Setelah menaikkan harga BBM nonsubsidi beberapa waktu lalu, PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga elpiji nonsubsidi. Ini sebagai imbas naiknya harga komoditas energi global.
Oleh
ARIS PRASETYO, MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina di sektor hilir, kembali menaikkan harga jual elpiji nonsubsidi 12 kilogram dari semula Rp 162.000 per tabung menjadi Rp 182.000 per tabung. Kenaikan harga yang berlaku mulai Minggu (27/2/2022) tersebut sebagai respons terhadap melonjaknya harga elpiji dan minyak mentah dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Dalam siaran pers, Pejabat Sementara Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, harga kontrak gas (contract price/CP Aramco) saat ini 775 dollar AS per ton atau naik 21 persen dari harga rata-rata sepanjang 2021. Selain menyebabkan harga elpiji 12 kg naik, harga elpiji 5,5 kg dengan nama pasar Bright Gas juga naik dari Rp 76.000 per tabung menjadi Rp 85.250 per tabung.
”Kami telah mempertimbangkan kondisi dan kemampuan pasar elpiji nonsubsidi. Nilai harga (hasil penyesuaian) ini masih paling kompetitif dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN,” kata Irto, Senin (28/2/2022).
Untuk harga elpiji bersubsidi ukuran 3 kg, lanjut Irto, tidak berubah atau tidak naik. Harga elpiji 3 kg tetap mengacu kepada harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Pada Sabtu (12/2/2022), Pertamina telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi seiring melonjaknya harga minyak mentah yang tembus ke level 100 dollar AS per barel. Pertamax Turbo naik dari Rp 12.000 per liter menjadi Rp 13.500 per liter. Adapun Pertamina Dex naik dari Rp 11.050 per liter menjadi Rp 13.200 per liter. Sementara jenis Dexlite naik dari Rp 9.500 per liter menjadi Rp 12.150 per liter.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha M Rachbini, kenaikan harga jual BBM nonsubsidi dan diikuti elpiji 12 kg dan 5,5 kg untuk merespons kenaikan harga komoditas. Kenaikan tersebut tidak terhindarkan lantaran harga komoditas energi terus melonjak akhir-akhir ini.
Harga jual BBM dan elpiji nonsubsidi akan tetap mengikuti pergerakan pasar global karena bukan termasuk barang yang disubsidi negara.
Harga jual BBM dan elpiji nonsubsidi akan tetap mengikuti pergerakan pasar global karena bukan termasuk barang yang disubsidi negara. Harga jual tinggi yang tidak terhindarkan tetap akan berdampak terhadap inflasi. Tekanan ini bisa memengaruhi daya beli kelompok masyarakat tertentu di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlangsung.
”Pengeluaran pemerintah terhadap barang-barang subsidi di sektor energi juga bisa naik. Karena pengeluaran subsidi ini tetap diperlukan di tengah pemulihan ekonomi demi menjaga daya beli masyarakat, maka pemerintah harus melakukan efisiensi dan realokasi anggaran. Pos pengeluaran yang tidak mendesak sebaiknya ditunda,” ujar Eisha.
Awasi penyaluran
Terkait kenaikan harga komoditas energi di dalam negeri tersebut, menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, hal itu tidak terhindarkan. Menaikkan harga BBM dan elpiji nonsubsidi dilakukan Pertamina untuk menjaga stabilitas fiskal perseroan. Apalagi, dari total konsumsi elpiji di Indonesia, sebanyak 80 persen diperoleh dari impor dan 20 persen sisanya dari domestik.
Dalam konteks makroekonomi, lanjut Komaidi, pemerintah sebenarnya mencoba merespons dengan mendorong masyarakat beralih ke kompor listrik dan mengembangkan gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). DME berfungsi menggantikan elpiji, tetapi butuh waktu lama untuk mengimplementasikannya.
”Solusi jangka pendek adalah subsidi elpiji tetap diberikan. Hanya saja, isu utama subsidi elpiji adalah (soal validitas) data masyarakat yang berhak mendapat subsidi. Selama ini penyaluran subsidi elpiji tidak tepat sasaran karena diperdagangkan dan dinikmati oleh warga yang sebenarnya tidak masuk masuk kategori rumah tangga miskin,” ucap Komaidi.
Naiknya harga elpiji nonsubsidi ini, bagi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, harus dicermati pemerintah. Jangan sampai kenaikan harga itu menyebabkan konsumen elpiji nonsubsidi pindah ke elpiji bersubsidi. Selain kualitasnya sama, elpiji bersubsidi dijual bebas di pasaran.
Selain itu, lanjut Tulus, kenaikan harga berpotensi menimbulkan praktik pengoplosan gas, yaitu mencampur elpiji bersubsidi dengan yang nonsubsidi dan dijual dengan harga nonsubsidi. ”Saran kami agar situasi tersebut tidak terjadi adalah disparitas harga elpiji harus diperkecil. Selain itu, skema distribusi gas elpiji tiga kilogram juga harus dijadikan tertutup,” katanya.
Anggaran subsidi naik
Kenaikan harga minyak mentah dan elpiji di pasar global, menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi, berpotensi menaikkan beban anggaran subsidi BBM dan elpiji.
Setiap kenaikan harga minyak mentah 1 dollar AS per barel turut menaikkan anggaran subsidi elpiji sekitar Rp 4,7 triliun, subsidi minyak tanah Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM kepada Pertamina sebesar Rp 2,65 triliun.
”Kenaikan harga minyak setiap 1 dollar AS per barel juga menaikkan subsidi listrik Rp 295 miliar. Sebab, masih ada pembangkit listrik yang menggunakan solar,” ujar Agung.
Berdasarkan laman Bloomberg hingga Senin sore, harga minyak mentah jenis Brent berada di level 102 dollar AS per barel.