Pelaku Industri Butuh Insentif untuk Mendorong Substitusi Impor
Efektivitas program substitusi impor dan peningkatan ekspor tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke pelaku industri. Industri membutuhkan kebijakan pendukung untuk bersaing dengan produk impor dan menembus pasar global.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mendorong pencapaian target substitusi impor dan mendorong peningkatan ekspor, dunia industri membutuhkan insentif khusus. Tanpa kebijakan pendukung yang kuat terhadap dunia industri, pangsa pasar dalam negeri akan terus dikuasai produk negara lain. Peran Indonesia dalam rantai perdagangan global pun akan terus berjalan di tempat.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel) Daniel Suhardiman mengatakan, efektivitas program substitusi impor tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pelaku industri. Menurut dia, pelaku industri sudah berupaya mengembangkan produk yang tepat untuk kebutuhan pasar Indonesia.
Namun, industri membutuhkan kebijakan pendukung yang lebih kuat untuk bersaing dengan produk impor dan menembus pasar global. ”Substitusi impor tidak bisa hanya diserahkan ke pelaku industri karena dalam perdagangan global saat ini kita harus bersaing antarnegara, yang memiliki kebijakan insentif progresif,” kata Daniel dalam diskusi daring terkait program substitusi impor di sektor elektronika dan telematika, Rabu (2/3/2022).
Ia mencontohkan China yang sudah sejak lama menerapkan kebijakan pemotongan pajak ekspor (export tax rebate) bagi pelaku industrinya yang berorientasi ekspor. ”Insentif pemotongan pajak mereka bisa sampai 17 persen. Itu salah satu hal yang membuat mayoritas barang-barang elektronik di pasar kita saat ini masih dikuasai China,” kata Daniel.
Ia berharap pemerintah dapat lebih cermat memberikan insentif ke pelaku industri, khususnya perusahaan yang berkontribusi mendorong ekspor dan menekan impor. ”Sebenarnya, dibandingkan negara ASEAN lain, kualitas dan harga produk kita bisa dikatakan seimbang meski memang kalau berhadapan dengan China, bukan hanya kita, melainkan seluruh negara di ASEAN, juga masih sulit,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan mencatat, sepanjang 2021, Indonesia mencatat impor produk elektronika dan telematika senilai 25,5 miliar dollar AS. Sementara ekspor produk terkait hanya 12,5 miliar dollar. Padahal, produk elektronik menjadi barang yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Dari total perdagangan global pada 2020, misalnya, sebanyak 17 persen produk yang diperdagangkan adalah barang elektronik.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan, program substitusi impor yang kini sedang digencarkan pemerintah harus dilakukan selaras dengan upaya meningkatkan struktur ekspor berbasis produk manufaktur.
”Saat ini, perdagangan barang elektronik kita masih defisit. Namun, ada indikasi bagus karena investasi di sektor elektronika belakangan sedang meningkat. Artinya, investasi sudah ada, tetapi porsi untuk ekspor belum seperti yang diharapkan,” kata Kasan.
Menurut Kasan, insentif bagi industri berorientasi ekspor dapat menjadi instrumen efektif untuk menekan impor dan meningkatkan peran Indonesia dalam rantai perdagangan dunia. Ia menegaskan, program substitusi impor bukan hanya sekadar urusan mengendalikan arus impor, melainkan juga untuk mendorong ekspor produk Indonesia ke pasar global.
Program substitusi impor bukan hanya sekadar urusan mengendalikan arus impor, melainkan juga untuk mendorong ekspor produk Indonesia ke pasar global.
”Memang perlu ada kebijakan lain. Untuk industri berorientasi ekspor, harus ada insentif bagi perusahaan, baik asing maupun dalam negeri. Jika dia bisa berkontribusi lebih banyak pada ekspor, akan mendapat insentif,” ujarnya.
Menurut dia, kebijakan yang lebih progresif untuk mendorong ekspor itu diperlukan. Sebab, selama 20 tahun terakhir, yakni dari tahun 2000 sampai 2021, peran Indonesia terhadap total perdagangan dunia terus berkutat di angka 0,9 persen sampai 1 persen. Kondisi itu berbanding terbalik dengan Vietnam, yang pada tahun 2000 hanya berperan 0,25 persen terhadap total perdagangan dunia, tetapi kini porsinya sudah mencapai 2 persen terhadap total perdagangan dunia.
Bukan hanya Vietnam, negara lain di ASEAN juga kini tengah mengembangkan porsi perdagangannya yang bertumpu pada sektor elektronik sebagai produk yang paling banyak diperdagangkan di dunia.
”Kita sebenarnya sudah mulai on track karena investasi di sektor elektronik sedang meningkat. Tinggal bagaimana investasi yang sudah ada itu kita jaga dan orientasinya ditingkatkan untuk ekspor,” kata Kasan.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufik Bawazier membenarkan, untuk mendorong substitusi impor di sektor elektronik dan telematika, pemerintah memang perlu mencari rumusan instrumen yang lebih efektif.
”Industri elektronika dan telematika adalah sektor jantung dari program Making Indonesia 4.0. Sementara instrumen yang ada saat ini perlu diakui belum cukup untuk memaksimalkan industri dalam negeri,” kata Taufik.
Industri elektronika dan telematika adalah sektor jantung dari Making Indonesia 4.0. Sementara, instrumen yang ada saat ini perlu diakui belum cukup untuk memaksimalkan industri dalam negeri.
Ia menambahkan, pemerintah sedang mengembangkan neraca komoditas untuk memetakan kapasitas industri dalam negeri dan mengendalikan impor di tiap sektor. Saat ini, neraca komoditas masih terbatas untuk lima komoditas pangan, yakni beras, gula, garam, hasil perikanan, dan daging. Ke depan, program serupa akan diperluas ke seluruh sektor.
”Seiring dengan kebijakan pengendalian impor, seperti lartas (larangan dan pembatasan), akan dilakukan juga semacam neraca komoditas sehingga berapa porsi impor yang bisa diberikan untuk produk komponen dan produk hilir dapat lebih dikendalikan,” kata Taufik.
Menurut Taufik, dalam waktu dekat, impor produk hilir elektronika dan telematika terhitung lebih mudah dikendalikan dibandingkan produk berupa bahan baku atau komponen. Pasalnya, industri dalam negeri saat ini masih dalam proses mengembangkan industri komponen elektronika.
”Mungkin (pengendalian impor) akan lebih fokus ke produk hilir dulu. Untuk impor komponen, kita masih butuh waktu karena sekarang ini kita juga masih menginisiasi beberapa komponen yang bisa dikembangkan di dalam negeri untuk menguatkan industri elektronik, seperti semikonduktor,” ujarnya.