Tantangan Memupus Ego Sektoral
Selain memastikan ketersediaan dan stabilitas pangan, ada tantangan lain yang mesti dihadapi Badan Pangan Nasional, yakni mengatasi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral kementerian/lembaga terkait pangan.
Badan Pangan Nasional, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 serta amanat Undang-Undang No 18/2012 tentang Pangan, diharapkan dapat membenahi tata kelola pangan nasional. Pembentukannya diharapkan menyelesaikan problem kelembagaan serta ego sektoral kementerian/lembaga pemerintah terkait pangan.
Delapan bulan sejak Perpres No 66/2021 terbit, tepatnya 21 Februari 2022, Presiden Joko Widodo akhirnya melantik Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional. Sebelumnya, Arief merupakan Direktur Utama ID Food, induk badan usaha milik negara (BUMN) sektor pangan, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), serta Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya, badan usaha milik DKI Jakarta.
Sejumlah tantangan langsung menyambutnya. Selain lonjakan harga komoditas pangan yang terdampak gejolak di pasar global, Badan Pangan Nasional mesti menghadapi tantangan terkait ketersediaan dan stabilisasi harga bahan pangan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran.
Sesuai regulasi, sembilan komoditas pangan menjadi wilayah tugas lembaga ini, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Bagaimanakah kesiapan Badan Pangan Nasional? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Arief Prasetyo Adi pada Senin (7/3/20220):
Bagaimana perkembangan penyusunan struktur organisasi Badan Pangan Nasional?
Sejak dilantik di Istana Merdeka, saya sudah mengajukan struktur organisasi Badan Pangan Nasional. Prosesnya agak beda dengan di swasta. Sebab, mesti ada persetujuan dari Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Setelah SOTK (struktur organisasi dan tata kerja) disetujui, kami baru melakukan lelang (jabatan) untuk eselon 1 dan 2. Jadi, di bawah saya ada satu sekretaris utama dan tiga deputi. Sesuai Perpres No 66/2021, tiga deputi itu, pertama Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitas Pangan. Kedua, Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi. Ketiga, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan.
Lembaganya sedang kami ajukan. Anggarannya masih ikut anggaran Badan Ketahanan Pangan (BKP) eks-eselon 1 Kementerian Pertanian. Kantornya menggunakan Gedung E Kementerian Pertanian. Aset-aset yang dimiliki BKP itu nanti akan beralih ke Badan Pangan Nasional. Soal anggaran dan lain-lain (sementara) akan mengikuti (anggaran) BKP. Baru pada 2023, (anggaran untuk Badan Pangan Nasional) disiapkan dengan DIPA (daftar isian pelaksana anggaran) terpisah. Namun, hal ini baru bisa disetujui oleh Kementerian Keuangan pada saat struktur organisasi dan lainnya sudah mendapatkan persetujuan.
Baca Juga: Setelah 8 Bulan, Presiden Baru Angkat Arief Prasetyo Adi Jadi Kepala Badan Pangan
Kendati SOTK belum disetujui, apakah Badan Pangan Nasional sudah bisa langsung bekerja?
Sejak 21 Februari, pekerjaan (kami) sudah tidak karuan. Kami sudah ke pasar, bertemu asosiasi pedagang pasar membahas daging, kemudian telur, dan hari ini minyak goreng. Sebelumnya, kami juga bertemu Perpadi (Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia), Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, peternak ayam petelur, Pinsar (Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia). Pokoknya (pekerjaan) enggak pernah berhenti. Tanggalannya hitam semua.
Minyak goreng tidak termasuk dalam komoditas yang ditangani menurut Perpres Nomor 66 Tahun 2021, tetapi Badan Pangan Nasional terlibat?
Saya berkomunikasi dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Sekretaris Negara. Kebetulan karena punya latar belakang di sektor ritel, saya izin Pak Menteri Perdagangan, apa yang bisa saya bantu di ritel. Sebelumnya, saya di ID Food juga membantu distribusi minyak goreng bersama tim, seperti ID Food, PPI (PT Perusahaan Perdagangan Indonesia), dan PT Rajawali Nusindo. Mereka membantu distribusi minyak goreng sampai ke masyarakat.
Tak serta-merta kami mau menambah pekerjaan karena masih ada beras, jagung, kedelai, bawang putih, telur, daging, dan cabai. Jadi, (pekerjaan) ini semua dikerjakan secara paralel demi membantu masyarakat menjelang Ramadhan dan Lebaran.
Bagaimana kondisi stok pangan menjelang Ramadhan dan Lebaran tahun ini?
