Platform Digital Global Minati Bisnis Telekomunikasi
Perusahaan raksasa teknologi global, seperti Google dan Meta, gencar berinvestasi di sektor telekomunikasi. Mereka pun terlibat mendukung pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi.
Sejumlah perusahaan raksasa teknologi semakin gencar berinvestasi di perusahaan telekomunikasi di Asia Pasifik. Mereka juga membangun jaringan infrastruktur kabel optik. Hal itu menandakan besarnya potensi bisnis teknologi di kawasan ini.
Akhir Januari 2022, Google mengumumkan akan berinvestasi hingga satu miliar dollar AS di Bharti Airtel, operator seluler terbesar kedua di India. Google akan memiliki kepemilikan sekitar 1,28 persen di perusahaan telekomunikasi milik miliarder Sunil Mittal itu.
Mengutip Al Jazeera.com, langkah itu merupakan bagian dari Google for India Digitisation Fund yang diluncurkan pada tahun 2020 dan bertujuan untuk menyediakan akses terjangkau ke ponsel pintar kepada lebih dari satu miliar orang India dan mempercepat penetrasi bisnis komputasi awan. CEO Alphabet Inc Sundar Pichai mengatakan, kedua perusahaan juga berencana bersama-sama mengembangkan perangkat lunak untuk standar 5G dan lainnya.
Google sebelumnya telah memegang 7,7 persen saham di Jio, perusahaan telekomunikasi yang dimiliki pengusaha Mukesh Ambani. Google dan Jio berkolaborasi pada pengembangan ponsel murah berkemampuan 4G yang diluncurkan pada November tahun lalu.
Investasi yang dilakukan oleh platform teknologi itu ke perusahaan telekomunikasi bertujuan untuk memudahkan mereka memonetisasi bisnis.
Perusahaan raksasa teknologi lainnya, seperti Meta, Microsoft, dan beberapa perusahaan ekuitas swasta, kata Partner Telecommunications Practice di Bain & Company Kiran Karanukaran, juga berinvestasi di Jio. Dia menilai, investasi yang dilakukan oleh platform teknologi itu ke perusahaan telekomunikasi bertujuan untuk memudahkan mereka memonetisasi bisnis.
”Pelanggan layanan telekomunikasi seluler di India sangat besar, yaitu sekitar 800 juta orang. Jumlah pelanggan Jio, misalnya, sekitar 400 juta orang dan seluruhnya adalah pengguna Whatsapp yang dimiliki oleh Meta. Android pun menjadi sistem operasi ponsel pintar nomor satu di India,” ujar Kiran dalam wawancara video, Minggu (27/3/2022), di Jakarta.
Perusahaan-perusahaan raksasa teknologi itu tengah mengembangkan aneka produk teknologi digital lainnya, seperti benda terhubung dengan internet (internet of things/IoT), komputasi awan, dan metaverse. Masuk dan bekerja sama dengan operator telekomunikasi memudahkan mereka meningkatkan jangkauan pasar atas inovasi-inovasi mereka.
Pada saat bersamaan beberapa di antara mereka juga membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi. Google dan Meta, khususnya, mempunyai lebih dari 10 proyek sistem komunikasi kabel laut (SKKL) secara global.
Meta (yang dulu bernama Facebook), melalui salah satu tulisan di blognya akhir Februari 2022, mengklaim telah berinvestasi dalam beberapa SKKL di Asia Pasifik, melakukan diversifikasi rute, dan menghubungkan lebih banyak ke komunitas masyarakat. Dua dari SKKL telah beroperasi, yakni Asia-Pacific Gateway dan Jupiter. SKKL itu melintasi Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Amerika Serikat.
Meta juga telah mengumumkan berinvestasi delapan SKKL baru yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun 2022–2025. Dua SKKL, di antaranya Echo dan Bitfrost, melewati Selat Luzon dan menjadi SKKL pertama yang menghubungkan Jakarta, Indonesia, secara langsung ke Amerika Serikat.
SKKL lainnya, yakni Apricot, akan menghubungkan Singapura, Jepang, Taiwan, Guam, Indonesia, dan Filipina. Apricot pun disebut-sebut akan menjadi SKKL pertama lintas Asia yang menghindari jalur terpadat di Laut China Selatan.
Ketika infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi masih sedikit terbangun di negara berkembang itu menyulitkan mereka untuk meningkatkan skala bisnis. Padahal, negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan India, yang memiliki jumlah populasi penduduk besar merupakan pasar potensial bagi mereka
Di Indonesia, secara khusus, Meta telah bekerja sama dengan PT Alita Praya Mitra untuk memperluas pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi kabel optik di 56 kabupaten/kota di delapan provinsi pada 2021. Meta mengklaim hal itu dilakukan sejalan dengan komitmen perusahaan menghadirkan layanan internet di sejumlah negara, termasuk Indonesia, melalui misi konektivitas.
