Anggaran Subsidi Energi Perlu Dikalkulasikan Kembali
Dengan asumsi harga minyak mentah dunia dalam APBN 2022 sebesar 63 dollar AS per barel, pemerintah mematok anggaran subsidi energi senilai Rp 134 triliun.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih optimistis kenaikan harga minyak mentah dunia tidak akan membebani anggaran belanja negara lewat subsidi energi. Meski begitu, kalkulasi tepat tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi periode panjang kenaikan harga minyak dunia.
Mengutip Bloomberg, Senin (7/3/2022), harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman April 2022 berada di level 130,41 dollar AS per barel. Pada Selasa (8/3/2022), harga minyak jenis yang sama berada di sekitar level 120 dollar AS per barel. Harga ini mencapai dua kali lipat dari asumsi harga minyak mentah dunia yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, yakni 63 dollar AS per barel.
Direktur Center of Economic and Law Studise (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan, kenaikan harga minyak mentah dunia akan membuat kebutuhan subsidi energi membengkak naik dari Rp 134 triliun menjadi Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun.
Hampir bisa dipastikan subsidi energi akan melampaui nilai pagu dalam APBN karena realisasi subsidi energi di Januari sudah naik signifikan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,
”Hampir bisa dipastikan subsidi energi akan melampaui nilai pagu dalam APBN karena realisasi subsidi energi di Januari sudah naik signifikan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu,” kata Bhima saat dihubungi Senin (7/3/2022).
Dalam APBN 2022, pemerintah telah menetapkan anggaran subsidi energi tahun ini senilai Rp 134 triliun. Anggaran tersebut senilai Rp 56,5 triliun untuk subsidi listrik, dan Rp 77,5 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan juga elpiji.
Menurut dia, pemerintah tetap perlu mengevaluasi anggaran subsidi energi jika ketegangan antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut secara berkepanjangan. Ketegangan di antara kedua negara Eropa Timur tersebut dinilai Bhima sebagai penyebab utama lonjakan harga minyak dunia.
”Jika pemerintah menyesuaikan harga BBM dengan harga minyak dunia, dikhawatirkan akan terjadi lonjakan inflasi yang dapat memengaruhi proses pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, berlandaskan penetapan tersebut, pemerintah akan terus memantau apabila terjadi selisih antara harga penetapan dan harga keekonomian.
Ia optimistis subsidi energi pada tahun ini masih akan aman sehingga tidak terlalu membebani APBN yang kinerjanya masih akan difokuskan pada pemulihan ekonomi. Potensi penerimaan di tahun anggaran 2022 juga masih cukup tinggi mengingat tahun ini Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diimplementasikan.
”Pemerintah juga terus memantau selisih harga minyak dengan harga keekonomian. Meskipun level ICP (Indonesia crude price) lebih tinggi dari asumsi APBN, tanpa adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, dampak kepada fiskalnya masih terkendali,” ujarnya.
Sementara itu, dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radi, menilai, di satu sisi, kenaikan harga minyak mentah ini akan memberikan defisit pada neraca migas Indonesia. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang lebih banyak mengimpor minyak ketimbang mengekspor minyak (net oil importer).
Namun, di sisi lain, lanjutnya, kenaikan harga komoditas, termasuk crude palm oil (CPO) dan batubara, berpotensi membuat neraca nonmigas Indonesia menjadi surplus. ”Dengan adanya surplus ini, pemerintah bisa melakukan subsidi silang. Pendapatan nonmigas bisa digunakan untuk subsidi migas,” ujarnya.
Selain itu, Fahmy menawarkan solusi lain kepada pemerintah, yakni dengan membebankan kompensasi BBM bersubsidi kepada PT Pertamina (Persero). Dengan begitu, anggaran belanja subsidi energi yang berpotensi melonjak karena kenaikan minyak mentah dunia bisa ditekan.
Konsekuensi dari pilihan tersebut, lanjutnya, adalah laba Pertamina bisa berkurang sehingga akan mengurangi dividen yang disetor perseroan kepada negara.
”Pilihan-pilihan ini bisa dikalkulasikan untung-ruginya bagi negara, yang terpenting prioritas utama pemerintah adalah untuk melindungi daya beli masyarakat yang berusaha pulih dari pandemi,” ujarnya.