Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR telah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR, pekan depan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR telah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk ditetapkan dalam Sidang Paripurna DPR, pekan depan. Otoritas fiskal meyakini beleid baru mengenai aturan dan tata cara perpajakan tersebut dapat memayungi upaya reformasi pajak yang mendukung optimalisasi penerimaan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, RUU HPP dibentuk dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan serta insklusif, sekaligus mendukung percepatan pemulihan perekonomian serta mengoptimalkan penerimaan negara.
”RUU HPP bertujuan membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (30/9/2021).
Di luar itu, lanjut Sri Mulyani, RUU HPP bertujuan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan.
Pemerintah optimistis RUU yang direncanakan disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2021 ini akan terus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
”Kami meyakini RUU HPP ini akan dapat mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, dengan disepakatinya beberapa hal dalam beleid ini,” ujar Sri Mulyani.
Sejumlah hal yang di maksud oleh Sri Mulyani, antara lain, pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan mutual agreement procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.
Sementara itu, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Munawar, mengatakan bahwa fraksinya memberikan catatan penolakan terkait pengenaan pajak kebutuhan pokok, jasa pendidikan, pelayanan sosial, dan jasa kesehatan medis.
”Pengenaan tarif baru PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut karena sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri yang berupa konsumsi. Artinya, tarif PPN baru berpotensi meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional,” ujarnya.
Dalam berkas RUU HPP yang diterima Kompas, pada Bab IV Pasal 7, disebutkan tarif PPN akan dikenakan sebesar 11 persen yang akan mulai berlaku pada 1 April 2022. Selain itu, terdapat juga pengenaan tarif 12 persen yang akan mulai berlaku paling lambat pada 2 Januari 2025.
Sementara itu, pengenaan tarif PPN sebesar 0 persen atau tidak dikenakan PPN berlaku untuk kegiatan ekspor, yakni ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak.
UU perpajakan yang berlaku saat ini, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN dengan ketentuan paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Adapun sejumlah obyek, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, pelayanan sosial, dan jasa kesehatan medis, saat ini dibebaskan dari pengenaan pajak.
Dalam UU perpajakan yang berlaku saat ini, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN dengan ketentuan paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Adapun sejumlah obyek, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, pelayanan sosial, dan jasa kesehatan medis, saat ini dibebaskan dari pengenaan pajak.
Meski begitu, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai, kenaikan tarif PPN dibutuhkan karena pungutan pajak penghasilan (PPh) badan di masa depan tidak lagi dapat diharapkan.
Penurunan tarif PPh badan sudah direncanakan sejak 2019, dari tarif yang sebelumnya 25 persen menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Lalu padal 2022 akan turun lagi menjadi 20 persen.
Peningkatan penerimaan PPN pada tahun depan, lanjut Fajry, salah satunya akan ditopang oleh perubahan ketentuan tarif PPN. ”Ketika PPh badan tidak dapat diandalkan, butuh pungutan lain yang dapat menggantikan. Bahkan, PPN distorsinya bagi ekonomi itu sangat kecil dibandingkan dengan PPh badan,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira berharap, apabila sudah disahkan nanti, UU HPP bisa memperluas ekstensifikasi pajak secara rasional. Di samping itu, payung hukum pajak baru diharapkan dapat semakin memudahkan pengusaha dalam perhitungan pajak.
”Harapan kami, proses ekstensifikasi ini dapat lebih digiatkan lagi, di samping adanya intentifikasi kepada obyek pajak yang sudah terdaftar. Selama ini yang terjadi kebanyakan petugas pajak hanya mengejar usaha-usaha yang dikenal taat membayar pajak,” ujarnya.
Selain itu, adanya RUU HPP ini harus bisa mengakselerasi atau memberikan insentif dalam pemulihan ekonomi terutama untuk sektor UMKM. Di sisi lain, dalam konteks mendorong penerimaan, pembaruan aturan perpajakan juga harus optimal dalam mengakselerasi percepatan dan pemulihan ekonomi.