Biodiesel dari CPO menjadi bahan campuran dengan solar murni menjadi biosolar. Tingginya harga CPO dan minyak mentah, sementara harga jual biosolar lebih rendah, menyebabkan insentif biodisel membengkak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS menyebut tidak ada kendalan pasokan biodiesel sebagai bahan campuran solar murni menjadi biosolar. Namun, subsidi harga biodiesel diperkirakan meningkat seiring tingginya harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO yang menjadi bahan baku biodiesel.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (30/3/2022) mengatakan, situasi kelangkaan biosolar tak ada kaitannya dengan BPDPKS. Adapun BPDPKS selama ini menyalurkan pembayaran selisih antara harga indeks pasar (HIP) minyak solar dengan HIP biodiesel.
“Tak ada hubungannya. Saya cek penyaluran biodiesel normal, sesuai dengan rata-rata per bulan yakni 800.000 kilo liter. Makanya, saya enggak tahu di mana masalahnya. Apakah di distribusinya,” kata Eddy.
Beberapa pekan terakhir, kelangkaan biosolar terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Kendaraan angkutan barang kesulitan mendapat biosolar yang juga menyebabkan antrean panjang di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sementara pemerintah menyebut stok aman dan mencukupi.
Dalam paparan di Komisi XI DPR, Eddy menyampaikan bahwa volume penyaluran biodiesel meningkat dari tahun ke tahun, yakni 6,37 juta kiloliter pada 2019, lalu naik menjadi 8,4 juta kiloliter pada 2020. Pada 2021, realisasi penyaluran biodiesel di dalam negeri mencapai 9,16 juta kiloliter dan tahun ini diproyeksikan tersalur sebanyak 10,15 juta kiloliter.
“Kemungkinan pada 2022, apabila harga CPO tetap tinggi dan harga solar tidak naik, gap (subsidi biodieselnya)-nya masih akan tetap tinggi. Namun, kelihatannya harga solar mulai merangkak (naik). Jadi, walaupun CPO tetap di atas (tinggi), tetapi gap HIP solar dan HIP biodiesel kian mengecil, sehingga dana-dana yang diperlukan untuk menutup selisih itu menjadi lebih kecil,” ujar Eddy.
Berdasar catatan BPDPKS, pada 2015, insentif biodiesel yang disalurkan mencapai Rp 460 miliar. Saat itu, kadar campuran biodiesel dengan solar murni sebesar 15 persen atau dikenal dengan B15. Besaran insentif terus naik menjadi Rp 10,7 triliun pada 2017 dan sempat turun di 2018 dan 2019 yang masing-masing sebesar Rp 5,66 triliun dan Rp 3,15 triliun.
Sejak diberlakukannya kebijakan B30 mulai 2020 atau biosolar dengan kadar campuran biodiesel 30 persen dan solar murni 70 persen, insentif biodiesel naik drastis menjadi Rp 28 triliun. Kemudian pada 2021, angkanya kembali melonjak menjadi Rp 51,9 triliun.
Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota Komisi XI DPR menyoroti timpangnya insentif antara peremajaan sawit dengan insentif untuk biodiesel. Padahal, program peremajaan sawit sangat terkait dengan kesejahteraan petani sawit di Indonesia. Pada 2021, insentif untuk peremajaan sawit sekitar Rp 1,34 triliun atau menurun dibanding realisasi di 2020 yang sebesar Rp 2,7 triliun.
“Rencana awal kehadiran BPDPKS dengan yang dikerjakan jauh berbeda. Kalau ini belum diselesaikan (ketimpangan insentif biodiesel dengan peremajaan sawit), harapan program peremajaan sawit rakyat sulit terwujud,” kata anggota Komisi XI dari Partai Keadilan Sejahtera Hidayatullah.