Naiknya harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas alam, dan batubara, bakal menaikkan biaya produksi industri. Daya beli konsumen bisa tertekan.
Oleh
MEDIANA, JOICE TAURIS SANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah komoditas energi, seperti batubara, gas alam, dan minyak mentah, masih bertahan tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Situasi ini memengaruhi biaya input atau masukan yang harus dikeluarkan oleh pelaku industri. Apabila berkepanjangan, daya beli konsumen bisa tertekan akibat naiknya harga barang-barang produksi.
Biaya input adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi industri manufaktur berupa bahan baku dan bahan penolong, bahan bakar, serta barang lainnya. Naiknya harga batubara, gas alam, atau harga minyak bakal menaikkan biaya produksi dari sektor industri yang menggunakan bahan baku atau sumber energi dari komoditas tersebut.
Sampai Jumat (4/3/2022) sore, data Trading Economics mencatat harga minyak mentah jenis Brent di level 112 dollar AS per barel, batubara 400 dollar AS per ton, dan gas alam sebesar 4,8 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Selain permintaan komoditas energi yang tinggi, konflik bersenjata Rusia-Ukraina turut mendongkrak harga-harga komoditas tersebut.
Terkait biaya input tersebut, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov mengatakan, tingginya biaya input dari sisi komponen energi pasti akan ditransmisikan ke seluruh biaya produksi sehingga harga jual barang produksi turut naik. Kondisi inilah yang menyebabkan kenaikan angka inflasi. Konsumen pun bakal menanggung ongkos barang jadi tersebut.
”Dampaknya adalah bukan hanya daya beli masyarakat tergerus, tetapi daya saing barang-barang manufaktur untuk ekspor juga tertekan. Tinggal bagaimana adu kuat produk Indonesia dengan produk dari negara lain,” ujar Abra saat dihubungi, Jumat, di Jakarta.
Tingginya harga komoditas energi tersebut, imbuh Abra, diantisipasi oleh pelaku industri dengan menerapkan kontrak jual-beli jangka menengah atau panjang. Situasi akan berbeda apabila mereka tidak menerapkan skema kontrak jual-beli dalam jangka panjang atau menengah.
Terkait harga batubara, industri dalam negeri sedikit tertolong oleh kebijakan harga untuk kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) batubara yang ditetapkan pemerintah.
Industri dalam negeri sedikit tertolong oleh kebijakan harga untuk kebutuhan pasar domestik ( domestic market obligation/DMO) batubara yang ditetapkan pemerintah.
Meski sudah menerapkan skema kontrak jual-beli dalam jangka menengah atau panjang, menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Bobby Gafur, hal itu tak semerta-merta menghilangkan kekhawatiran pelaku industri. Kekhawatiran itu apabila tingginya harga komoditas energi berlangsung lebih lama. Apabila itu terjadi, skema kontrak jual-beli jangka menengah atau panjang tidak terlalu signifikan dampaknya.
”Tingginya harga komoditas energi tersebut seperti anomali. Apalagi, Indonesia masih bergantung pada impor komoditas energi (untuk minyak mentah atau bahan bakar minyak/ BBM),” ujar Bobby.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menambahkan, meskipun dalam beberapa hari terakhir harga minyak mentah di pasar internasional naik pesat, dampak ke industri domestik masih sebatas naiknya biaya input barang-barang impor. Pasalnya, harga BBM di Indonesia masih diatur oleh kebijakan pemerintah dan tidak sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar.
”Selama pemerintah masih bisa mempertahankan kebijakan harga energi yang ada saat ini, kami rasa dampak dari tingginya harga energi fosil tidak terlalu besar. Mungkin dampak yang ada hanya sebatas kenaikan harga impor, kenaikan inflasi dari seluruh barang/jasa impor, dan potensi kenaikan suku bunga,” ucap Shinta.
Sementara itu, kenaikan harga batubara menguntungkan perusahaan produsen batubara dalam negeri. Salah satu perusahaan yang menikmati keuntungan dari tingginya harga batubara adalah PT Adaro Energy Indonesia Tbk. Adaro membukukan kinerja yang baik sepanjang tahun 2021 dibandingkan kinerja tahun 2020.
Laba kotor Adaro Energy tercatat naik 207 persen menjadi 1,77 miliar dollar AS, sementara laba intinya naik 201 persen menjadi 1,256 miliar dollar AS. Sementara itu, laba bersihnya hingga akhir tahun 2021 naik 547 persen menjadi 1,02 miliar dollar AS.
”Kondisi pasar yang kondusif menopang kinerja perusahaan pada 2021. Kami membukukan tingkat keuntungan yang solid,” kata CEO Adaro Energy Indonesia Garibaldi Thohir dalam keterangan resmi.
Sebabkan inflasi
Naiknya harga komoditas energi di pasar internasional turut berdampak pada harga jual eceran BBM dan elpiji di Indonesia. Pada Minggu (27/2), Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi ukuran 12 kilogram dari Rp 162.000 per tabung menjadi Rp 182.000 per tabung.
Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga elpiji nonsubsidi menyumbang inflasi pada kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Pada Februari 2022, kelompok ini mengalami inflasi 0,25 persen. Listrik dan bahan bakar rumah tangga berkontribusi 0,35 persen terhadap inflasi tersebut.
”Kenaikan harga elpiji nonsubsidi menjadi penyebabnya. Kontribusi bahan bakar rumah tangga, terutama elpiji nonsubsidi, terhadap inflasi tersebut sebesar 0,02 persen,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto (Kompas, 2/3).