Substitusi impor baru mencapai 7 persen dari target awal 22 persen. Target yang akan dikejar dalam waktu pendek hingga sebesar 35 persen tahun ini dikhawatirkan bisa berdampak kontraproduktif terhadap kinerja industri.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi substitusi impor pada tahun 2021 masih jauh di bawah target awal. Walakin, pemerintah tidak merevisi target dan tetap mengejar pengurangan impor sebesar 35 persen tahun ini. Jika dipaksakan dalam tempo singkat, kebijakan itu dikhawatirkan kontraproduktif dan mengganggu daya saing industri dalam negeri.
Kementerian Perindustrian mencatat, pada periode Januari-Agustus 2021, substitusi impor baru mencapai 7 persen dari target awal 22 persen. Meski demikian, target substitusi impor ditetapkan sebesar 35 persen pada tahun 2022. Nilai yang dipatok sebesar Rp 152,83 triliun dari acuan dasar (baseline) potensi impor tahun 2019 yang mencapai Rp 434 triliun.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan hal itu dalam konferensi pers Kinerja Sektor Industri 2021 dan Outlook 2022 pada 29 Desember 2021.
Agus mengakui, target substitusi impor pada tahun 2021 sulit dicapai karena sejumlah faktor, seperti ketergantungan industri domestik yang masih tinggi terhadap barang modal atau permesinan dari luar negeri. Selain itu, beberapa industri juga membutuhkan bahan baku yang sulit diperoleh secara lokal.
Meski demikian, pemerintah tetap akan mengejar target substitusi impor 35 persen pada tahun ini sesuai rencana awal. ”Kenaikan ekspor manufaktur sedang signifikan dan itu membutuhkan bahan baku dan penolong. Kita (harus) mencarikan solusi agar bahan baku dan penolong itu bisa diproduksi dari dalam negeri,” kata Agus.
Target pemerintah itu dinilai tidak realistis oleh berbagai pihak. Kepala Center of Trade, Industry, and Investment Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho, Selasa (4/1/2022), mengatakan, target substitusi impor itu ambisius dan terkesan sebagai kebijakan yang populis.
Ia menilai, jika melihat struktur industri dalam negeri saat ini, sektor hilir masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Sementara itu, upaya untuk membangun kemandirian industri dalam negeri, khususnya di sektor hulu dan antara, membutuhkan pemetaan dan perencanaan matang, investasi yang besar, serta waktu yang panjang.
”Dengan jangka waktu yang sangat singkat, (target) ini hanya menjadi target yang populis saja tetapi tidak realistis. Sementara yang saat ini perlu didorong adalah bagaimana industri kita bisa menjadi bagian kuat dari rantai pasok global,” kata Andry.
Kontraproduktif
Target substitusi impor yang dikejar dalam waktu pendek, seperti dalam setahun ini, dikhawatirkan berdampak kontraproduktif terhadap kinerja industri dalam negeri. Hal ini disampaikan Vice President Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani.
Ia mengkhawatirkan, kebijakan yang dipaksakan dalam waktu pendek itu dapat mengarah pada restriksi impor yang menghambat pasokan bahan baku dan menurunkan daya saing industri di rantai pasok global. Untuk itu, perlu ada pemetaan jelas terkait potensi substitusi secara domestik dengan harga yang bersaing di masing-masing sektor yang disasar.
”Substitusi impor sebaiknya bukan menjadi tujuan, melainkan instrumen untuk mendorong nilai tambah. Ini bukan hanya sekadar menekan impor. Jangan sampai karena orientasinya untuk memenuhi target pengurangan impor, lalu produk yang dihasilkan industri jadi sulit bersaing,” kata Dendi.
Substitusi impor sebaiknya bukan menjadi tujuan, melainkan instrumen untuk mendorong nilai tambah. Ini bukan hanya sekadar menekan impor.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman, industri mamin akan sulit memenuhi target substitusi impor dalam waktu cepat. Untuk membangun kemandirian sektor hulu, dibutuhkan koordinasi lintas sektor untuk membuka lahan, meningkatkan kapasitas produksi, dan mendorong ekstentifikasi dan intensifikasi.
Demikian pula, dibutuhkan investasi yang besar untuk memperkuat sektor antara. ”Ini inisiatif bagus, tetapi harus didukung dengan peta jalan dan koordinasi yang matang, tidak bisa ujug-ujug menekan impor, sementara saat ini ekspansi di sektor hilir lebih pesat daripada penguatan di hulu. Itu semua butuh waktu, kalau tidak, agak berat untuk industri,” katanya.
Dengan pesatnya ekspansi pabrik mamin di sektor hilir, ia memperkirakan ketergantungan akan bahan baku impor justru bisa lebih tinggi di tahun 2022, terlebih di tengah permintaan dan konsumsi masyarakat yang mulai menggeliat lagi. ”Susu, misalnya, sekarang ini ketergantungan ke bahan baku impor sekitar 70 persen. Ke depan, bisa 80 persen karena setidaknya ada tiga pabrik susu besar yang akan dibangun,” tuturnya.
Koordinasi lintas sektor
Adhi menambahkan, pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi lintas sektor untuk memetakan industri yang bahan baku dan penolongnya bisa disubstitusi secara lokal maupun tidak. Saat ini, menurut dia, ada terlalu banyak tangan yang terlibat, tetapi minim koordinasi.
Pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi lintas sektor untuk memetakan industri yang bahan baku dan penolongnya bisa disubstitusi secara lokal maupun tidak.
Ia mencontohkan program lumbung pangan (food estate) yang salah satu tujuannya untuk mengurangi ketergantungan impor. Program itu diserahkan ke Kementerian Pertahanan, tetapi minim koordinasi lintas kementerian dan pelaku industri terkait bahan baku yang dibutuhkan.
”Tidak ada koordinasi tentang apa yang mau ditanam di sana, lalu apakah itu untuk konsumsi atau industri? Kalau mau untuk industri, seharusnya dibangun juga industri antara di sana agar efisien. Harus ada koordinasi, industri butuh apa. Jadi bukan nanem dulu, baru koordinasi,” ujar Adhi.