Pelanggaran THR Kerap Terjadi, Imbauan Saja Tidak Cukup
Pelanggaran pembayaran tunjangan hari raya keagamaan kerap berulang dari tahun ke tahun. Pemerintah diminta memperkuat fungsi pengawasan dan pencegahan untuk memastikan pekerja mendapatkan haknya.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serikat pekerja berharap pemerintah tidak sekadar mengimbau pengusaha untuk membayar tunjangan hari raya keagamaan secara utuh dan tepat waktu tahun ini. Imbauan saja dinilai tidak cukup karena pengabaian aturan terus berulang dari tahun ke tahun. Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah diminta lebih proaktif memastikan pekerja mendapat THR sesuai hak.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, pelanggaran pembayaran tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada pekerja kerap berulang dari tahun ke tahun. Saat pandemi, semakin banyak pekerja yang tidak mendapatkan hak THR karena kondisi ekonomi sedang terdampak dan pemerintah memberi pengusaha kelonggaran.
Kali ini, pemerintah memberi sinyal bahwa aturan pembayaran THR akan kembali seperti semula, yakni pengusaha wajib membayar THR kepada pekerja secara tepat waktu, tanpa dicicil atau ditunda. Namun, menurut Mirah, pemerintah tidak cukup hanya memberikan imbauan lisan atau surat edaran secara tertulis.
Pemerintah perlu memperkuat jajaran pengawas di tiap dinas ketenagakerjaan di daerah untuk memastikan pengusaha memenuhi kewajibannya membayar THR tahun ini. Pengawasan pun harus dilakukan rutin, tidak sekadar ”tabrak lari” untuk sosialisasi satu arah.
”Jangan hanya mengimbau. Instruksikan ke seluruh jajaran di bawah dari jauh-hari hari untuk turun ke lapangan, datangi perusahaan dan berikan peringatan. Kalau hanya imbauan saja, sudah pasti diabaikan seperti yang selama ini sering terjadi,” kata Mirah saat dihubungi, Minggu (27/3/2022).
Selama ini, termasuk sebelum pandemi, pemerintah menggunakan pendekatan yang sama, yaitu penindakan setelah ada pelanggaran. Menurut Mirah, pola itu terbukti tidak efektif. Laporan pelanggaran THR yang masuk ke posko pengawasan yang didirikan pemerintah tidak selalu ditindaklanjuti. Kalaupun ditindaklanjuti, ia menilai, tidak ada sanksi yang cukup memberi efek jera kepada pelanggar.
”Kalau ada kasus pelanggaran, paling perusahaan bersangkutan hanya diberi surat peringatan. Kedua pihak (pemerintah dan pengusaha) tahu sama tahu saja, akhirnya sama-sama cincai. Pelanggaran dianggap angin lalu dan berulang terus setiap tahun,” tuturnya.
Pelanggaran dianggap angin lalu dan berulang terus setiap tahun.
Laporan pengaduan pelanggaran pembayaran THR dari tahun ke tahun mengalami tren meningkat. Pada 2019, Posko Pengaduan THR Kemenaker menerima 251 laporan. Pada 2020 naik menjadi 410 laporan dan pada 2021 bertambah menjadi 1.150 laporan.
Senada, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, untuk efek jera, pemerintah dapat membuka informasi perusahaan yang sering mengemplang kewajiban THR. ”Coba dibuka ke publik, perusahaan mana saja yang sering tidak taat membayar. Berhubung sudah berulang bertahun-tahun, seharusnya pemerintah sudah punya datanya,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan THR tahun ini semakin penting karena kondisi perekonomian yang sedang tidak pasti dengan kenaikan harga berbagai barang kebutuhan pokok. Selain karena faktor musiman menjelang Lebaran, juga karena ketidakpastian ekonomi global yang terdampak pandemi dan ketegangan geopolitik.
Pekerja, ujarnya, bergantung pada THR untuk meningkatkan daya beli di bulan Ramadhan. Terutama, mengingat rata-rata upah pekerja yang berjalan di tempat. ”Sekarang saja harga minyak goreng tidak turun-turun, sementara kebutuhan pangan lain juga naik jelang Lebaran. Kalau THR pekerja dipotong dan ditunda lagi, akan sulit dia merayakan Idul Fitri, konsumsinya tertahan,” katanya.
Tidak menunda
Sebelumnya, imbauan disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah saat melakukan kunjungan kerja ke Balai Latihan Vokasi dan Produktivitas Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Wapres mengatakan, seiring dengan membaiknya penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, pengusaha diminta tidak menunda pembayaran THR lagi.
”Sekarang suasana dan kondisinya sudah lebih baik. Saya berharap agar pengusaha melakukan kewajiban untuk membayar THR,” kata Wapres.
Ida menambahkan, aturan pembayaran THR tahun ini akan kembali pada ketentuan yang ada di undang-undang, yakni THR adalah hak pekerja yang dijamin undang-undang dan harus diberikan kepada pekerja. Sebelumnya, karena pandemi Covid-19, pada 2020 pemerintah sempat memberi kelonggaran kepada pengusaha untuk mencicil dan menunda pembayaran THR sampai akhir tahun.
Pada 2021, pemerintah mulai mewajibkan perusahaan membayar THR secara utuh dan tepat waktu, paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran. Kelonggaran diberikan kepada usaha yang terdampak pandemi. Mereka harus membuktikan kerugiannya dengan membuka laporan keuangan internal dan melakukan dialog bipartit. Mereka boleh membayar THR paling lambat satu hari sebelum Lebaran.
”Saya kira, seiring dengan perkembangan ekonomi yang sudah membaik, Covid-19 juga sudah bisa kita atasi dengan baik, ketentuan THR itu akan dikembalikan pada peraturan perundang-undangan,” ujar Ida.
Saat ini, Kemenaker masih menyusun surat edaran pembayaran THR tahun 2022. Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, masih ada kendala terkait penguatan pengawasan di lapangan. Itu karena petugas pengawas ketenagakerjaan umumnya terpusat di ibu kota provinsi, tidak tersebar sampai ke kabupaten/kota. Selain itu, jumlahnya pun terbatas.
Oleh karena itu, pengawasan akan dilakukan dengan berbagai cara. ”Optimasi dan efektivitas tugas pengawasan perlu diatur. Bisa ditingkatkan dari jumlah petugas pengawas, bisa juga menambah fasilitas kerja. Sekarang ini, pengawasan tidak harus datang langsung, ada pengawasan berupa self-assessment, ada pengawasan daring. Itu yang bisa kita lakukan,” katanya.