Penyusunan aturan pajak aset kripto mendesak menyusul terus melonjaknya transaksi dan jumlah investor aset kripto. Hingga Februari 2022, transaksi aset kripto tercatat mencapai Rp 83,8 triliun dengan 12,4 juta investor.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyusun regulasi pengenaan pajak atas aset kripto seiring meningkatnya transaksi instrumen ini dalam beberapa tahun terakhir. Otoritas fiskal kemungkinan akan menggunakan skema Pajak Penghasilan atau PPh Final dalam pemajakan aset kripto.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, skema pungutan tengah dibahas oleh otoritas perniagaan dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
”Regulasi tentang pajak diperlukan seiring dengan transaksi aset kripto yang bertumbuh. Mengenai pengaturan pajak aset kripto, diskusi dengan lembaga terkait lain masih berlangsung,” katanya saat dihubungi, Selasa (29/3/2022).
Regulasi tentang pajak diperlukan seiring dengan transaksi aset kripto yang bertumbuh. Mengenai pengaturan pajak aset kripto, diskusi dengan lembaga terkait lain masih berlangsung.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai transaksi aset kripto di Indonesia Rp 64,9 triliun pada tahun 2020. Sementara di sepanjang 2021, nilai transaksi aset kripto naik signifikan hingga Rp 859,4 triliun.
Penyusunan mengenai aturan yang memayungi pungutan pajak aset kripto memang mendesak menyusul terus melonjaknya transaksi dan jumlah investor. Pada Januari-Februari 2022, transaksi aset kripto tercatat mencapai Rp 83,8 triliun dengan 12,4 juta investor.
Jumlah calon pedagang fisik aset kripto di Indonesia yang telah memiliki tanda daftar dari Bappebti tercatat bertambah menjadi sebanyak 18 perusahaan pedagang aset kripto.
”Dalam waktu dekat, sangat dimungkinkan jumlah ini akan terus bertambah,” ujar Wisnu.
Sebelumnya, Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan bahwa perlakuan perpajakan atas transaksi aset kripto masih menunggu kepastian dari regulator lain, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Meski BKF belum dapat memastikan skema pajak yang akan digunakan untuk tarif pungutan aset kripto, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, implementasi pemajakan aset kripto di Indonesia dapat mengoptimalkan instrumen PPh Final.
Menurut Fajry, meskipun umumnya pemajakan transaksi kripto di sejumlah negara mengacu kepada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat pula negara, salah satunya Inggris, yang mengenakan PPh ketika berlangsung transaksi barang atau jasa dengan menggunakan aset kripto.
”Begitu pula dengan aktivitas mining, dapat dikenai PPh. Hal yang menantang bagi pemerintah adalah untuk menentukan besaran tarifnya berapa,” ujarnya.
Pemerintah bisa berdasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengamanatkan pengenaan pungutan untuk setiap tambahan kemampuan ekonomis.
Dalam diskusi bertema ”Seberapa Potensi Kripto Anak Bangsa?” yang berlangsung pada awal pekan ini secara hibrida, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, perkembangan jumlah transaksi aset kripto perlu terus dikawal agar tetap berada di koridor yang benar.
”Kripto bukanlah alat pembayaran, melainkan komoditas atau aset. Aset kripto juga disyaratkan untuk dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang, dan pendanaan terorisme,” ujarnya.
Pajak natura
Pemerintah juga masih merumuskan turunan untuk pajak natura atau pajak yang dikenakan atas fasilitas atau kemewahan yang diterima karyawan dari perusahaan. Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai pemajakan natura akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Dalam UU tersebut, fasilitas perusahaan yang termasuk dalam pajak natura adalah fasilitas yang diterima karyawan sebagai insentif, seperti kendaraan ataupun tempat tinggal. Namun, fasilitas yang ditujukan untuk mendukung kinerja karyawan, seperti laptop, ponsel, dan uang makan, tidak akan dianggap sebagai obyek pajak natura.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka mengatakan, proses penyusunan PP sebagai aturan turunan untuk pajak natura bukan hanya dilakukan oleh Kementerian Keuangan, melainkan juga lembaga pemerintah lain termasuk Kementerian Hukum dan HAM.
”Tarif pajak natura nantinya akan dibebankan kepada pemberinya, yakni perusahaan yang bersangkutan,” ujarnya.