Ke depan, kita mesti memiliki stok yang dikuasai (pemerintah), antara lain melalui Bulog atau ID Food. Terkait harga, kita lihat barangnya dan negara asalnya. Selama ini kita bisa menikmati harga baik dari impor. Namun, saat harga di luar negeri tinggi, dengan ketergantungan tinggi pada impor, harga di dalam negeri pasti ikut naik.
Situasi itu tidak bisa dipungkiri dan bukan salah siapa-siapa karena memang (komoditas impor) ini tak diproduksi di Indonesia secara masif. Kedelai, misalnya, dulu produksi bisa 1,5 juta ton dari kebutuhan 2,5-3 juta ton. Saat ini (produksi dalam negeri) hanya 250.000 ton. Dengan dinamika global hari ini, harga kedelai di dalam negeri pasti akan naik.
Namun, idealnya tetap punya barang. (Alternatif) Yang paling baik ialah punya barang dan harganya baik. Setelah itu, punya barang meski harga tinggi. Namun, jangan sampai, sudah tidak punya barang, tetapi harganya tinggi atau (seperti minyak goreng) kemarin, harga bagus tetapi tidak ada barang. Harga ditetapkan Rp 14.000 (per liter), tetapi barang tidak ada. Itu juga tidak baik.
Problem itu merupakan pekerjaan rumah kita bersama. Namun, sekali lagi, (terkait minyak goreng) jangan panic buying. Belilah sesuai dengan kebutuhan. Tidak usah ditimbun karena kebutuhan pasti akan terpenuhi. Berdasarkan hitung-hitungan kami, produksi mampu memenuhi kebutuhan.
Apakah bisa dipastikan stok pangan untuk Ramadhan dan Lebaran aman?
Bismillah. Satu per satu persoalan diatasi. Namun, kami pastikan daging (kerbau) impor sudah masuk 20.000 ton di Tanjung Priok. Sementara daging sapi dari Brasil sedang dalam proses pengurusan rekomendasi teknis. Itu ditugaskan kepada PT Berdikari (Persero) sebagai BUMN pangan di bawah ID Food. Sementara impor daging 100.000 ton ditugaskan ke Bulog dan kini rekomendasi teknisnya sedang dimintakan ke Kementerian Pertanian. Setelah itu, persetujuan impornya disiapkan. Namun, bukan berarti kami pro-impor.
Pemenuhan kebutuhan daging segar dari sapi lokal tetap didorong. Kami keliling ke beberapa sentra produksi. (Produksinya) Akan kami tarik ke Jakarta dan Bandung Raya. Kalau perlu, Badan Pangan Nasional menyiapkan subsidi angkutnya agar harganya tetap baik.
Dengan demikian, masyarakat bisa memilih. Kalau mau murah, pilih daging kerbau impor, tetapi kalau mau agak mahal pilih daging sapi segar. Kalau daging sapi impor, berada di antara keduanya. Kami berikan pilihan-pilihan ke masyarakat.
Apakah ada yang dikerjakan secara khusus di tengah gejolak harga sejumlah komoditas pangan global?
Kami bahas satu per satu. Mulai dari Beras. Saat ini di Jawa sedang panen. Lalu kami cek stok masih di atas 5 juta ton. Artinya, stok masih mencukupi kebutuhan dua bulan. Kemudian, panen rendeng masih berjalan. Kami sudah cek harga gabah kering panen (GKP) sekitar Rp 4.300-Rp 4.500 per kg. Artinya, harga berasnya Rp 8.600-9.000 per kg.
Lalu jagung. Sudah sekian lama Indonesia tidak mengimpor jagung terlalu banyak guna memberi kesempatan kepada petani untuk menanam jagung. Di BUMN ada program Makmur. Kami persiapkan mulai dari CPCL (calon petani calon lokasi), lalu disiapkan Bank BRI untuk memberi KUR (kredit usaha rakyat). Setelah itu, ada Jasindo (PT Asuransi Jasa Indonesia), asuransi untuk gagal panen. Kemudian Askrindo (PT Asuransi Kredit Indonesia) apabila gagal bayar. Lalu RNI (PT Rajawali Nusantara Indonesia) atau ID Food sebagai offtaker bersama swasta.
