Satgas Pangan Polri Temukan Indikasi Pedagang Menahan Stok Minyak Goreng
Satgas Pangan Polri menyatakan, pasokan minyak goreng cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, sejumlah penyelewengan dan penahanan stok oleh pelaku usaha jadi penyebab kelangkaan komoditas tersebut.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Pangan Badan Reserse Kriminal Polri terus menelusuri dugaan penyelewengan distribusi yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Pelaku usaha diminta untuk tidak lagi menahan stok yang dimiliki untuk mengurangi kelangkaan.
Kepala Satuan Tugas Pangan Badan Reserse Kriminal Polri Inspektur Jenderal Helmy Santika, di Jakarta, Kamis (24/2/2022), mengatakan, stok minyak goreng yang ada saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun dari produsen se-Indonesia, produksi minyak goreng mencapai 620.000 hingga 630.000 ton per bulan. Sementara total kebutuhan warga setiap bulan adalah 420.000 ton.
Namun, di sejumlah daerah terjadi dugaan penyelewengan distribusi yang menyebabkan terjadinya kelangkaan. Salah satunya di Makassar, Sulawesi Selatan, polisi menemukan pengalihan distribusi 61,18 ton minyak goreng oleh sebuah perusahaan. Dari yang seharusnya untuk kebutuhan rumah tangga, menjadi untuk industri. ”Ini masih kami dalami karena modusnya adalah mengalihkan sebagian minyak goreng curah yang seharusnya untuk rumah tangga dan pasar tradisional ke industri. Kami masih dalami tujuannya apa dan profit yang didapatkan itu apa,” kata Helmy.
Sebelumnya, polisi mengungkap pemalsuan minyak goreng di Kudus, Jawa Tengah. Kasus itu berlanjut ke penyidikan, pelaku juga sudah ditangkap.
Ada pula dugaan penimbunan 1,1 juta kilogram minyak goreng di sebuah pabrik di Deli Serdang, Sumatera Utara. Namun, dari penelusuran disimpulkan bahwa hal itu bukan penimbunan. Sebab, jumlah stok yang disimpan tidak lebih dari total jumlah stok rata-rata untuk tiga bulan. Di sana tersimpan 92.000 karton minyak goreng, sedangkan kemampuan produksi per bulan adalah 94.000 karton.
Helmy menambahkan, definisi penimbunan merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Dalam Pasal 11 Perpres No 71/2015 itu dijelaskan bahwa ketika terjadi kelangkaan barang atau gejolak harga, barang kebutuhan pokok dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu. Jumlah tertentu yang dimaksud adalah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
”Stok yang kita temukan, kalau kita masukkan unsur-unsurnya ke Pasal 107 juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juncto Pasal 11 Perpres No 71/2015, maka stok yang ditemukan pada saat itu belum bisa dikatakan menyimpang dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan keuntungan,” katanya.
Indikasi menahan stok
Selain penyelewengan distribusi, lanjut Helmy, kelangkaan juga terjadi karena pedagang di pasar tradisional menahan untuk tidak menjual stok minyak goreng yang dimiliki. Mereka menghindari kerugian karena telah membeli minyak goreng curah dengan harga yang lebih mahal daripada harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Adapun HET minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng curah Rp 11.500 per liter.
Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong membeli minyak goreng di ritel modern. Padahal, stok yang ada di ritel modern terbatas sehingga habis dalam waktu singkat.
Helmy mengatakan, pedagang di pasar tidak perlu khawatir untuk menjual stok yang dimiliki. Sebab, pemerintah telah memiliki kebijakan rafaksi atau mengganti selisih harga beli dengan harga jual yang mengacu pada HET saat ini. ”(Kami harap), aturan teknis rafaksi ini segera disampaikan supaya kami bisa menyosialisasikan itu kepada para pelaku usaha,” katanya.
Selain terkait minyak goreng, Helmy memastikan stok kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, gula, daging sapi, ayam, dan telur, juga masih cukup jelang bulan Ramadhan. Hari ini, Satgas Pangan Bareskrim Polri juga menyelenggarakan rapat koordinasi (rakor) dengan regulator di bidang pangan. Rapat membahas tentang ketersediaan, distribusi, dan harga bahan pokok saat ini.
Menurut rencana, rakor akan kembali diselenggarakan pekan depan dengan melibatkan para produsen bahan pokok. Satgas Pangan akan menggali kondisi stok pangan secara lebih riil. Mulai dari aspek produksi, distribusi, dan tujuan distribusi.
Helmy memastikan stok kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, gula, daging sapi, ayam, dan telur, juga masih cukup jelang bulan Ramadhan.
”Kami akan coba hadirkan lebih lengkap. Jadi ini adalah langkah awal untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi gejolak harga, kelangkaan barang, apalagi hambatan distribusi bahan pokok jelang bulan puasa,” kata Helmy. Ia pun mengimbau masyarakat untuk tidak panik lalu membeli bahan pokok di luar batas kewajaran.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Pangeran Khairul Saleh mengaku prihatin atas kelangkaan minyak goreng yang telah mengganggu stabilitas ketahanan pangan nasional. Lonjakan harga di negara penghasil minyak goreng dari industri sawit patut dipertanyakan.
Meski demikian, Pangeran mengapresiasi kinerja Satgas Pangan Bareskrim Polri yang telah mengungkap dugaan penimbunan minyak goreng di sejumlah daerah. Ia meminta kasus-kasus itu diusut tuntas, tidak hanya berhenti saat menemukan penimbun. ”Lebih penting dari itu adalah menemukan mafia pangan, khususnya pemain minyak goreng besar yang sengaja mengeruk keuntungan dari perdagangan tidak wajar ini,” ujarnya.
Ia berharap Polri tidak berlama-lama membiarkan kelangkaan minyak ini terus terjadi. Komisi III akan mendukung setiap langkah tegas yang akan diambil kepada pelaku tanpa pandang bulu.