Pertaruhan Pembaruan Skema Pajak Pertambahan Nilai
PPN memiliki daya keberlanjutan yang lebih tinggi. Sebab, pertumbuhan penerimaan negara dari PPN sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang utamanya memang disokong konsumsi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Dalam senyap, setumpuk rumusan baru Pajak Pertambahan Nilai telah mendapatkan persetujuan dari para legislator di Senayan untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Pemerintah berharap mulai pertengahan Oktober 2021 sudah punya payung hukum mutakhir untuk mengimplementasi reformasi perpajakan.
Setumpuk rumusan baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut termaktub dalam dalam rancangan undang-undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang merupakan nama baru dari RUU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.
Tak bisa dimungkiri, proses legislasi di Senayan sarat dengan kepentingan politik. Karena itulah terbentuknya rumusan baru skema PPN ini sudah pasti diwarnai dengan negosiasi politik.
Awal pekan lalu, mayoritas fraksi di DPR ramai-ramai menolak rencana pemerintah menaikkan tarif PPN dan mengganti skemanya menjadi multitarif. Namun, pada Rabu (29/9/2021) malam, RUU ini mendapat persetujuan tingkat pertama dari Komisi XI DPR.
Menurut Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan merupakan upaya untuk mengubah komposisi struktur penerimaan pajak dari yang selama ini didominasi oleh Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau korporasi, menjadi didominasi PPN yang merupakan pajak atas konsumsi masyarakat.
Saat ini, Indonesia termasuk negara yang menggunakan pendekatan pertambahan nilai dalam mengenakan pajak atas konsumsi. Sebelum dimulainya rezim PPN, sejak 1953 Indonesia memberlakukan pajak atas konsumsi yang sederhana bernama Pajak Penjualan.
Pajak Penjualan kemudian direformasi dengan munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Undang-Undang tersebut mulai diimplementasikan pada April 1985.
Dibandingkan PPh, PPN memiliki daya keberlanjutan yang lebih tinggi. Sebab, pertumbuhan penerimaan negara dari PPN sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang utamanya memang disokong konsumsi.
Dalam tahap pemulihan ekonomi saat ini, terhitung sejak awal Januari hingga Agustus 2021, penerimaan PPN dalam negeri tumbuh 12,6 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2020 yang mengalami kontraksi 6,2 persen.
Adapun kinerja PPh tidak sebaik PPN. Tarif PPh badan juga terus diturunkan dari 30 persen menjadi di bawah 20 persen dalam kurun dua dekade terakhir, mengikuti tren negara-negara seluruh dunia. Sementara hingga kini, PPh perseorangan tak pernah bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan negara.
Sejak awal Januari hingga Agustus 2021, penerimaan PPN dalam negeri tumbuh 12,6 persen dibandingkan periode sama tahun 2020 yang mengalami kontraksi 6,2 persen.
Dalam beleid RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pada Bab IV Pasal 7, disebutkan rata-rata tarif PPN sebesar 11 persen akan berlaku mulai 1 April 2022. Adapun rata-rata tarif 12 persen akan berlaku paling lambat mulai 2 Januari 2025.
Sementara itu, pengenaan tarif PPN sebesar 0 persen atau tidak dikenakan PPN berlaku untuk kegiatan ekspor, yakni ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak.
Dalam ketentuan UU perpajakan sebelumnya, rata-rata tarif PPN ditetapkan dalam kisaran 5-15 persen. Ini berarti, rata-rata tarif PPN yang dikenakan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih masuk dalam kisaran tersebut.
Kendati demikian, banyak pihak yang berpendapat, kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. Ini dikarenakan sumber PPN terbesar berasal dari PPN atas konsumsi masyarakat dan PPN impor atas bahan modal dan bahan baku yang merupakan konsumsi industri.
Ramai pula yang berpendapat, pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, serta jasa keagamaan yang banyak dikonsumsi, akan membebani rakyat. Hal itu pun dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan rakyat dan pemulihan ekonomi.
Kelindan-kelindan polemik inilah yang perlu diurai pemerintah sembari membuktikan bahwa skema baru perpajakan lebih mencerminkan keadilan dan ketepatan sasaran. Jika itikad ini tidak terlaksana dengan baik, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi taruhannya.