Program Magang Digencarkan, Perlu Standar Jelas untuk Hindari Eksploitasi
Program pemagangan berperan strategis untuk mengembangkan kualitas SDM dan mendorong pemulihan pasar kerja pascapandemi. Namun, sejauh ini masih sedikit perusahaan yang memiliki program pemagangan mumpuni dan layak.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mendorong pemulihan pasar kerja pascapandemi, perusahaan diajak lebih aktif menyediakan program pemagangan kepada angkatan kerja muda. Perlu ada standardisasi baku, transparansi, serta pengawasan kuat agar peserta magang tidak rentan dieksploitasi dengan beban kerja bertumpuk dan upah minim atau nihil.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan, program pemagangan berperan strategis untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mendorong pemulihan pasar kerja pascapandemi. Namun, sejauh ini masih sedikit perusahaan yang memiliki program pemagangan yang mumpuni.
Setiap tahun, pada umumnya ada sekitar 2,8 juta orang angkatan kerja muda yang masuk ke pasar kerja. Sementara, menurut data Apindo, pencari kerja yang mengikuti program pelatihan dan pemagangan secara benar dan layak kurang dari 50.000 orang.
”Jumlah ini terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang masuk pasar kerja setiap tahun. Kita butuh mengembangkan pemagangan hingga 10 kali lipat. Perusahaan harus lebih banyak membuka tempat usahanya untuk melatih anak-anak muda yang mau masuk pasar kerja,” ujar Bob dalam konferensi pers rilis manual penyelenggaraan pemagangan, Selasa (29/3/2022).
Ia menyayangkan peserta magang kerap hanya ditugaskan mengerjakan hal remeh-temeh yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Padahal, tujuan dari program pemagangan sejatinya adalah untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan pencari kerja, bahkan sebagai pintu masuk untuk mempekerjakan yang bersangkutan secara tetap di perusahaan terkait.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Agustus 2021, jumlah angkatan kerja Indonesia adalah 140,15 juta orang, terdiri dari 131,05 juta penduduk yang bekerja dan 9,10 juta orang penganggur. Dalam waktu satu tahun, sepanjang Agustus 2020 ke 2021, terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 1,93 juta orang.
Sebagian besar angkatan kerja berasal dari sektor informal sebanyak 77,91 juta orang atau 59,45 persen dari total angkatan kerja dan masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan dasar ke bawah, yaitu 37,69 persen. Sementara angkatan kerja tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih menjadi penganggur paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya.
Kondisi itu menunjukkan salah satu problem klasik pasar kerja, yakni kesenjangan dan ketidaksesuaian keterampilan (mismatch) pekerja yang diperlukan industri dengan tenaga kerja yang disiapkan lembaga pendidikan dan pelatihan formal. ”Dunia usaha dan industri harus jadifrontliner. Kita tidak ingin orang yang ikut program magang hanya dapat ilmu bikin kopi dan fotokopi,” ujarnya.
Kita tidak ingin orang yang ikut program magang hanya dapat ilmu bikin kopi dan fotokopi.
Bob mengatakan, pemagangan harus diiringi dengan infrastruktur, fasilitas pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi resmi bagi pesertanya. Hal ini dituangkan dalam buku manual penyelenggaraan pemagangan yang dibuat Apindo bersama Jakarta Japan Club (JCC). ”Kita akan menyusun bagaimana standar penyelenggaraan program magang seharusnya agar peserta magang bisa mendapat manfaat, yakni skill, knowledge, dansampai yang terpenting, pengembangan karakter,” tutur Bob.
Pemagangan kini menjadi salah satu strategi utama pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran pascapandemi. Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen untuk menurunkan tingkat pengangguran nasional hingga 5,5 sampai 6,3 persen di tahun 2022. Sebagai perbandingan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 adalah 6,49 persen.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, tahun 2021-2022 sebagai ”Tahun Magang”. Ia pun meminta perusahaan untuk lebih aktif melakukan program pemagangan. ”Kalau kompetensinya diperkuat melalui proses magang, perusahaan juga diuntungkan dengan mendapatkan tenaga kerja yang kompeten,” ujarnya.
Antisipasi eksploitasi
Secara terpisah, Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang mengatakan, program pemagangan dibutuhkan pencari kerja untuk mengembangkan keterampilan, mengenali dunia kerja, dan meningkatkan produktivitas. Namun, implementasinya harus diiringi pengawasan kuat, perencanaan dan standardisasi program magang yang jelas, serta transparansi antara perusahaan dan peserta magang.
Jika tidak, akan muncul banyak kasus eksploitasi peserta magang seperti yang beberapa kali mencuat akhir-akhir ini. Peserta magang diberikan beban kerja setara dengan pekerja tetap, tetapi tidak diberi uang saku atau upah yang layak, bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali. Dalam beberapa kasus, peserta magang dipekerjakan lebih keras hingga harus lembur.
”Pengawasan harus dilakukan ketat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan atau pemanfaatan dari pihak perusahaan yang menyebabkan potensi terjadinya eksploitasi terhadap pekerja,” kata Andriko.
Menurut Andriko, ada tiga hal yang perlu diperjelas. Pertama, perusahaan harus menuangkan perencanaan dan standar program pemagangan dalam peraturan internal, seperti peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Dengan demikian, ada standar baku program magang yang harus diikuti, lengkap dengan hak dan kewajiban perusahaan serta peserta magang.
Kedua, harus ada infrastruktur pengawasan yang memadai secara internal dan eksternal. Monitoring internal melalui serikat pekerja di perusahaan terkait dan monitoring eksternal melalui pemerintah dan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional. Selama ini karena statusnya sering kali dianggap bukan pekerja, peserta magang minim pengawasan sehingga kerap muncul kasus eksploitasi.
Ketiga, harus ada mekanisme yang transparan antara perusahaan dan calon peserta magang. Selama ini, karena tidak ada transparansi, banyak perusahaan menerapkan program magang tanpa desain dan target. Peserta magang tidak tahu lingkup kerjanya dan tidak terlihat ada pertumbuhan atau pengembangan kapasitas selama mengikuti program.
”Tiba-tiba saja disuruh kerja ini, kerja itu. Informasi ini harus dijelaskan secara riil dari awal sehingga peserta magang tahu apa-apa saja yang harus ia lakukan, apa yang akan ia dapat dari program ini, dan apa saja yang harus dilakukan perusahaan,” kata Andriko.