Baca Juga: Harga Pangan Dunia Kian Melambung Tinggi
Dari 10 juta ton kebutuhan jagung, 7 juta ton di antaranya ada di lima besar perusahaan, sementara 3 juta ton lainnya adalah kebutuhan peternak ayam. Semua ini harus kami perhatikan karena mereka (peternak rakyat) tidak bisa membeli dalam jumlah besar. Mereka membeli sesuai kebutuhan dan anggarannya. Saya berencana membangun stok jagung di sentra peternakan, seperti di Blitar (Jawa Timur), Kendal (Jawa Tengah), dan Ciamis (Jawa Barat).
Sementara untuk memenuhi kebutuhan bibit ayam (DOC/day old chicken) akan melalui PT Berdikari sebagai BUMN pangan yang mengurus ruminansia dan unggas. Kami siapkan mulai dari DOC, pakan ternak, sampai offtaker (penyerap produksi) sehingga nanti hasil ternak mereka bisa masuk rumah potong ayam (RPA), kemudian distok dalam bentuk beku. Ini semua seharusnya bisa dikerjakan.
Dengan demikian, pada saat harga ayam di peternak turun hingga di bawah Rp 15.000 (per kg), kami beli pada harga tersebut atau harga yang baik. Lalu, kami proses di RPA dan simpan dengan sistem resi gudang, sampai misalnya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu (daging ayam) seharusnya bisa dijual lagi ke masyarakat dengan harga yang baik. Jadi, kesetimbangan-kesetimbangan ini yang perlu dikerjakan oleh tim Badan Pangan Nasional.
Sementara untuk gula, saya rasa sudah selesai. Ada penugasan ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III Holding, lalu ke ID food melalui RNI, seharusnya bisa memenuhi sekitar 50-60 persen kebutuhan gula nasional. Selain itu, musim giling akan tiba pada Mei-Juni, bahan baku tebunya sudah siap. Saya rasa tidak akan ada masalah gula.
Badan Pangan Nasional diharapkan mengatasi problem koordinasi antarlembaga terkait pangan. Seperti apa strateginya?
Dalam Pasal 28 dan 29 Perpres No 66/2021, ada pendelegasian kewenangan dari kementerian teknis, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, termasuk Bulog sebagai operator Badan Pangan Nasional.
Saat dilantik saya sampaikan bahwa kami tidak bisa sendiri. Hari ini kami bekerja sama dengan seluruh pemangku urusan pangan, kementerian/lembaga, BUMN, badan usaha milik desa, termasuk asosiasi peternak, petani, dan nelayan. Maka, dalam waktu pekan ini saya bertemu dengan semua asosiasi, termasuk ritel. Siapa saja kami temui untuk menyamakan persepsi dan bisa bergandengan tangan untuk memecahkan masalah pangan nasional. Kalau tidak begitu, tentu tidak bisa.
Bagaimana penanganan data pangan yang direncanakan bakal dituangkan dalam dasbor?
Dasbor ini penting, tetapi ini baru langkah awal untuk pengambilan keputusan ke depan. Saya minta ke depan ada data proyeksi untuk merencanakan stok yang aman. Selama ini, hal yang sering diributkan adalah impor, seolah kalau impor berarti tidak pro-petani.
Dalam Perpres No 66/2021 disebutkan bahwa mengenai ketersediaan pangan ada tiga. Pertama, sumber produksi domestik, lalu cadangan pangan, dan yang ketiga kita diperkenankan impor untuk pemenuhannya. Selama ini terkadang agak lama pengambilan keputusannya karena ada ego sektoral.
Teman-teman di Kementerian Pertanian, misalnya, maunya produksi lokal. Angka produksinya itu, kalau tidak naik seolah Kementerian Pertanian tidak berhasil. Padahal, faktornya banyak, bisa karena bencana, kurang pupuk, petani tidak disiplin, atau rendemennya tidak bagus.
Sekarang kita harus terbuka. Harus jujur dengan data kita semua. Berapa produksi, proyeksi, dan cadangan stok yang kita miliki. Berapa yang mau kita simpan dan berapa yang direcanakan dari impor. Sebab, jika tidak demikian dan menggunakan isu-isu yang tidak benar, kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang benar. Misalkan kita memang harus impor, kita impor. Namun, di sisi lain, kita juga harus meningkatkan produksi di dalam negeri.
Contoh, hari ini kita impor daging kerbau atau sapi, di situ kami sudah harus hitung. Berapa yang kita siapkan untuk penggemukan sapi lokal sehingga nanti ketergantungan impor berkurang. Semua ini harus direncanakan dan Badan Pangan Nasional, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan harus duduk bersama. Insya Allah, Badan Pangan Nasional bisa menjadi jembatan bagi Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan serta Kemenko Perekonomian.
Baca Juga: ”Pangkon” Bernama Impor