Permintaan biosolar yang tinggi menyebabkan antrean kendaraan di sejumlah daerah. Distribusi biosolar mesti dipastikan tepat sasaran.
Oleh
MEDIANA, VINA OKTAVIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VII DPR mendesak pemerintah menambah kuota biosolar sebanyak 2 juta kiloliter tahun ini sehingga total alokasinya naik dari 15,1 juta kiloliter menjadi 17,1 juta kiloliter. Pemerintah juga diminta menjamin pendistribusian biosolar tepat sasaran di daerah.
Desakan Komisi VII DPR tersebut merupakan salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Pertamina (Persero), serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Selasa (29/3/2022), di Jakarta. Salah satu agenda rapat adalah membahas krisis pasokan biosolar yang terjadi di sejumlah daerah akhir-akhir ini.
Selain penambahan kuota biosolar, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno, pemerintah juga harus menjamin distribusi biosolar tepat sasaran. Kementerian ESDM dan BPH Migas sebaiknya berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan pendistribusian dan menindak tegas terhadap segala jenis penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi, termasuk biosolar.
Terkait kuota biosolar, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, kuota tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. Mengacu data BPH Migas, kuota biosolar 2021 sebanyak 15,8 juta kiloliter, sedangkan kuota 2022 sebanyak 15,1 juta kiloliter. Permintaan biosolar meningkat lantaran faktor pemulihan ekonomi. Di sejumlah provinsi terjadi peningkatan permintaan sampai 75 persen. Pertamina mencatat terjadi kelebihan konsumsi biosolar sebesar 10 persen selama tiga bulan terakhir.
”Jika tren permintaan berlanjut, ada kemungkinan permintaan biosolar naik menjadi 16 juta kiloliter sampai akhir tahun 2022,” ucap Nicke.
Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi VI DPR pada Senin (28/3), Nicke mengatakan, biosolar belakangan ini digunakan industri skala besar, seperti industri kelapa sawit dan pertambangan. Padahal, kedua sektor industri tersebut tidak masuk daftar pengguna yang berhak mengonsumsi biosolar.
Terkait harga, menurut Nicke, ada selisih Rp 7.800 per liter untuk solar bersubsidi dengan solar nonsubsidi. Adapun penjualan solar bersubsidi mencapai 93 persen, sedangkan solar nonsubsidi hanya 7 persen dari keseluruhan volume BBM jenis solar yang dijual di Indonesia.
”Kami menduga, disparitas (harga) ini yang mendorong shifting konsumsi (dari solar nonsubsidi ke solar bersubsidi) sehingga biosolar yang disubsidi pemerintah menjadi tidak tepat sasaran,” ujarnya.
Penjualan solar bersubsidi mencapai 93 persen, sedangkan solar nonsubsidi hanya 7 persen dari keseluruhan volume BBM jenis solar yang dijual di Indonesia.
Pengawasan
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kadir Karding, mengatakan, BPH Migas semestinya cepat menindaklanjuti informasi kelangkaan biosolar yang banyak diberitakan media massa. Pada saat ini, hal yang paling dibutuhkan masyarakat adalah solusi cepat mengatasi kelangkaan di sejumlah titik stasiun pengisian bahan bakar umum.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Amanat Nasional, Nasril Bahar, berpendapat pentingnya ada data nyata konsumsi biosolar selama tiga bulan terakhir. Kepastian data ini akan membantu pengawasan.
”Oleh karena itu, kami minta ada data siapa pengguna, apakah perkebunan, pertambangan, atau sektor kelautan, seperti nelayan,” ujarnya.
Selain memperketat pengawasan, permintaan penambahan kuota biosolar juga harus diperhitungkan dengan baik oleh pemerintah. Menurut Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov, letak permasalahan antrean pembelian biosolar di sejumlah daerah adalah adanya kebocoran dan penyalahgunaan. Oleh karena itu, solusi mendesak yang harus diambil pemerintah ialah memastikan distribusi biosolar tepat sasaran.
”Menambah kuota biosolar memicu pembengkakan APBN. Selain itu, masyarakat yang berhak mendapatkan biosolar juga belum tentu memperolehnya ketika kuota ditambah. Akibatnya, antrean biosolar akan kembali berulang,” ujar Abra.
Abra menambahkan, selain pengawasan yang diperketat, solusi yang bisa diambil oleh pemerintah ialah melakukan penyesuaian harga jual biosolar. Harganya bisa dinaikkan, tetapi tidak drastis dan tetap di bawah harga keekonomian sehingga tidak membebani APBN. Pemerintah pun tetap bisa menjaga inflasi sesuai target.
Petani terdampak
Kelangkaan biosolar yang terjadi di Lampung menghambat distribusi komoditas pertanian. Cabai dan sayuran yang semestinya dikirim setelah panen tertunda sehingga harga jualnya turun.
Ikbal Sutanto (36), petani cabai asal Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, menuturkan, kelangkaan solar yang terjadi di Lampung Barat membuat mobil angkutan sayuran tidak bisa beroperasi setiap hari. Cabai yang biasanya dikirim ke Bandar Lampung seusai panen kini harus menginap di gudang selama 1-2 hari.
”Pemilik mobil beralasan harus antre solar seharian sehingga tidak bisa beroperasi setiap hari,” kata Ikbal.
Selama ini, Ikbal dan sejumlah petani lainnya menyewa mobil untuk mengirim cabai dan sayuran ke pasar tradisional di Bandar Lampung. Biaya pengiriman hasil panen petani dari Lampung Barat ke Bandar Lampung Rp 350 per kilogram.
Ikbal mengatakan, kelangkaan solar memang tidak membuat biaya pengiriman meningkat. Namun, tertundanya pengiriman selama beberapa hari membuat harga jual komoditas pertanian merosot.
”Harga cabai bisa turun sampai Rp 3.000 jika terlambat pengiriman dan berat juga akan dikurangi jika ada yang busuk,” katanya.
Saat ini, harga jual cabai merah besar di tingkat petani di Lampung Barat berkisar Rp 21.000-Rp 23.000 per kilogram. Namun, jika pengiriman terlambat 2-3 hari, harga jual cabai hanya Rp 18.000-Rp 20.000 per kg, bergantung tingkat kesegaran cabai.