Stasiun Televisi Harus Berkompetisi dengan Platform Digital untuk Datangkan Iklan
Di Indonesia sekarang terdapat lebih dari 700 stasiun televisi. Mereka harus bersaing ketat di era penyiaran digital terestrial dan di tengah perusahaan perilaku pemirsa mengonsumsi konten di internet.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah stasiun televisi di Indonesia yang mencapai 797 stasiun mesti bersaing dengan platform digital untuk bertahan. Mereka harus bermigrasi ke penyiaran digital terestrial dan bersaing ketat menghasilkan konten yang mampu mendatangkan pendapatan iklan.
”Sebelum pandemi Covid-19, pendapatan iklan televisi menunjukkan tren menurun. Hingga memasuki pandemi tahun ketiga dan harus bermigrasi ke penyiaran digital, pendapatan belum pulih,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar di sela-sela webinar ”Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) 2022”, Senin (28/3/2022), di Jakarta.
Gilang menambahkan, dengan jumlah pemain yang ratusan itu dan pendapatan iklan masih belum membaik, industri penyiaran televisi harus menjaga persaingan sehat. Jika tidak, industri penyiaran tidak akan tumbuh dan tak mampu bersaing.
Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Darmanto, tren menurunnya jumlah iklan yang dipasang di televisi terestrial merupakan hal wajar. Hal ini dipengaruhi perilaku warga dalam mengakses media yang sebelumnya menjadikan televisi sebagai sumber utama informasi kemudian beralih ke media sosial.
”Pengiklan mengikuti pergerakan perilaku warga mengonsumsi informasi di media sosial ataupun media daring. Apabila tren ini terus terjadi, ada kemungkinan pendapatan iklan yang stasiun televisi peroleh semakin kecil,” ucap Darmanto.
Darmanto menambahkan, masa transisi dari siaran televisi analog ke televisi digital akan berpengaruh terhadap tingkat kepemirsaan penonton karena mereka harus menjalani adaptasi baru. Dalam kondisi seperti itu, pengiklan diperkirakan akan menahan diri untuk beriklan sembari melihat perkembangan. Pada saat bersamaan, lembaga penyiaran harus mengeluarkan biaya besar untuk membuat acara-acara menarik yang dapat menarik minat penonton dan promosi.
”Tidak tertutup kemungkinan terjadi merger dan akuisisi di antara lembaga penyiaran swasta. Di era penyiaran digital, orientasi penonton adalah semakin mengejar kualitas, baik dari segi teknis maupun isi konten,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, lembaga penyiaran harus mengeluarkan biaya besar untuk membuat acara-acara menarik yang dapat menarik minat penonton dan promosi.
Televisi masih dominan
Laporan tahunan Nielsen mencatat belanja iklan di seluruh bentuk media (televisi, koran, radio, dan kanal digital) di Indonesia sepanjang tahun 2021 tumbuh 13 persen dibandingkan 2020. Total belanja iklan untuk ragam media tersebut mencapai Rp 259 triliun. Nilai ini dihitung berdasarkan gross ratecard atau tarif kotor pemasangan iklan. Porsi belanja iklan di televisi masih dominan, yakni 78,2 persen. Porsi berikutnya adalah kanal digital 15,9 persen, media cetak 5,5 persen, dan radio 0,4 persen.
Direktur Eksekutif PT Nielsen Audience Measurement Helen Katrina menyampaikan, di 11 kabupaten/kota yang menjadi target pengukuran rating Nielsen, belum semua pemirsa di daerah tersebut siap memasuki era penyiaran digital. Hanya sekitar 30 persen atau 17,45 juta pemirsa di 11 kabupaten/kota itu yang siap, baik yang sudah berlangganan televisi berbayar maupun televisi digital terestrial. Sisanya, 70 persen atau 41,47 juta pemirsa masih menggunakan siaran televisi analog terestrial.
Selama pandemi Covid-19 terjadi akselerasi konsumsi platform digital. Sejumlah stasiun televisi telah memahami fenomena itu. Mereka pun berbondong-bondong mengembangkan kanal di YouTube ataupun membuat aplikasi sendiri untuk mendistribusikan konten mereka secara streaming.
”Karena membuat kanal di YouTube dan aplikasi, hasil survei kami di DKI Jakarta saja menunjukkan ada penambahan jumlah pemirsa baru yang sebelumnya sama sekali tidak pernah menonton siaran televisi terestrial,” kata Helen.