Akun dan Konten Palsu dalam Pencarian Kerja
Saat ini tren pencitraan personal menjadi salah satu penilaian pemberi kerja. Pencitraan itu seharusnya diimbangi dengan kompetensi dan karakter diri yang berkualitas.
Seperti media sosial umumnya, platform media sosial yang dirancang khusus untuk kepentingan bisnis dan karier profesional, yaitu LinkedIn, pun tak bebas dari konten palsu serta akun palsu. Bagaimana jika konten profil palsu itu dibuat dan digerakkan oleh komputer, lalu dipakai untuk berjejaring urusan pekerjaan?
Pertanyaan seperti itu terjawab melalui ulasan National Public Radio (NPR) Amerika Serikat bertajuk ”That Smiling LinkedIn Profile Face Might Be A Computer-Generated Fake”yang terbit 27 Maret 2022. Tulisan diawali dengan cerita Renée DiResta, Technical Research Manager di Stanford Internet Obsevatory, yang menerima pesan dari Keenan Ramsey di LinkedIn. Ramsey menyebut dia tergabung dalam group pengusaha di LinkedIn dan mengajukan pertanyaan kepada Renée.
Isi pesan Ramsey adalah ”Pertanyaan singkat — pernahkah Anda mempertimbangkan atau melihat pendekatan terpadu untuk pesan, video, dan telepon di perangkat apa pun, di mana pun?” Karena pertanyaan itu dianggap tidak menarik, Renée sempat ingin mengabaikannya. Akan tetapi, dia mengurungkan niat itu dan melihat lebih dekat ke foto profil Ramsey. Dia menemukan keanehan.
”Potongan-potongan rambutnya menghilang dan muncul kembali. Matanya sejajar tepat di tengah gambar, anting tunggal, dan latar belakangnya buram. Kemungkinan besar dibuat oleh kecerdasan buatan,” ujar Renée yang juga terkenal sebagai peneliti veteran yang mempelajari kampanye disinformasi Rusia dan konspirasi anti-vaksin.
Seperti media sosial umumnya, platform media sosial yang dirancang khusus untuk kepentingan bisnis dan karier profesional, yaitu LinkedIn, pun tak bebas dari konten palsu serta akun palsu.
Teknologi yang kemungkinan besar digunakan untuk membuat foto Keenan Ramsey adalah generative adversarial network atau GAN. Teknologi ini mulai dikenal pada 2014, tetapi cepat berkembang menciptakan wajah seperti aslinya dengan melatih kumpulan data besar foto orang sungguhan. Saat ini, sudah banyak laman yang memungkinkan siapa saja mengunduh wajah yang dihasilkan komputer secara gratis.
Untuk mengonfirmasi apakah Ramsey memang ”orang palsu”, NPR ikut menggali latar belakang yang dijelaskan di profil LinkedIn-nya. RingCentral ternyata tidak memiliki catatan pegawai bernama Keenan Ramsey. Begitu pula Language I/O, salah satu perusahaan sebelumnya yang dia masukkan dalam riwayat kariernya.
”Catatan New York University tidak ada alumnus bernama Keenan Ramsey yang menerima gelar sarjana dari jurusan apa pun,” kata juru bicara New York University John Beckman kepada NPR.
Bersama rekannya Josh Goldstein di Stanford Internet Observatory, Renée menemukan lebih dari 1.000 profil LinkedIn menggunakan wajah yang diciptakan oleh kecerdasan buatan.
Banyak profil yang menggambarkan pekerjaan mereka dengan variasi judul, seperti manajer pengembangan bisnis, eksekutif pengembangan penjualan, manajer pertumbuhan, dan spesialis pembangkitan permintaan.
Mereka sering memiliki daftar singkat dua atau tiga mantan perusahaan, kadang-kadang nama terkenal, seperti Amazon dan Salesforce, tanpa rincian tentang pengalaman tersebut. Ketika NPR menjangkau beberapa perusahaan yang terdaftar sebagai mantan majikan, tidak ada yang memiliki catatan tentang karyawan yang seharusnya bekerja di sana.
Banyak profil juga menggunakan kredensial pendidikan yang sangat mirip. Beberapa, misalnya, mengaku telah menerima gelar sarjana dalam administrasi bisnis — termasuk dari sekolah, seperti Universitas Columbia, yang tidak menawarkan gelar sarjana bisnis.
NPR menghubungi 28 universitas tentang 57 profil. Dari 21 sekolah yang menanggapi, tidak ada yang memiliki catatan tentang profil-profil itu.
Lebih dari 70 bisnis terdaftar sebagai pemberi kerja di profil palsu ini. Beberapa mengatakan kepada NPR bahwa mereka telah menyewa pemasar luar untuk membantu penjualan. Namun, mereka mengatakan mereka tidak mengizinkan penggunaan gambar yang dihasilkan komputer.
LinkedIn menghapus lebih dari 15 juta akun palsu selama semester I-2021, menurut laporan transparansi terbarunya. LinkedIn mengklaim sebagian besar terdeteksi selama pendaftaran, dan sebagian besar sisanya ditemukan oleh sistem otomatis, sebelum anggota LinkedIn melaporkannya.
Di halaman Kebijakan Komunitas Profesional, LinkedIn telah mengatakan bahwa setiap profil yang tidak otentik, termasuk pemakaian gambar yang tidak mewakili pengguna sebenarnya, melanggar aturan LinkedIn. Juru Bicara LinkedIn Leonna Spilman pada NPR mengatakan, pihaknya berusaha memperbarui pertahanan teknis untuk mengidentifikasi profil palsu dengan lebih baik dan menghapus profil palsu dari komunitas.
