Disparitas harga bahan bakar minyak (BBM) di pasaran menggiring konsumen beralih ke BBM bersubsidi yang lebih murah. Subsidi berpotensi membengkak dan tidak tepat sasaran.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selisih harga jual bahan bakar minyak atau BBM di pasaran dikhawatirkan bakal mendistorsi obyek sasaran subsidi. Sebab, konsumen diprediksi beralih ke BBM bersubsidi yang dijual dengan harga lebih murah.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, saat dihubungi, Senin (4/4/2022), berpendapat, disparitas harga BBM jenis pertamax dan pertalite memungkinkan terjadinya distorsi. Sebab, sebagian pengguna pertamax beralih ke pertalite yang lebih murah.
”(Situasi) Ini akan berbahaya pada sisi fiskal karena subsidi berpotensi tidak tepat sasaran. Sebab, yang disubsidi justru masyarakat yang tak memenuhi syarat, dalam hal ini, menengah ke atas. Jadi, kenaikan harga harusnya koheren antarjenis BBM,” kata Riefky.
Terhitung sejak Jumat (1/4/2022), PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga BBM non-subsidi jenis pertamax (RON 92) dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 per liter. Sementara pertalite (RON 90) yang resmi menggantikan premium sebagai jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) tetap dijual dengan harga Rp 7.650 per liter.
Selain itu, kendati telah dinaikkan, harga baru pertamax masih di bawah harga keekonomiannya yang diperkirakan bisa mencapai Rp 16.000 per liter bulan ini. Menurut Riefky, disparitas harga bakal menyebabkan pergeseran konsumsi karena warga akan mencari bahan bakar yang lebih murah.
Menurut dia, agar tepat sasaran, subsidi idealnya bukan ditujukan pada produk, melainkan langsung kepada masyarakat sasaran, seperti melalui bantuan langsung tunai (BLT). Selain itu, penyesuaian harga pertalite perlu guna mengurangi gap harga dengan BBM lain. Dengan demikian, pemerintah bisa menekan potensi kebocoran dan beban subsidi.
Peningkatan
Penjabat Sementara Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting, Senin, menyatakan, secara umum ada peningkatan konsumsi pertalite pada Jumat-Sabtu, 1-2 April 2022. Namun, pihaknya belum dapat memastikan apakah hal itu berasal dari konsumen pertamax yang beralih ke pertalite atau karena hal lain.
”(Sebab), Pada Kamis malam masyarakat memenuhi tangki kendaraan dengan pertamax. (Pergeseran) ini belum bisa dilihat trennya. Ini temporary (sementara). Kita akan lihat dalam 1-2 minggu ke depan,” kata Irto melalui pesan singkat.
Dari informasi yang beredar, ada pembatasan distribusi pertalite pascakenaikan harga pertamax menjadi Rp 12.500 per liter. Namun, Irto membantahnya. ”Saat ini tidak ada pembatasan untuk pertalite,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah menjamin ketersediaan BBM kendati permintaannya cenderung meningkat seiring kian pulihnya mobilitas masyarakat. Bersama Pertamina, pemerintah memastikan ketersediaan BBM, khususnya pertalite sebagai BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. ”Pemerintah menjamin tersedianya BBM,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi, dalam keterangannya, Sabtu (2/4/2022).
Menurut dia, Pertamina telah mengecek langsung kondisi di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) serta sarana dan fasilitas terminal BBM di Indonesia. Fasilitas yang dicek antara lain di Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, serta Sulawesi Selatan.
Dalam upaya pengendalian penyaluran BBM jenis solar bersubsidi, sejumlah langkah ditempuh pemerintah, salah satunya melalui penerbitan Keputusan Menteri ESDM No 45.K/HK.02/SJN.H/2022 tentang Tim Gugus Tugas Pengawasan Penyediaan dan Pendistribusian BBM. Pengawasan bersama ditempuh oleh Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, tim BPH Migas, dan Pertamina di beberapa daerah yang terjadi antrean atau kelangkaan solar.
Terpantau normal
Berdasarkan pantauan di sejumlah SPBU di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, Senin (4/4/2022), ketersediaan pertalite relatif aman. Panjang antrean kendaraan relatif normal. Kondisinya lebih normal dibandingkan akhir pekan lalu. Pada Jumat-Sabtu, stok pertalite di beberapa SPBU di Jakarta habis.
”Sabtu lalu tidak kebagian waktu mau mengisi (perlitalite), tetapi sekarang sudah normal. Harapan saya, harga pertalite jangan ikut naik, lah. Masyarakat lagi susah, harga-harga (barang kebutuhan) di pasar lagi naik,” kata Warso (48) warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Putra (29), warga Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berharap jika harga BBM harus naik, kenaikannya dilakukan bertahap. ”Jangan langsung melonjak kayak pertamax ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov mengatakan, jika tak diantisipasi, kuota pertalite bisa jebol. Agar tak menjadi bom waktu, menurutnya, pemerintah perlu mempercepat mekanisme subsidi energi, dalam hal ini pertalite, secara tertutup.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan, selama ini, setiap mendekati Idul Fitri, kerap ada pergerakan kendaraan signifikan. Apalagi, kini pemerintah sudah membolehkan mudik Lebaran, atau yang pertama sejak masa pandemi Covid-19.
”Oleh karena itu, keputusan menaikkan harga juga perlu disertai jaminan pasokan pertalite. Jadi, jangan sampai kenaikan harga pertamax membuat pasokan BBM jenis lainnya tersendat. Sebab, ini akan menimbulkan permasalahn baru yang bisa fatal jika tidak diantisipasi. Di samping itu, ketersediaan pertamax sendiri juga perlu dipastikan,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Agus, antisipasi berupa edukasi terkait kesesuaian penggunaan BBM sesuai spesifikasi kendaraan juga perlu terus digencarkan. Hal tersebut, menurutnya, bukan hanya tanggung jawab pemerintah ataupun Pertamina, melainkan juga pihak-pihak terkait lain, termasuk dari industri otomotif. Meski sudah ada yang mengikuti ketersesuaian itu, secara umum komunikasi dan edukasi belum optimal.