Perlu Perbaikan Substansi RUU Energi Baru dan Terbarukan
Ada sejumlah hal yang perlu dibenahi dalam substansi RUU Energi Baru dan Terbarukan, terutama yang menyangkut pemanfaatan energi fosil.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan telah memasuki tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR. Meski demikian, substansi rancangan undang-undang ini dinilai perlu perbaikan karena tidak sejalan dengan tujuan mendorong transisi energi untuk mencapai karbon netral.
Direktur Eksekutif Institute for Essentials Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, memasukkan konsep energi baru dan terbarukan ke dalam satu undang-undang merupakan hal yang tidak efektif dan rancu. Apalagi, dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan yang sudah diharmonisasi mencantumkan produk turunan batubara, seperti batubara tergaskan, batubara tercairkan, dan gas metana batubara sebagai energi baru. Padahal, produk turunan tersebut menghambat program penurunan emisi gas rumah kaca.
Fabby menambahkan, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari gasifikasi batubara lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan. Sebagai gambaran, jumlah emisi yang dihasilkan dari proses konversi satu kilogram batubara menjadi dimetil eter (DME) adalah 3,2 kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2eq). Jumlah ini belum termasuk emisi yang dihasilkan saat membakar DME.
RUU Energi Baru dan Terbarukan turut mencantumkan nuklir dan pemanfaatannya sebagai pembangkit listrik. Dia mengkhawatirkan masuknya substansi itu akan menghambat transisi energi yang butuh pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat.
“Kalau mau tetap mengatur turunan batubara, legislator sebaiknya memasukkan pemanfaatan batubara ke UU terkait mineral dan batubara. Lalu, draft RUU Energi Baru dan Terbarukan juga memasukkan nuklir dan pembangkit listrik tenaga nuklir. Ini sebaiknya dimasukkan ke dalam revisi UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran,” ujar Fabby saat dihubungi, Selasa (22/3/2022), di Jakarta.
Substansi lain yang dia anggap kontraproduktif adalah adanya frase angin dan surya dikuasai negara. Angin dan surya merupakan sumber energi yang tidak ada di bawah tanah. Undang-Undang Dasar 1945 bahkan menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Apabila energi surya mau diakselerasi untuk kebutuhan transisi energi, Fabby berpendapat frase angin dan surya dikuasai negara perlu dikaji kembali. Sebab, jika tidak, pemanfaatan energi surya menjadi terlalu diregulasi (over regulated).
Angin dan surya merupakan sumber energi yang tidak ada di bawah tanah. Undang-Undang Dasar 1945 bahkan menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Substansi lainnya harga energi terbarukan. Berdasarkan Pasal 53 RUU Energi Baru dan Terbarukan, harga energi baru ditetapkan berdasarkan tiga hal. Pertama, kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan nilai keekonomian dan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha. Kedua, penetapan pemerintah pusat dalam rangka penugasan untuk mendukung pengembangan kawasan industri berbasis energi baru dan pembangunan ekonomi daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Ketiga, penetapan pemerintah pusat untuk kapasitas tertentu dalam hal kesepakatan para badan usaha tidak tercapai.
“Dalam konteks pembangkit listrik energi terbarukan, penetapan harga energi terbarukan dengan instrumen feed in tariff dimungkinkan. Konsekuensinya adalah pemerintah harus menyediakan biaya jika ada selisih harga listrik dengan utilitas. Pendekatan seperti itu membutuhkan kesepakatan antarkementerian,” kata Fabby.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana saat dikonfirmasi, mengatakan, pihaknya terus mengikuti proses penyusunan RUU Energi Baru dan Terbarukan yang merupakan inisiatif DPR. Di internal Kementerian ESDM telah membahas sejumlah masukan yang kelak akan disampaikan kepada DPR.
“RUU Energi Baru dan Terbarukan diharapkan bisa jadi UU yang mendorong transisi energi sampai karbon netral. Menurut kami, substansi-substansi penting yang harus diatur dalam RUU itu menyangkut pengusahaan, teknik, pendanaan, perizinan, dan pengawasan pengembangan energi terbarukan,” ujar Dadan.
Dalam rapat pleno harmonisasi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Jumat (17/3), Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menjelaskan, RUU Energi Baru dan Terbarukan terdiri dari 14 bab dan 62 pasal. Pembentukan RUU ini sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan di UU No 12/2011 tentang Pembentukan UU. Setelah proses harmonisasi, DPR akan membentuk panitia kerja.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, selama 1,5 tahun terakhir, Komisi VII DPR meminta masukan dari pelaku industri energi fosil dan energi terbarukan, akademisi, serta kelompok pro dan antinuklir. Pengalaman negara lain yang lebih dulu menerapkan energi baru dan terbarukan juga diikutsertakan selama proses penyusunan.
Selain tidak ramah lingkungan, harga komoditas energi fosil berfluktuasi. Sugeng mencontohkan penggunaan batubara untuk pembangkit listrik. Pada saat ini, harga komoditas batubara meninggi. Apabila tidak ada harga pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara untuk kelistrikan, beban operasional pembangkit listrik akan meningkat. Akibatnya, harga jual listrik ke masyarakat berpotensi naik.
“Itulah sebabnya, RUU Energi Baru dan Terbarukan penting. Potensi sumber energi baru dan energi terbarukan di Indonesia melimpah. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, terdapat solar farm terbaik,” ucap Sugeng.