Punya potensi kebutuhan pendanaan UMKM yang besar dan ditopang jumlah penduduk muslim terbesar, Bank Wakaf Mikro terus bertumbuh.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS- Skala bisnis dan kapasitas bank wakaf mikro (BWM) secara nasional terus berkembang. Hal itu terindikasi dari jumlah nasabah dan pembiayaan yang terus meningkat. Potensi pengembangan BWM sangat besar mengingat masih banyak usaha mikro dan ultramikro yang membutuhkan permodalan.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak mulai diinsiasi 2017 hingga 24 Maret 2022, terdapat 62 bank wakaf mikro (BWM) di seluruh Indonesia. Total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 87,5 miliar kepada 55.266 nasabah.
Ketua Satuan Tugas Pengembangan Keuangan Syariah dan Ekosistem UMKM OJK Ahmad Buchori mengatakan, perkembangan BWM tidak lepas dari kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Hal ini mendorong terciptanya potensi ekonomi keuangan syariah.
Selain itu, hingga kini banyak usaha mikro dan ultramikro yang masih kesulitan mengakses pembiayaan dari industri perbankan karena belum memenuhi syarat. Mereka inilah yang kemudian menjadi nasabah BWM.
“Bank wakaf mikro memberi alternatif solusi pembiayaan,” ujar Buchori pada lokakarya media dengan OJK, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (26/3/2022).
Buchori menjelaskan, potensi BWM ke depan masih sangat besar. Sebab berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat 64,2 juta UMKM di seluruh Indonesia yang mayoritas merupakan usaha mikro dan ultramikro.
Selain itu, lanjut Buchori, Indonesia punya banyak sekali jumlah pesantren yang berpotensi jadi pengembangan UMKM dan ekonomi keuangan syariah. Menurut data Kementerian Agama, sampai dengan Maret 2021, terdapat 28.194 pesantren di seluruh Indonesia.
“Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan berbasis agama yang memiliki pengaruh besar untuk memberdayakan masyarakat dan berperan dalam mengentaskan ketimpangan dan kemiskinan, khususnya warga masyarakat sekitar pesantren,” ujar Buchori.
Ia mengatakan, Wakil Presiden Ma’aruf Amin sebetulnya pernah menargetkan ada 1.000 BWM hingga 2024. Namun, jumlah BWM saat ini masih sangat jauh dari target itu. Sebab, pembentukan BWM sangat bergantung pada besaran wakaf atau donasi dari masyarakat.
Menurut perhitungannya, untuk membentuk satu BWM dibutuhkan modal sekitar Rp 8 miliar. Artinya, untuk membentuk 1.000 BWM membutuhkan modal Rp 8 triliun.
“OJK terus mengajak donatur memberikan wakafnya untuk dikelola menjadi penyaluran pembiayaan di BWM,” ujar Buchori.
BWM memiliki model bisnis atau mekanisme kerja sebagai bank yang tidak menghimpun dana masyarakat. Dana penyaluran untuk pembiayaan BWM bersumber dari wakaf atau donasi dari perorangan, perusahaan, dan masyarakat.
Keunggulan BWM adalah pembiayaan tanpa agunan. Nilai pembiayaan sebesar Rp 1 juta – Rp 3 juta per tahun dengan imbal hasil sebesar 3 persen per tahun. Adapun tenor pembiayaan mencapai 1 tahun.
Radiansyah, Kepala Bagian Keuangan atau Bendahara BWM Pondok Pesantren Mawaridussalam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara menjelaskan, sejak berdiri dan diresmikan presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada Oktober 2018, pihaknya sudah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 689 juta dengan total nasabah 426 orang.
Debitor BWM ini adalah para ibu yang memiliki usaha dengan rincian 40 persen usaha binatu, 35 persen usaha makanan minuman seperti kripik dan minuman herbal, 20 persen pedagang seperti tukang bakso, dan 5 persen lainnya adalah buruh tani.
“Alhamdulilah bisa membantu sedikit banyak keuangan masyarakat,” ujar Radiansyah ditemui di pondok pesantrennya, Sabtu.
Meski tidak mensyaratkan agunan, tingkat kredit macet BWM ini terjaga tetap 0 persen. Radiansyah mengatakan, sebelum memberikan pembiayaan, pihaknya memberikan pendampingan dan bimbingan kepada calon debitor. Pendampingan itu tidak hanya sekadar bimbingan usaha, tetapi juga ilmu agama dan aneka pelatihan keterampilan. Menurut Radiansyah, dari pendampingan pihaknya akan bisa melihat mana calon debitor yang disiplin dan tidak, sehingga mereka bisa menyeleksi pemberian pembiayaan.
“Kami sejak awal sudah selektif. Juga kami ajarkan kalau berhutang tanpa melunasi itu sesuatu yang buruk,” ujar Radiansyah.