LinkedIn menghapus lebih dari 15 juta akun palsu selama semester I-2021, menurut laporan transparansi terbarunya. LinkedIn mengklaim sebagian besar terdeteksi selama pendaftaran, dan sebagian besar sisanya ditemukan oleh sistem otomatis, sebelum anggota LinkedIn melaporkannya.
Berdasarkan penelitiannya, NPR menyimpulkan, profil palsu bukanlah fenomena baru di LinkedIn. Seperti media sosial lainnya, LinkedIn berjuang melawan bot ataupun pekerja profesional yang salah menggambarkan diri mereka saat menggunakan platform LinkedIn.
Akan tetapi, ketersediaan dan kualitas foto yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan semakin meningkat. Ahli forensik media digital di University of California, Berkeley, Hany Farid, mengatakan, foto wajah yang dibuat oleh kecerdasan buatan semakin susah dibedakan dari foto wajah asli. Orang hanya memiliki peluang 50 persen untuk menebak dengan benar.
Baca Juga: Generasi Z dan Y Dominasi Media Daring
Relatif aman
Managing Director PT Headhunter Indonesia Haryo Utomo Suryomarto saat dihubungi Jumat (8/4/2022), di Jakarta, mengatakan, Indonesia relatif masih aman dari fenomena profil palsu LinkedIn. Meski demikian, dia pernah sekali menjumpai laman perusahaan di Indonesia yang ia duga palsu. Saat ditelusuri foto-foto profil pekerja yang tercantum diakun LinkedIn itu ternyata mengambil dari berbagai sumber di internet.
Menurut Haryo, di Indonesia, LinkedIn masih menjadi platform rujukan utama perusahaan ataupun pencari kerja. Kalaupun ada persoalan, permasalahannya pun hanya sebatas pengguna melebih-lebihkan informasi profil tentang dirinya, khususnya menyangkut masa kerja. Lalu, isu lainnya, yaitu kandidat suka mengunggah curriculum vitae, tetapi tidak membangun jejaring dengan pengguna platform lainnya.
”Mengarang riwayat kerja di LinkedIn memang tidak ada larangan. Sebagai perekrut, kami biasanya akan selalu menilai identitas, kompetensi, dan perkembangan diri kandidat. Setelah itu, kami akan melakukan verifikasi latar belakang melalui cara bertanya dengan perusahaan lama,” ujar Haryo.
LinkedIn masih menjadi platform rujukan utama perusahaan ataupun pencari kerja. Kalaupun ada persoalan, permasalahannya pun hanya sebatas pengguna melebih-lebihkan informasi profil tentang dirinya, khususnya menyangkut masa kerja.
Konsultan Sumber Daya Manusia untuk Usaha Rintisan dan UKM, Samuel Pandu Amarta, berpendapat, sikap tidak etis di platform LinkedIn adalah membuat informasi bohong. Melebih-lebihkan informasi atas profil merupakan isu berbeda.
”Bisa jadi melebih-lebihkan informasi profil karena pengguna LinkedIn bersangkutan memang memiliki kemampuan menulis naratif yang lebih dibanding pengguna lainnya. Perusahaan ataupun tenaga perekrutan biasanya akan melakukan verifikasi ganda. Mereka juga seharusnya memahami keseluruhan konteks atas informasi yang ditulis oleh kandidat pekerja,” kata Samuel.
Perusahaan yang terjun ke LinkedIn, lanjut Samuel, juga diharuskan menampilkan kebenaran informasi. Jika perusahaan bersangkutan berstatus baru berdiri, misalnya di bidang perekrutan tenaga kerja, dan ingin mengumpulkan data calon pekerja, perusahaan itu harus meminta izin kepada kandidat incaran di LinkedIn. Setelah beroperasi dan buka lowongan kerja, perusahaan bersangkutan semestinya kembali menginformasikan kepada kandidat yang datanya sudah dikumpulkan.
Perusahaan yang terjun ke LinkedIn, lanjut Samuel, juga diharuskan menampilkan kebenaran informasi.
”Harus diakui potensi kemunculan informasi palsu lowongan kerja di media sosial, termasuk LinkedIn, akan selalu ada. Saran saya kepada angkatan kerja usia muda yang memiliki akun di LinkedIn adalah harus sering verifikasi ulang di laman yang khusus menampilkan info lowongan kerja, seperti Kalibrr,” ujar Samuel.
Baca Juga : Cerita Pekerja Gen Z, Bekerja Tak Melulu Soal Uang
Pakar proses pencarian kerja di Monster (laman lowongan kerja daring di Amerika Serikat) Vicki Salemi saat diwawancara The New York Times untuk artikel ”The Pandemic Changed Everything About Work, Except the Humble Resume ”, terbit 22 Januari 2022, mengatakan, manajer perekrutan masih akan mengandalkan resume.
Bagi pemberi kerja, resume adalah hal kedua setelah wawancara langsung dalam menentukan apakah seorang kandidat cocok atau tidak. Dasar-dasar menulis resume itu sendiri tidak berubah, meskipun kini masuk era data dan teknologi digital.
Dari sisi tenaga kerja, Anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) M Aditya Warman berpendapat, sejak duduk di bangku kuliah, mahasiswa semestinya dibekali pengetahuan cara ”menjual” dirinya dengan baik di media sosial.
Apalagi, saat ini tren pencitraan personal menjadi salah satu penilaian pemberi kerja. Pencitraan itu seharusnya diimbangi dengan kompetensi dan karakter diri yang berkualitas.