”Ketika infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi masih sedikit terbangun di negara berkembang, itu menyulitkan mereka untuk meningkatkan skala bisnis. Padahal, negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan India, yang memiliki jumlah populasi penduduk besar merupakan pasar potensial bagi mereka,” kata Kiran.
Dalam lima tahun terakhir, konsumsi data seluler tumbuh dua kali lipat setiap tahun. Akan tetapi, konsumsi itu kebanyakan dipakai pelanggan operator telekomunikasi seluler di negara berkembang untuk mengakses aplikasi internet asing.
Dari sisi industri telekomunikasi sendiri, Kiran menyampaikan, berdasarkan riset Bain & Company, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, performa sektor industri ini termasuk kedua terburuk di dunia dilihat dari total shareholder return (TSR). TSR merupakan tingkat pengembalian yang diperoleh pemegang saham yang terdiri dari perubahan harga saham dan dividen. TSR rata-rata seluruh sektor industri mencapai 21 persen, sedangkan khusus sektor industri telekomunikasi hanya 4,8 persen.
”Industri telekomunikasi seharusnya menjadi sektor yang paling inovatif, tetapi 5–10 terakhir perusahaan platform teknologi justru yang menjadi inovator. Kalau perusahaan telekomunikasi ingin maju dan tumbuh membaik, mereka harus bertransformasi. Mereka harus memiliki kolaborasi atau kerja sama yang saling menguntungkan dengan para perusahaan raksasa teknologi itu ataupun perusahaan rintisan bidang teknologi,” imbuh Kiran.
Baca juga : Konsumsi Data Internet Besar, Operator Telekomunikasi Seluler Belum Tentu Untung
Pasar bebas
Secara terpisah, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno menyampaikan, ada kemiripan kondisi pasar layanan telekomunikasi antara India dan Indonesia. Selain jumlah pelanggan layanan telekomunikasi yang hampir sama dengan total populasi penduduk, harga layanan seluler di dua negara termasuk termurah di dunia. Khusus harga layanan data, sekitar 0,14 dollar AS per gigabit.
Struktur industri telekomunikasi kedua negara pun mirip, yakni pasar bebas. Mekanisme harga layanan telekomunikasi diserahkan kepada industri. Hampir semua operator telekomunikasinya pun melantai di bursa saham.
Dia menjelaskan, sejak Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, kerja sama antar-operator telekomunikasi dalam negeri dengan asing semakin terbuka.
Puncaknya, pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal mengeluarkan sektor telekomunikasi dari daftar negatif investasi (DNI). Melalui Perpres ini, banyak subsektor usaha telekomunikasi yang mulanya ada pembatasan kepemilikan asing menjadi terbuka. Salah satunya adalah subsektor menara telekomunikasi.
Fenomena sejumlah perusahaan raksasa teknologi memiliki kepemilikan saham di perusahaan telekomunikasi di India dan membangun SKKL di Asia Pasifik menandakan infrastruktur telekomunikasi masih menjadi kebutuhan utama. Fenomena itu juga berarti bisnis teknologi potensial masa depan ada di Asia.
”Berkaca pada pengalaman India baru-baru ini, pemerintah Indonesia seharusnya juga bersikap tegas. Era konvergensi teknologi tidak terhindarkan. Seandainya pemerintah dan legislatif cepat mengundangkan Undang-Undang Konvergensi Telematika, kebebasan berinovasi teknologi terakomodasi sekaligus kedaulatan industri dalam negeri terjamin,” kata Sarwoto.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, fenomena sejumlah perusahaan raksasa teknologi memiliki kepemilikan saham di perusahaan telekomunikasi di India dan membangun SKKL di Asia Pasifik menandakan infrastruktur telekomunikasi masih menjadi kebutuhan utama. Fenomena itu juga berarti bisnis teknologi potensial masa depan ada di Asia.
Baca juga : Kita Belum Bisa Berlari Kencang di Era 5G
China yang juga memiliki jumlah penduduk besar merupakan produsen teknologi dan aplikasi. Akan tetapi, pemerintahnya memproteksi investasi asing sehingga India dan Indonesia menjadi sasaran berikutnya.
Heru menilai, masuknya investasi asing di industri telekomunikasi Indonesia dipersilakan, tetapi jangan sekadar menjadikan Indonesia sebagai pasar. Perusahaan teknologi internasional harus berkolaborasi dengan lokal.
Hal yang dia khawatirkan berikutnya adalah potensi konglomerasi di industri telekomunikasi. Monopoli atau penguasaan hulu-hilir usaha telekomunikasi semestinya sudah jadi perhatian pemerintah. Pemerintah Indonesia seharusnya mulai menegaskan bahwa penguasaan pasar layanan teknologi digital tidak hanya berlaku untuk pemain lokal, tetapi juga bagi pemain asing di Indonesia.
”Kalau perusahaan teknologi asing masuk ke Indonesia dan sudah mempunyai pangsa pasar 50 persen di dunia, hal itu semestinya sudah bisa dianggap pemain dominan oleh pemerintah Indonesia,” kata Heru.