Pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan Rp 3.799 triliun jika mengikuti kontribusi yang ditetapkan secara nasional dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon menjadi salah satu langkah pemerintah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan sekaligus transisi ekonomi menuju ekonomi hijau. Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam proses tranformasi ekonomi hijau adalah besaran nilai investasi.
Untuk itu, pemerintah berupaya mendorong penerapan ekonomi hijau melalui pengelolaan sampah agar bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas, Rabu (16/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, tantangan Indonesia dalam mewujudkan net zero emission melalui pembangunan rendah karbon adalah sangat besarnya investasi yang dibutuhkan. ”Karena untuk melakukan transisi energi dibutuhkan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Airlangga menambahkan, anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN, yang 88,1 persen di antaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Sementara itu, pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan Rp 3.799 triliun jika mengikuti kontribusi yang ditetapkan secara nasional (national determined contribution/NDC).
Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tahun 2020 adalah 100 juta dollar AS yang diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP 26) di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021.
”Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional, seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon,” ujar Airlangga.
Pengelolaan sampah
Dalam webinar nasional bertema ”Menuju Transformasi Ekonomi Hijau”, Rabu, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rofi Alhanif mengatakan, konsep pengelolaan sampah di Indonesia saat ini telah berorientasi pada ekonomi hijau.
”Dalam aspek pengelolaan sampah sekarang, orientasi pemerintah sudah menuju ke arah ekonomi hijau. Saat ini sudah ada perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah, terutama sampah plastik yang kini menjadi isu,” katanya.
Berdasarkan perhitungan National Plastic Action Partnership (NPAP), Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik per tahun dengan 10 persen di antaranya sampai ke laut. Apabila masalah ini tidak segera diselesaikan, jumlah sampah plastik di laut diprediksi mencapai 780.000 ton pada 2025.
Rofi menyampaikan bahwa skala ekonomi hijau dalam penyelesaian sampah plastik memerlukan investasi, baik fisik maupun operasional, sebesar 5,1 miliar dollar AS. Untuk saat ini, Pemerintah Indonesia telah membuat sejumlah skenario mengatasi permasalahan sampah plastik di laut dengan target pengurangan 70 persen dalam tiga tahun ke depan.
Terdapat lima strategi untuk menangani sampah di laut, yakni gerakan nasional peduli sampah laut, pengendalian sampah pada daerah aliran sungai hingga industri, pengelolaan sampah plastik, diversifikasi skema pendanaan, dan memacu inovasi pengelolaan melalui riset dan pengembangan.
Rofi mengklaim dengan kelima strategi tersebut, pemerintah telah menurunkan 15,3 persen sampah plastik di laut dalam rentang waktu 2018-2020, yang sebelumnya ada 615.674 ton menjadi 531.540 ton sampah plastik.
”Hitungan kami hingga akhir Desember 2021 mungkin bisa sampai minimal 25-30 persen akumulasi selama tiga tahun. Kalau tren kenaikan ini terus berlanjut, mudah-mudahan target 70 persen pada 2025 bisa tercapai,” kata Rofi.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Koordinator Jawa Barat Martha Fani Cahyandito menilai penerapan ekonomi sirkular diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah besar. ”Ekonomi sirkular merupakan model industri baru yang berfokus pada reduce (pengurangangan), reuse (pemakaian kembali), dan recycle (pendaurulangan) yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah,” ujarnya.
Berdasarkan kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), penerapan ekonomi sirkular akan memberikan kontribusi dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru karena bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi 2,3 hingga 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).