Pemanfaatan Teknologi Kelautan Meningkatkan Produktivitas
Pemanfaatan teknologi mutlak semakin diperlukan sektor maritim demi meningkatkan produktivitas. Ujung-ujungnya, produktivitas yang menghasilkan profit bagi bangsa Indonesia.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi mutlak diperlukan di sektor kemaritiman demi meningkatkan produktivitas. Produktivitas sangat menentukan dalam persaingan sektor kemaritiman yang ketat di tengah terbatasnya sumber daya.
Bambang Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi 2019-2021, dalam rapat kerja nasional Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo), di Jakarta, Kamis (24/2/2022), mengatakan, ”Smart maritime tentunya bukan untuk gagah-gagahan hanya untuk mengikuti tren, tetapi harus dibaca sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dan produktivitas di sektor ini. Produktivitas langsung menunjukkan kemampuan kita meningkatkan produksi dengan sumber daya terbatas.”
Produktivitas, menurut Bambang, ujung-ujungnya melahirkan surplus atau di level perusahaan disebut profit yang lebih besar. Di era kekinian, upaya meningkatkan produktivitas harus mengandalkan inovasi dan teknologi atau yang dikenal industri transformasi digital (industri 4.0).
Bambang mengajak sarjana kelautan untuk memikirkan dan mencari terobosan baru agar kontribusi ekonomi maritim terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dua kali lipat. Fokusnya terletak pada konektivitas, tidak sekadar berfungsi penyeberangan untuk pengiriman barang, tetapi juga mendapatkan sumber daya laut.
Fokus lainnya adalah mengupayakan industrialisasi perikanan meski sarjana perikanan tidak langsung bekerja di sektor kelautan. Kemudian, pendorong sektor maritim adalah pariwisata, seperti 10 destinasi wisata yang sering disebut ”Bali Baru”. Dari 10 destinasi itu, hanya ada tiga yang tidak memiliki laut, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, dan Gunung Bromo-Semeru.
”Laut bukan penghalang. Teknologi harus diarahkan untuk mengatasi segala potensi gangguan yang muncul. Bagaimanapun luas wilayah yang begitu besar sudah harus dijaga, tidak hanya bicara invasi militer, tetapi juga menjaga invasi atau pencurian sumber daya perikanan,” ucap Bambang.
Kontribusi minim
Menurut Bambang, kontribusi perikanan terhadap PDB tahun 2021 mencapai Rp 431 triliun. Secara nominal, jumlah tersebut kelihatannya besar. Namun, jika dilihat secara tingkat persentase, jumlah ini hanya 2,8 persen dari PDB yang berkisar Rp 15.000 triliun.
”Dengan wilayah laut yang begitu luas, kontribusinya kurang dari 3 persen. Artinya, banyak potensi untuk pertumbuhan. Ini perlu dilihat sebagai potensi yang berada di bawah utilisasi, masih banyak ruang untuk bertumbuh,” kata Bambang.
Di era kekinian, upaya meningkatkan produktivitas harus mengandalkan inovasi dan teknologi atau yang dikenal industri transformasi digital (industri 4.0).
Karena itulah, lanjut Bambang, bangsa ini perlu masuk pada gagasan smart maritime. Kemaritiman yang cerdas terjadi ketika teknologi informasi dan komunikasi bertemu di sektor ini. Untuk konektivitas antar-pulau, misalnya, information, communication, and technology (ICT) perlu dimanfaatkan untuk menciptakan smart connectivity.
Problem paling besar di pelabuhan Indonesia adalah masa tunggu ( dwelling time). Ujungnya adalah biaya logistik yang masih kerap dikeluhkan terlalu tinggi, berkisar 20-30 persen dari total PDB. Atau, dari sisi perusahaan, biaya logistik mencapai 20-30 persen dari pendapatan. Artinya, akibat biaya logistik, margin perusahaan harus dinaikkan. Akibatnya, Indonesia tidak bisa kompetitif dibandingkan dengan negara lain.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menambahkan, potensi laut yang selama ini masih tertidur harus segera dibangunkan menuju visi Indonesia Maju 2045. Peningkatan produktivitas sektor kelautan harus diarahkan untuk menghapus kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir.
”Untuk itu, penciptaan sumber daya manusia yang unggul dan penciptaan lapangan kerja diperlukan sehingga mampu meningkatkan kemakmuran masyarakat. Semua itu hanya bisa terwujud jika ada kolaborasi kemitraan baik pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, maupun kerja sama antar-negara,” ujar Teten.
Teten mencermati, dengan perubahan yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, baik karena pandemi Covid-19 maupun ancaman yang mungkin lebih besar, seperti perubahan iklim, diskursus ekonomi biru perlu menjadi isu strategis yang dibahas dan diturunkan dalam bentuk program dan kegiatan. Semua pihak harus menemukan cara terbaik mewujudkan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Saat ini, lanjut Teten, pihaknya sedang mengedepankan korporatisasi nelayan berbasis koperasi. Untuk itu, perlu diperkaya dengan keragaman model bisnis dan pemanfaatan teknologi lebih maju kepada koperasi perikanan dan kelautan di Indonesia.