Target Substitusi Impor Dikejar Lewat Belanja Modal APBN
Pemerintah memperkirakan potensi penggunaan produk dalam negeri tahun ini mencapai Rp 607 triliun atau sekitar 31 persen dari total APBN 2021. Optimalisasi belanja jadi salah satu cara mengejar target substitusi impor.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengejar target substitusi impor dengan memperkuat struktur industri serta mengoptimalkan belanja modal dalam belanja negara. Potensi peningkatan penggunaan produk dalam negeri atau P3DN melalui belanja modal dan barang pemerintah diperkirakan mencapai sekitar 31 persen dari total APBN tahun 2021.
Potensi untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dinilai cukup besar. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 senilai Rp 1.954,5 triliun, pemerintah mengestimasi potensi P3DN mencapai Rp 607 triliun atau sekitar 31 persen dari total nilai APBN.
Dalam Rapat Koordinasi Tim Nasional P3DN di Bogor, Senin (18/10/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meyakini angka itu masih bisa ditingkatkan lagi mengingat pengeluaran modal (capital expenditure/capex) badan usaha milik negara yang besar.
”Apabila 20-30 persen capex BUMN itu dibelanjakan produk dalam negeri, kita sudah menginvestasikan miliaran dollar AS untuk menggerakkan ekonomi negara,” kata Luhut dalam keterangan resmi, Jumat (22/10/2021).
Adapun contoh BUMN yang saat ini mulai meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) adalah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang berkomitmen menyerap 45 persen TKDN pada tahun 2021 dan 60 persen pada tahun 2025.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, lewat kerja sama Kementerian Perindustrian dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), target substitusi impor melalui belanja modal negara seharusnya bisa lebih optimal. Kerja sama itu dilakukan untuk mewajibkan kementerian, lembaga pemerintah, dan BUMN untuk menyerap produk dalam negeri.
LKPP diminta menghapus produk impor dari aplikasi e-katalog belanja pemerintah kalau jenis produk itu sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri dan setidaknya memiliki TKDN 40 persen.
Menurut Agus, potensi P3DN yang tinggi lewat APBN wajib dioptimalkan. Hal ini juga menjadi arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar anggaran pemerintah digunakan sebesar-besarnya untuk belanja produk dalam negeri.
Apalagi, kini sudah ada kebijakan dan peraturan yang mendukung, antara lain Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri. Pasal 61 PP tersebut mengatur pengadaan barang/jasa wajib menggunakan produk dalam negeri dengan nilai TKDN minimal 40 persen. Pasal 107 mengatur sanksi bagi pejabat pengadaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
”Dengan semangat itu, tak tertutup kemungkinan kita bisa mencapai target substitusi impor 35 persen pada tahun 2022,” ujarnya.
Target
Target substitusi impor pada tahun 2020 adalah 35 persen dari potensi impor tahun 2019 yang mencapai Rp 434 triliun sebagai baseline atau senilai Rp 152,83 triliun. Target substitusi impor awalnya berasal dari empat sektor prioritas, yaitu industri agro/pertanian dengan potensi Rp 5,82 triliun, industri kimia farmasi dan tekstil Rp 97,33 triliun, industri logam, mesin, alat transportasi, dan elektronika Rp 47,22 triliun, serta industri aneka Rp 2,46 triliun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Dody Widodo menjelaskan, setiap sektor teknis telah diberi target substitusi impor berdasarkan kemampuan dan struktur industri tersebut. Artinya, bahan baku/penolong yang dibutuhkan industri terkait memang sudah ada di dalam negeri dan bisa dioptimalkan.
Indikator keberhasilan kebijakan substitusi impor dilihat melalui nilai substitusi impor yang berhasil dicapai industri terkait serta peningkatan utilisasi industri di sektor terkait. Untuk mencapai target penurunan impor tahun depan, pemerintah sedang menyiapkan upaya peningkatan utilisasi industri.
”Antara lain dengan memperkuat dan memperdalam struktur industri, meningkatkan investasi di sektor industri dengan sejumlah syarat, harmonisasi regulasi, optimalisasi fungsi badan karantina dan bea cukai di pintu masuk barang, dan sebagainya,” kata Dody.
Pemerintah juga sedang menyiapkan Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNaNK) yang terintegrasi untuk memuat data dan informasi komprehensif mengenai situasi struktur industri, dari sektor hulu, antara, sampai hilir. Dengan adanya neraca komoditas, kebutuhan impor akan lebih terpetakan, baik untuk kebutuhan bahan baku industri maupun untuk pemenuhan konsumsi masyarakat.
Neraca komoditas akan dijadikan dasar penerbitan persetujuan ekspor dan impor agar program substitusi impor lebih terukur dan realistis sesuai kondisi industri lokal. ”Tahun ini direncanakan sudah ada lima komoditas yang akan masuk dalam neraca komoditas sebagai pilot project, dimulai dari gula, garam, beras, ikan, dan daging,” katanya.