, industri dalam negeri tidak akan terganggu adanya disrupsi jalur logistik,” kata Dian.
Selain kendala berburu bahan baku, rentetan sanksi ekonomi yang digencarkan sejumlah negara barat terhadap Rusia juga ikut berimbas ke industri dalam negeri. Pemblokiran bank Rusia dari sistem jejaring keuangan internasional Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) menyulitkan transaksi ekspor dan impor dengan pelaku usaha asal Rusia.
Transaksi bisa saja tetap dilakukan, tetapi lebih sulit karena harus memakai sistem keuangan lain yang cakupannya lebih terbatas atau melalui sistem perbankan negara lain sebagai pihak ketiga. ”Meski kita tidak ikut-ikutan memberi sanksi ke Rusia, kita terhalang sistem. Transaksi dengan Rusia tetap sulit dilakukan,” kata Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia Johnny Darmawan.
Meski kita tidak ikut-ikutan memberi sanksi ke Rusia, kita terhalang sistem. Transaksi dengan Rusia tetap sulit dilakukan.
Dilema di tengah sanksi
Kendala transaksi itu salah satunya dirasakan PT Great Giant Pineapple, produsen buah kaleng yang sejak tahun 2017 mengekspor nanas kaleng ke Rusia. Direktur External Affairs PT Great Giant Pineapple Welly Soegiono mengatakan, saat perang, permintaan nanas kaleng dari Rusia bertambah dari biasanya 27 kontainer atau sekitar 459 ton menjadi 100 kontainer atau setara 1.700 ton.
Namun, Welly kini menghadapi dilema untuk melanjutkan ekspor tersebut. Pertama, ia khawatir perusahaannya akan ikut mendapat ”sanksi” dari negara Barat jika tetap bertransaksi dengan Rusia. Kedua, adanya kendala logistik lantaran sulit mendapat kapal yang mau mendekati area perang. Ketiga, kerumitan melakukan transaksi pembayaran di luar instrumen SWIFT.
Baca juga: Dilema Sanksi Ekonomi Rusia
Pelaku industri pun butuh kepastian dari pemerintah mengenai kejelasan hubungan dagang dengan Rusia. ”Kami butuh petunjuk dari pemerintah. Karena sebenarnya ini, kan, bukan impor di mana kita memberi uang ke Rusia. Produknya pun nanas kaleng, bukan senjata,” kata Welly.
Kendati demikian, ia tidak keberatan jika ekspor ke Rusia untuk sementara dibatasi di tengah ketegangan geopolitik. Yang penting, ada kepastian. ”Supaya kami tidak perlu khawatir dan bertanya-tanya. Kalau memang jelas ada instruksi, tidak masalah. Bisa kami alihkan, nanti DP (uang muka) yang sudah dibayar bisa dikembalikan,” ujarnya.
Ketegangan geopolitik itu juga berdampak ke industri besi dan baja sebagai importir bahan baku dari Rusia. Mengutip data BPS, komoditas besi dan baja menjadi impor tertinggi dari Rusia sepanjang tahun 2021 dengan nilai 447 juta dollar AS atau setara Rp 6,42 triliun (kurs Rp 14.730 per dollar AS).
Ketua Umum Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan, untuk sementara ini, di tengah eskalasi konflik, pelaku industri menghindari membeli besi baja dari Rusia dan Ukraina. Selain itu, pelaku industri juga harus mencari sumber bahan baku dari negara lain. ”Bahan baku dari Rusia itu terkenal dengan iron ore(bijih besi) dan coking coal. Bahan baku itu kita hindari dulu beli dari sana,” katanya.
Baca juga: Lawan Balik Sanksi, Putin Paksa Eropa Bayar Gas dengan Rubel
Menurut Silmy, di tengah kondisi perekonomian global yang tak tentu, industri perlu cermat menata ulang strategi impor dan ekspornya. "Kita harus bisa mengantisipasi dinamika yang ada dan memprediksi apa yang terjadi ke depan. Bahkan, kalau bisa, menjadikan situasi saat ini sebagai peluang," ujar Silmy.
Ia mencontohkan, setelah Eropa mengeluarkan paket sanksi keempat berupa larangan impor besi dan baja Rusia, ekspor Krakatau Steel ke Eropa mencatat rekor bulanan tertinggi sejak perseroan itu berdiri.
"Jadi konflik ini malah membuka kesempatan untuk kita mengisi pasar Eropa," kata Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel.
Fleksibilitas
Di tengah berbagai kesulitan itu, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto meyakini, industri memiliki resiliensi dan fleksibilitas tinggi untuk menavigasi dinamika global saat ini.
”Kita tidak hanya bergantung pada satu sumber. Sudah sejak lama kita menjajaki bahan baku dari negara lain untuk mengatasi kendala pasokan seperti saat ini. Sama juga dengan pasar. Meski kita punya pasar ekspor tradisional, kita juga terus mempenetrasi pasar nontradisional,” kata Eko.
Setiap hari, pemerintah memantau ketersediaan bahan baku industri di tiap sektor yang paling terdampak disrupsi rantai pasok. Lobi-lobi diplomasi dengan negara lain juga rutin dilakukan untuk menjajaki sumber bahan baku alternatif.
Kita tidak hanya bergantung pada satu sumber. Sudah sejak lama kita menjajaki bahan baku dari negara lain untuk mengatasi kendala pasokan seperti saat ini.
Kendati demikian, menurut dia, upaya diversifikasi rantai pasok yang sedang dilakukan ini dapat membawa konsekuensi kenaikan harga produk akhir industri. Contohnya, Ukraina selama ini diandalkan sebagai penghasil gandum dengan harga termurah. Dengan mengalihkan impor dari negara lain, seperti Australia, biaya produksi bisa naik karena harga gandum di sana lebih mahal.
”Namun, pada akhirnya, yang penting pasokan terjaga. Kenaikan harga tidak bisa dihindari karena dinamika harga dunia juga sedang tinggi,” kata Eko.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, untuk menghadapi eskalasi tensi geopolitik saat ini, pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus mencegah inflasi lebih tinggi dari target yang dicanangkan Bank Indonesia, yakni di rentang 2-4 persen pada 2022.
”Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif akan mendorong perekonomian tetap prudent untuk mencegah inflasi lebih tinggi lagi,” ujarnya.