Kenaikan Pungutan Ekspor Kelapa Sawit Bisa Genjot Penerimaan Negara
Langkah pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan produk turunannya dianggap jadi salah satu strategi meningkatkan penerimaan. Situasi harga dinilai membuka celah bagi langkah tersebut.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif ekspor dinilai tidak akan terlalu signifikan menahan laju ekspor kelapa sawit dan produk turunannya. Langkah pemerintah menaikkan batas atas pungutan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya justru dianggap menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, meroketnya harga minyak goreng tidak bisa dijadikan dasar untuk menghambat ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Pasalnya, krisis minyak goreng lebih disebabkan oleh buruknya rantai pasok di Indonesia.
Akan tetapi, di sisi lain, sejalan dengan meningkatnya harga CPO, pemerintah memang memiliki celah untuk menaikkan batas atas pungutan ekspor. ”Ini semacam windfall (aji mumpung) karena pungutannya diipakai untuk kebutuhan pengelolaan sawit, termasuk subsidi minyak goreng,” kata Faisal, Senin (21/3/2022).
Guna memenuhi kebutuhan CPO di dalam negeri, pemerintah menambah tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya. Aturan itu berlaku sejak 18 Maret 2022. Adapun payung hukum yang digunakan adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dibandingkan dengan Perubahan Kedua atau PMK Nomor 76/PMK.05/2021, terdapat sejumlah perubahan. Sebelumnya, tarif pungutan ekspor berdasarkan harga CPO terbagi dalam tujuh kategori (terendah pada harga 750 dollar AS per ton dan tertinggi di atas 1.000 dollar AS per ton). Sementara pada aturan terbaru, terdapat 17 kategori (terendah pada harga 750 dollar AS per ton, tertinggi di atas 1.500 dollar AS per ton).
Menurut PMK Nomor 76/PMK.05/2021, tarif pungutan ekspor CPO saat harga di atas 1.000 dollar AS per ton (batas atas) ialah 175 dollar AS per ton. Sementara pada PMK Nomor 23/PMK.05/2022, tarif pungutan ekspor CPO saat harga di atas 1.500 dollar AS per ton (batas atas) ialah 375 dollar AS per ton.
Faisal menilai bahwa apa yang sedang dijalankan pemerintah dalam PMK yang baru ini sebenarnya secara konsep sama dengan pajak windfall atau pajak yang yang diberlakukan ke obyek pajak yang sedang menikmati kondisi yang menguntungkan.
Untuk itu, Faisal mengingatkan bahwa kebijakan ini perlu diiringi dengan jaminan dari pemangku kebijakan perihal kemudahan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya mengingat selama ini kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor penyumbang penerimaan negara.
Ia juga melihat bahwa kebijakan PMK untuk CPO selalu identik dengan kenaikan penerimaan. Sebagai ilustrasi, pada tahun lalu, ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan pada bulan Juli sampai dengan Desember, volume ekspor CPO dan produk turunannya justru mengalami peningkatan.
Meski begitu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang tertuang dalam PMK Nomor 23/PMK.05/2022 tidak berdampak signifikan terhadap penerimaan bea keluar.
”Kami sampaikan bahwa dampak langsung ke penerimaan bea keluar sepertinya tidak ada. Karena tarif bea keluarnya tetap,” ujarnya. Namun, kata Nirmala, tidak tertutup kemungkinan total pungutan yang meningkat akan berpengaruh pada penurunan volume ekspornya.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini, prospek komoditas masih sangat menjanjikan sehingga akan menguntungkan pemerintah karena mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Terkait dengan kenaikan pungutan ekspor, Prianto menilai, hal tersebut tidak akan terlalu berdampak terhadap berkurangnya volume ekspor. ”Saya melihat yang sudah-sudah justru kenaikan tarif ekspor tidak terlalu berefek. Ekspor akan meningkat seiring dengan permintaannya,” ujarnya.