Di tengah tren kenaikan harga bahan pangan dan energi, daya beli dari masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas tidak akan terganggu. Namun, masyarakat golongan menengah ke bawah akan terdampak.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi, dikhawatirkan memperparah kesenjangan ekonomi masyarakat yang sebelumnya telah melebar akibat pandemi Covid-19. Diperlukan sebuah mekanisme dan kebijakan berkelanjutan untuk mempersempit jurang ketimpangan yang sudah terjadi selama puluhan tahun di Indonesia.
Lebarnya ketimpangan di Indonesia selama ini tergambar dalam Laporan Ketimpangan Dunia (World Inequality Report/WIR) 2022 yang dirlis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Lab Ketimpangan Dunia.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa di Indonesia rata-rata pendapatan dari populasi orang dewasa adalah Rp 69 juta per tahun (Rp 5,7 juta per bulan). Sebanyak 50 persen masyarakat lapisan bawah punya pendapatan rata-rata Rp 22,6 juta per tahun (Rp 1,9 juta per bulan). Sementara bagi 10 persen masyarakat lapisan atas, rata-rata pendapatannya adalah Rp 285 juta per tahun (Rp 23,7 juta per bulan).
Kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia mengkhawatirkan. Ada sebuah mekanisme keadilan yang tidak berjalan secara nasional. Penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sifatnya berkelanjutan, bukan hanya kebijakan yang bersifat periodik. (Bona Tua P)
Senior Program Officer SDGs International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua P menyebutkan, selama 100 tahun terakhir, 10 persen masyarakat dengan kondisi ekonomi teratas menguasai 40 persen-50 persen total pendapatan nasional.
”Sementara dalam periode waktu yang sama, 50 persen masyarakat pada lapisan ekonomi terbawah hanya menguasai 12 persen-18 persen total pendapatan nasional,” ujarnya dalam diskusi bertema ”Tren Ketimpangan Dunia dan Indonesia: Konteks Ekonomi, Gender, dan Ekologis” yang digelar INFID, Jumat (4/3/2022).
Bona mengakui kondisi ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia sebenarnya cenderung membaik selama periode 2000 hingga 2020. Sayangnya, setelah pandemi Covid-19 menghantam ekonomi domestik, kondisi ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia kembali melebar.
Pemangku kebijakan, lanjutnya, perlu melakukan langkah yang tepat dalam pemulihan ekonomi nasional. Untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi masyarakat, pemerintah perlu berupaya menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi, agar daya bali kelompok masyarakat kelas bawah tidak semakin anjlok.
”Kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia mengkhawatirkan. Ada sebuah mekanisme keadilan yang tidak berjalan secara nasional. Penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sifatnya berkelanjutan, bukan hanya kebijakan yang bersifat periodik,” kata Bona.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut meroketnya harga kebutuhan pokok di tengah rendahnya upah minimum akan makin memperlebar jurang ketimpangan antara masyarakat kelas ekonomi atas dan masyarakat kelas ekonomi bawah.
Di tengah tren kenaikan harga bahan pangan dan energi, daya beli dari masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas dinilai tidak akan terganggu karena pendapatan mereka tergolong stabil. Masyarakat golongan ini memiliki likuiditas simpanan yang bisa digunakan untuk situasi darurat.
Namun, masyarakat golongan menengah ke bawah yang tengah berusaha pulih dari pandemi akan terdampak kenaikan harga pangan dan energi. Di tengah pendapatan yang belum pulih dari pandemi, mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akibat meningkatnya harga kebutuhan pokok.
”Orang kaya masih punya tabungan sehingga kenaikan inflasi 5 persen masih bisa diakomodasi. Sementara masyarakat rentan bisa semakin terpuruk sehingga ketimpangan semakin melebar,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, untuk masyarakat miskin dan rentan, pemerintah tetap memberikan bantuan untuk menjaga daya beli kelompok tersebut dengan mengalokasikan anggaran perlindungan sosial di tahun 2022 sebesar Rp 431,5 triliun.
Secara umum, lanjutnya, untuk menjaga stabilitas harga di tingkat nasional, pemerintah pusat dan daerah selalu bersinergi dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia serta otoritas terkait untuk menciptakan bauran kebijakan yang tepat.
”Pemerintah juga akan terus mengantisipasi perkembangan harga komoditas global, termasuk yang disebabkan oleh isu geopolitik,” kata Febrio.
Akses permodalan
Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) Universitas Muhammadiyah Surakarta Imron Rosyadi mengatakan, untuk mengatasi kesenjangan ekonomi diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada dunia usaha mikro dengan membantu dan mendampingi dalam hal permodalan, pemasaran, proses produksi, dan manajemen.
Ia melihat adanya ketimpangan akses layanan perbankan. Di sektor UMKM, misalnya komposisi kredit usaha mikro sebesar 25 persen, usaha kecil (32 persen), dan usaha menengah (43 persen). Selain itu, perkembangan kredit mikro sejak Maret 2020 terus menurun secara signifikan, yakni dari 280.000 unit usaha mikro (Maret 2020) yang terlayani perbankan menjadi 256.777 unit usaha mikro (Juli 2020).
Selama ini komposisi pengusaha Indonesia berbetuk piramida dengan jumlah pengusaha besar yang jumlahnya 0,01 persen dari total pengusaha nasional, disusul pengusaha menengah (0,09 persen), pengusaha kecil (1,22 persen), dan pengusaha mikro/ultra mikro (98,68 persen).
Untuk mempersempit kesenjangan, piramida tersebut perlu diubah menjadi bentuk belah ketupat dengan usaha besar (2 persen), menengah dan kecil (95 persen), serta mikro/ultra-mikro (3 persen) berada di bagian paling bawah.
”Di luar pemerintah, mengatasi kesenjangan ekonomi juga menjadi tanggung jawab masyarakat yang tergolong mampu untuk membantu yang lemah dengan mendayagunakan dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf secara lebih produktif,” ujarnya.