Bagi sektor usaha, kenaikan tarif PPN bisa menambah beban perusahaan. Tapi, di sisi lain, kenaikan tarif PPN diperlukan untuk menambal defisit anggaran yang melebar sepanjang pandemi Covid-19.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri mendukung kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN mulai April 2022 untuk mendukung konsolidasi anggaran tahun ini. Guna meminimalkan dampak kenaikan tarif PPN terhadap daya beli masyarakat, produsen diharapkan tidak turut menaikkan harga barang dan jasa.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, dalam telekonferensi pers, Selasa (15/3/2022), mengatakan, mendukung kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kadin bertekad untuk terus bekerja sama dengan pemerintah guna mewujudkan iklim usaha yang kondusif, sehat, dan berdaya saing.
”Walaupun situasi perdagangan global yang kurang kondusif dan berimbas pada kenaikan inflasi global, Kadin Indonesia, sebagai organisasi yang mewadahi para pelaku usaha di berbagai sektor, mendukung kenaikan PPN,” ujarnya.
Walaupun situasi perdagangan global yang kurang kondusif dan berimbas pada kenaikan inflasi global, Kadin Indonesia, sebagai organisasi yang mewadahi para pelaku usaha di berbagai sektor, mendukung kenaikan PPN. (Arsjad Rasjid)
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah menetapkan untuk meningkatkan tarif PPN menjadi 11 persen mulai April 2022, kemudian menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Ketentuan mengenai jasa dan barang yang tidak dikenakan PPN juga disebutkan dalam payung hukum tersebut, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, dengan tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.
Adapun barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional di antaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional, jasa pendidikan, serta jasa pelayanan sosial.
Menurut Arsjad, inflasi yang terjadi saat ini disebabkan situasi politik dunia yang tidak stabil, terlebih dengan adanya konflik Rusia dan Ukraina. Kondisi itu menyebabkan terjadinya instabilitas perdagangan global. Juga akibat terganggunya sistem rantai pasok yang menyebabkan biaya angkutan logistik meningkat serta berpengaruh pada kenaikan harga bahan baku.
Kadin Indonesia merekomendasikan agar seluruh barang pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, pelayanan sosial, dan aktivitas strategis lainnya tetap mendapat pembebasan PPN.
Kadin Indonesia, lanjut Arsjad, mendorong pemerintah mempertahankan daya beli masyarakat, terutama menjelang memasuki Ramadhan. Pihaknya mengusulkan pemerintah memberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah.
”Terutama untuk barang kebutuhan pokok yang belum mendapat fasilitas, seperti minyak goreng dan gula,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengajak para pelaku usaha untuk berkomitmen tidak menaikkan harga barang dan jasa saat kenaikan tarif PPN ini mulai diberlakukan. Pelaku usaha juga diharapkan membantu pemerintah dan masyarakat dalam menjaga ketersediaan barang sehingga kelangkaan serta kenaikan harga tidak terjadi.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menjelaskan, bagi sektor usaha kenaikan tarif PPN bisa menambah beban perusahaan. Meski pertambahan tarif PPN hanya 1 persen, jika diakumulasikan dengan transaksi perusahaan maka nominalnya akan sangat besar.
”Beban biaya yang meningkat di level produsen akibat tambahan pajak tersebut akan mendorong pelaku usaha menaikkan harga produknya ke konsumen. Saat ini saja sejumlah harga komoditas pangan terus merangkak naik, seperti minyak goreng, kedelai, beras, dan lainnya,” kata Ahmad.
Ia mencontohkan sejumlah sektor, seperti besi dan baja yang akan terkena dampak karena tarif PPN. Kenaikan tarif PPN akan berakibat pada harga jual produk sehingga berimplikasi pada terhambatnya kecepatan serapan hasil produksi di pasaran.
Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen mulai awal April 2022 memiliki landasan yang kuat, terutama karena sudah adanya sinyal pemulihan dari indikator ekonomi makro.
Dia pun menilai bahwa kenaikan tarif PPN tidak serta-merta membebani masyarakat kecil karena sebagian besar konsumsi kelompok itu bukan merupakan barang obyek PPN. Artinya, berapa pun kenaikan tarif PPN tidak akan membebani konsumen secara langsung.
”Beberapa kebutuhan dasar masyarakat berpendapatan rendah lainnya, seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan listrik, masih mendapatkan pembebasan PPN. Artinya, dampak kenaikan tarif PPN terhadap masyarakat pendapatan rendah secara langsung akan terbatas,” kata Fajry.
Beberapa kebutuhan dasar masyarakat berpendapatan rendah lainnya, seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan listrik masih mendapatkan pembebasan PPN. Artinya, dampak kenaikan tarif PPN terhadap masyarakat pendapatan rendah secara langsung akan terbatas. (Fajry Akbar)
Menurut dia, penundaan kenaikan tarif PPN bukanlah opsi bagi pemerintah, mengingat kenaikan tarif PPN sudah menjadi amanat Undang-Undang HPP yang sejalan dengan target konsolidasi APBN, yakni deifisit di bawah 3 persen pada 2023.
”Terdapat kekhawatiran kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi. Namun, sebagian besar komoditas penggerak utama inflasi, seperti telur ayam ras, tempe, dan cabai rawit, merupakan komoditas yang mendapatkan fasilitas PPN,” ujarnya.