PNBP dari Sanksi Administratif Perikanan Rp 2,6 Miliar
Pemerintah menyebut sanksi administrasi terus ditegakkan kepada pelaku usaha kapal perikanan yang melanggar. Efektivitas sanksi administrasi terhadap tingkat kepatuhan pelaku usaha dinilai masih perlu dicermati.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan menerapkan penyelesaian pelanggaran kapal perikanan dengan pendekatan sanksi dan denda administratif. Hingga kini, denda administratif telah dikenakan kepada 14 kapal perikanan Indonesia yang melanggar.
Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Drama Panca Putra menyampaikan, penyelesaian pelanggaran kapal perikanan dengan pendekatan ultimum remedium sudah diterapkan pada beberapa kasus. KKP telah mengenakan sanksi administrasi dengan rincian sanksi peringatan sebanyak 4 kapal perikanan, denda administratif sebanyak 14 kapal perikanan, pembekuan perizinan berusaha sebanyak 1 kapal perikanan, dan pencabutan perizinan berusaha sebanyak 4 kapal perikanan.
Ia menambahkan, pelaksanaan sanksi administratif merupakan penerapan Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun denda administratif yang sudah dikenakan kepada 14 kapal perikanan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). ”Total PNBP yang diperoleh negara dari sanksi tersebut sekitar Rp 2,6 miliar,” kata Drama, dalam keterangan tertulis, Jumat (11/3/2022).
Sebelumnya, KKP memberikan sanksi denda administratif kepada KM SS yang ditangkap Polair Polres Natuna di sekitar perairan Pulau Subi pada 17 Februari 2022. Kapal yang diawaki oleh 16 orang tersebut diserahkan kepada Pengawas Perikanan KKP untuk diproses lebih lanjut.
Meski sempat diduga mengoperasikan alat tangkap cantrang yang terlarang, aparat pengawas akhirnya menilai KM SS mengoperasikan alat penangkapan ikan jenis jaring tarik berkantong yang tidak dilarang. Aparat menyebut pelanggaran kapal itu berupa kegiatan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan daerah penangkapan yang ditetapkan. Akhirnya, sanksi yang dikenakan berupa denda administratif sebesar Rp 159 juta.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Laksamana Muda Adin Nurawaluddin mengemukakan, alat penangkapan ikan jaring berkantong itu memang diizinkan untuk beroperasi di dua wilayah pengelolaan perikanan, yaitu WPP 711 dengan ketentuan harus beroperasi di atas 30 mil laut dan WPP 712 harus beroperasi di atas 12 mil laut. Alat tangkap itu berbeda dengan cantrang karena menggunakan mata jaring berbentuk persegi dan tali selambar yang lebih pendek dibandingkan dengan cantrang.
Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh KM SS, Adin menjelaskan bahwa berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan baik terhadap nakhoda ataupun para saksi dan ahli, diketahui kapal tersebut beroperasi bukan di daerah penangkapan sebagaimana ketentuan.
”Ini menjawab isu yang berkembang, kami sampaikan bahwa alat tangkap yang dioperasikan adalah legal dan yang dilanggar ketentuan terkait dengan daerah penangkapan ikan,” ujar Adin.
Adin juga menyampaikan apresiasinya kepada jajaran Polair Polres Natuna yang mempercayakan penanganan kasus ini melalui pendekatan sanksi administratif. Hal ini merupakan contoh konkret bahwa aparat penegak hukum di lapangan telah bersinergi dalam mengawal penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Muhammad Abdi Suhufan menilai, masih perlu dicermati efektivitas sanksi administrasi terhadap tingkat kepatuhan pelaku usaha kapal perikanan dan penurunan pelanggaran.
Di sisi lain, ia menilai pemerintah perlu mewaspadai modus baru pelanggaran, berupa penggunaan dua alat tangkap sekaligus, yakni cantrang dan jaring tarik berkantong. Cantrang yang sudah dilarang tetap digunakan karena jaring tarik berkantong masih tergolong alat tangkap baru.
Ia menambahkan, kapal KM SS terindikasi mengelabui aparat dengan menggunakan dua alat tangkap, yakni cantrang dan jaring tarik berkantong. Cantrang diduga disimpan dalam palka dan digunakan untuk menangkap ikan.
”Petugas pengawas perikanan PSDKP di lapangan mesti jeli melihat hal ini,” kata Abdi.