Buntut masalah antrean biosolar di berbagai daerah adalah DPR meminta pemerintah menambah kuota BBM bersubsidi tersebut. Desakan ini lahir dari hasil rapat dengar pendapat dengan PT Pertamina (Persero).
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, biosolar, bahan bakar minyak bersubsidi, belakangan ini digunakan industri skala besar, seperti industri kelapa sawit dan pertambangan. Padahal, kedua sektor industri tersebut tidak masuk dalam daftar pengguna yang berhak mengonsumsi biosolar.
”Antrean yang kami lihat justru datang dari industri-industri besar, seperti sawit dan tambang. Ini yang harus ditertibkan. Mungkin diperlukan peraturan level keputusan menteri sebagai petunjuk pelaksana dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 untuk pelaksanaan biosolar sehingga ada kejelasan mana sektor industri yang boleh mengonsumsi atau tidak,” ujar Nicke dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Senin (29/3/2022).
Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak mengatur jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu, jenis BBM penugasan, dan jenis BBM umum. Jenis BBM tertentu adalah minyak tanah dan solar bersubsidi (biosolar). Sementara jenis BBM penugasan adalah premium (RON 88), dan jenis BBM umum adalah seluruh jenis BBM di luar jenis BBM tertentu dan penugasan. Jenis BBM umum adalah BBM yang dijual dengan harga nonsubsidi.
Nicke menambahkan, sampai Februari 2022, realisasi penyaluran biosolar mencapai 2,49 juta kiloliter. Volume ini telah melampaui 10 persen dari ketetapan untuk bulan tersebut. Situasi ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia, kecuali di wilayah Maluku dan Papua.
”Dari sisi permintaan biosolar, terjadi kenaikan 10 persen. Sementara dari sisi suplai, pemerintah telah mematok kuota dikurangi 5 persen. Kami mohon dukungan kepada Komisi VI DPR untuk mendesak pemerintah menyesuaikan subsidi jika biosolar dianggap membantu perekonomian,” kata Nicke.
Mengacu data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), kuota biosolar 2021 sebanyak 15,8 juta kiloliter. Tahun ini, pemerintah mengurangi kuota biosolar menjadi 15,1 juta kiloliter. Biosolar dijual dengan harga subsidi Rp 5.150 per liter.
Terkait harga, menurut Nicke, ada selisih Rp 7.800 per liter untuk solar bersubsidi dengan solar nonsubsidi. Adapun penjualan solar bersubsidi mencapai 93 persen, sementara solar nonsubsidi hanya 7 persen dari keseluruhan volume BBM jenis solar yang dijual di Indonesia. ”Kami menduga, disparitas (harga) ini yang mendorong shifting konsumsi (dari solar nonsubsidi ke solar bersubsidi) sehingga biosolar yang disubsidi pemerintah menjadi tidak tepat sasaran,” ujarnya.
Adapun penjualan solar bersubsidi mencapai 93 persen, sementara solar nonsubsidi hanya 7 persen dari keseluruhan volume BBM jenis solar yang dijual di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi VI DPR Partai Nasional Demokrat, HP Martin Y Manurung, mempertanyakan letak kebocoran atau penyalahgunaan biosolar. Dari sisi korporasi, Pertamina sebenarnya bisa menertibkan mitra stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang tidak patuh terhadap ketentuan jual-beli biosolar.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mufti Aimah Nurul Anam, menambahkan, Pertamina seharusnya memastikan apakah antrean biosolar di sejumlah SPBU disebabkan oleh masalah distribusi. Pertamina juga didorong mengecek kembali kebenaran truk yang membeli biosolar berasal dari industri sawit dan tambang, seperti yang disampaikan Pertamina.
”Di daerah pemilihan saya, yakni Pasuruan dan Probolinggo, antrean biosolar bukan berasal dari truk yang mengangkut hasil sawit dan tambang. Mohon dicek kebenarannya. Lalu, Pertamina dan BPH Migas mengatakan stok biosolar masih aman 21 hari, tetapi kok terjadi keluhan kelangkaan dan antrean pembelian di mana-mana,” ucap Mufti.
Perketat pengawasan
Dalam kesimpulan rapat tersebut, Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima menyampaikan bahwa pemerintah agar menambah kuota biosolar sesuai tren permintaan di pasar sehingga dapat menghindari kelangkaan. Penambahan kuota itu juga harus disertai pengawasan distribusi yang ketat.
”Kami mendesak pula pemerintah untuk mengubah mekanisme kompensasi solar menjadi sepenuhnya subsidi. Pemerintah juga harus membuat peraturan yang lebih jelas, turunan dari Perpres No 191/2014 mengenai pembatasan jenis kendaraan yang bisa memakai biosolar,” ujar Aria.
Secara terpisah, pengajar Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radi, berpendapat, kelangkaan biosolar di sejumlah daerah bersamaan dengan meroketnya harga minyak dunia. Faktor ini kian menguatkan indikasi bahwa ada strategi Pertamina mengurangi pasokan untuk menekan kerugian akibat biaya produksi semakin membengkak di tengah mahalnya harga minyak dunia.
”Kalau benar, strategi itu sesungguhnya amat sangat blunder. Pasalnya, pengguna solar subsidi adalah nelayan dan truk pengangkut barang untuk distribusi kebutuhan bahan-pokok. Terhambatnya distribusi tersebut berpotensi makin menyulut kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok yang sebelumnya sudah mengalami kenaikkan signifikan,” kata Fahmy.
Fahmy menambahkan, untuk mencegah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akibat tersumbatnya distribusi, pemerintah melalui BPH Migas seharusnya mengawasi Pertamina dalam penyaluran biosolar. Tujuannya agar kelangkaan dapat segera dihentikan dalam waktu dekat.