Meski tidak berdampak langsung pada kenaikan harga kebutuhan pokok, beban biaya yang meningkat di level produsen akibat kenaikan PPN akan mendorong kenaikan harga produk di level konsumen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi tarif baru Pajak Pertambahan Nilai pada April tahun ini diproyeksi akan turut mengerek kenaikan harga barang dan jasa konsumsi. Kenaikan ini dikhawatirkan bisa mengganggu tahapan pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung di tengah masyarakat.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022 akan berdampak langsung terhadap inflasi. Ia mengalkulasikan kenaikan tarif PPN bisa menambah inflasi hingga 0,35 persen.
”Terlebih lagi periode implementasi tarif baru PPN bersamaan dengan bulan Ramadhan yang secara historikal selalu mendorong inflasi bulanan meningkat,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu (23/3/2022).
Terlebih lagi periode implementasi tarif baru PPN bersamaan dengan bulan Ramadhan yang secara historikal selalu mendorong inflasi bulanan meningkat. (Josua Pardede)
Kenaikan inflasi imbas dari kenaikan tarif PPN, lanjutnya, tidak hanya akan menekan daya beli masyarakat, tetapi juga akan menekan profit pelaku usaha. Pasalnya, berkurangnya daya beli masyarakat akan memaksa pelaku usaha untuk menurunkan margin penjualan barang atau jasanya demi tetap terserap di tingkat konsumen.
Josua memproyeksi dengan adanya implementasi tarif baru PPN, inflasi pada April akan berada di kisaran 0,7 persen hingga 1 persen secara bulanan. Adapun secara tahunan, inflasi pada April 2022 diperkirakan akan berada di kisaran 3,2 persen-3,4 persen.
”Kenaikan harga komoditas pangan masih akan berlangsung, seperti masih tingginya harga minyak goreng, meskipun beberapa komoditas pangan, seperti beras, diperkirakan akan cenderung melandai sejalan dengan potensi puncak panen raya padi,” kata Josua.
Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sendiri tarif PPN direncanakan akan kembali naik 12 persen pada 2025. Pengenaan tarif PPN sebetulnya dibebaskan untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.
Meski tidak berdampak langsung pada kenaikan harga kebutuhan pokok, beban biaya yang meningkat di level produsen akibat tambahan pajak akan mendorong pelaku usaha menaikkan harga produknya ke konsumen. Saat ini saja sejumlah harga komoditas pangan terus merangkak naik, seperti minyak goreng, kedelai, dan beras.
Di tengah tren kenaikan harga barang konsumsi, Josua menilai, pemerintah perlu tetap menjaga tingkat inflasi dengan menahan kenaikan harga komoditas yang diatur pemerintah (administered price), seperti tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Ini penting agar inflasi tidak meningkat secara signfikan dalam satu periode tertentu.
”Jika administered price bisa tetap stabil, hal itu membantu untuk menjaga daya beli masyarakat sehingga momentum pemulihan ekonomi bisa terus berlanjut,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kenaikan tarif pajak semata-mata untuk membuat rezim pajak yang adil dan kuat sesuai dengan rencana pemerintah sejak Undang-Undang HPP masih digodok bersama DPR tahun lalu.
Ia memastikan upaya pemerintah membangun sistem perpajakan yang kuat tidak akan mengganggu pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. Untuk memastikan agar reformasi pajak tidak menggerus daya beli masyarakat, kenaikan tarif dilaksanakan secara bertahap.
Namun, di sisi lain, reformasi pajak harus dilakukan sekarang untuk menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sudah bekerja keras menggelontorkan dana untuk bidang kesehatan dan sosial saat pandemi Covid-19.
”Saat ini rata-rata tarif PPN di luar negeri mencapai 15 persen. Sementara di Indonesia 10 persen, dan baru akan naik menjadi 11 persen pada April,” kata Sri Mulyani.
Memperlambat pemulihan
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian berpendapat, kenaikan PPN 1 persen pada April berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi. Kenaikan harga barang akibat rembetan kenaikan tarif PPN tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat.
“Masyarakat akhirnya akan dirugikan karena masih berada dalam fase pemulihan. Semestinya kebijakan ini ditunda dulu karena akan memperlambat pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Menurut Dzulfian, kenaikan penerimaan negara dari PPN akan dimanfaatkan untuk menambal pembengkakan pengeluaran yang disebabkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
”Sementara di sisi lain, penerimaan negara anjlok lantaran pelemahan ekonomi dan pemotongan PPh Badan,” kata Dzulfian.