Kenaikan Tarif PPN Dinilai sebagai Jalan Pintas Pemerintah
Salah satu alasan utama pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah untuk menambal defisit anggaran yang saat ini melebar.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai melakukan jalan pintas untuk bisa segera menekan defisit anggaran hingga 3 persen dari produk domestik bruto dengan cara menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Padahal, terdapat cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai salah satu alasan utama pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah untuk menambal defisit anggaran yang saat ini melebar.
Ia memaparkan, pemerintah membutuhkan penerimaan yang cukup besar untuk mengembalikan defisit ke 3 persen di tahun 2023. ”Setidaknya untuk menekan defisit anggaran saat ini di atas 5 persen, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan mencapai Rp 600 triliun-Rp 700 triliun,” ujarnya secara virtual, Rabu (6/10/2021).
Setidaknya untuk menekan defisit anggaran saat ini di atas 5 persen, pemerintah membutuhkan pendapatan mencapai Rp 600 triliun-Rp 700 triliun. (Tauhid Ahmad)
Dalam berkas Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), pemerintah juga berencana meningkatkan tarif PPN menjadi 11 persen mulai April 2022 dan 12 persen mulai 2025.
Peningkatan tarif PPN tersebut dinilainya belum diperlukan karena berpotensi menjadi beban bagi konsumen dan pelaku usaha di tengah pemulihan dari dampak Covid-19.
Selain itu, lanjut Tauhid, kenaikan tarif PPN bisa menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Dalam situasi saat ini memulihkan penerimaan negara tidak bisa hanya bergantung pada PPN, tetapi juga sektor lain, seperti industri, manufaktur, dan perdagangan.
”Semua sektor penerimaan negara harus pulih cepat sehingga penerimaan bisa tumbuh,” katanya.
Sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga saat ini masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan belanja investasi pemerintah serta ekspor dan impor. Konsumsi yang rendah ini menandakan belum adanya daya beli masyarakat sehingga kenaikan tarif PPN bukan hal yang tepat.
Perluasan basis
Ia menilai satu-satunya yang bisa menurunkan defisit ke bawah 3 persen di tahun 2022 adalah melalui perluasan basis Pajak Penghasilan (PPh). Pemerintah, lanjutnya, masih bisa meningkatkan basis PPh badan dari sektor usaha konstruksi. Sektor ini dinilai memiliki kontribusi yang tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB), tetapi memberikan sumbangan yang kecil pada penerimaan pajak.
”Saat ini baru sektor industri, perdagangan, dan jasa yang menyumbang cukup tinggi terhadap penerimaan pajak. Hal ini sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ketiga sektor tersebut,” kata Tauhid.
Ia pun mengingatkan pemerintah untuk mendorong peningkatan jumlah pelapor PPh yang masih rendah dibandingkan jumlah populasi dan konsumsi. ”Konsumsi kita tinggi tapi pelaporan PPh dunia usaha relatif lebih kecil,” ujar Tauhid.
Hal lain yang lebih mendesak untuk menggenjot penerimaan negara adalah pengkajian penurunan ambang batas omzet pelaku usaha yang dikenai PPh badan. Ambang batas omzet pelaku usaha kena pajak yang berlaku saat ini adalah Rp 4,8 miliar per tahun.
Artinya, perusahaan yang omzetnya Rp 4,8 miliar per tahun dikenai tarif PPh final untuk UMKM 0,5 persen, sementara perusahaan dengan omzet di atas ambang batas dikenai tarif PPh badan yang saat ini sebesar 22 persen dan tahun depan turun menjadi 20 persen.
”Saat ini terbuka peluang bagi pengusaha dengan omzet besar memanipulasi laporan penerimaan atau melakukan strategi pemecahan unit bisnis untuk menghindari ambang batas kena pajak. Ini tentu akan merugikan pemerintah,” ujarnya.
Bebas tarif
Secara terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Yustinus Prastowo menegaskan barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan akan mendapatkan fasilitas pembebasan pengenaan PPN. ”Pemerintah berkomitmen memberikan dukungan bagi seluruh kelompok masyarakat dalam pengenaan PPN,” katanya.
Dalam RUU HPP, perubahan Pasal 16B Huruf J menyebutkan, barang kebutuhan pokok, jasa pelayanan kesehatan medis tertentu, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja dibebaskan dari pengenaan PPN.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, menyebutkan, pembatalan pengenaan tarif PPN terhadap barang kebutuhan pokok menyelamatkan masyarakat dari ancaman penurunan daya beli. Komponen belanja rumah tangga sendiri adalah komponen pertumbuhan ekonomi yang relatif mudah didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional.
”Jika pemerintah jadi mengenakan PPN terhadap bahan pokok dikhawatirkan akan mengancam ketahanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta berdampak buruk pada perekonomian nasional,” ujarnya.