Kementerian Pertanian menggandeng penjamin serapan guna memastikan harga kedelai layak di tingkat petani. Harga yang layak dan terjamin di tingkat petani menjadi kunci mendongkrak produksi kedelai di dalam negeri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendongkrak produksi kedelai di dalam negeri dinilai bakal sia-sia tanpa jaminan penyerapan dan harga jual yang layak di tingkat petani. Selama ini, petani beralih komoditas karena kedelai tidak menguntungkan. Dampaknya, produksi kedelai lokal terus turun, sementara ketergantungan pada kedelai impor makin besar.
Produksi kedelai nasional pernah mencapai 1,87 juta ton pada tahun 1992. Sejak itu, produksi terus turun dan tak sampai 0,3 juta ton tahun lalu.
Guru Besar Ekofisiologi Tanaman IPB University Munif Ghulamahdi, saat dihubungi, Selasa (22/2/2022) berpendapat, dari segi produktivitas, kedelai sangat mungkin dikembangkan di Indonesia. Para peneliti pun sudah membuktikannya. Namun, masalah utama ada pada luasan areal tanam yang terus melorot karena petani tidak tertarik.
Harga kedelai selama ini kerap paling rendah dibandingkan komoditas lain, seperti padi, jagung, dan kacang hijau. ”Pemerintah seharusnya mengamankan dari sisi harga. Petani yang sudah menghasilkan (kedelai) dan baik, tanpa didukung keamanan harganya, ya, sulit. Pada 2016-2017, harga kedelai pernah jatuh hingga Rp 5.500 per kilogram (kg),” kata Munif.
Saat ini, harga sedang bagus, yakni Rp 10.000 per kg. Namun, saat harga relatif tinggi dan kebutuhan meningkat, stok kedelai lokal justru tidak ada. Ia berharap upaya pemerintah mendongkrak produksi kedelai diiringi pengamanan harga jual di tingkat petani.
Menurut Munif, saat ini kedelai lebih banyak ditanam dengan sistem rotasi di lahan sawah. Dengan sistem itu, petani memanfaatkan efek residu pupuk. Namun, pengembangan kedelai tidak mungkin jika terus bertumpu di Pulau Jawa. Harus ada alternatif di luar Jawa dan selama ini banyak potensi yang terbukti baik, seperti Aceh, Riau, Lampung, Jambi, dan Sulawesi Selatan. Nusa Tenggara Barat pun cocok dengan iklimnya dan selama ini menjadi sentra.
Menurut Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad, kemampuan produksi kedelai di Indonesia mencapai 1,5 juta ton. Namun, upaya mendongkrak produksi perlu ditopang komitmen pemerintah untuk membantu petani, antara lain dalam hal penyediaan lahan dan jaminan harga.
Menurut dia, insentif harga menjadi salah satu instrumen penting. Pasalnya, sebagian besar produsen tahu dan tempe menggunakan kedelai impor yang harganya lebih murah dibandingkan kedelai lokal. Selama ini 88-90 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dengan kedelai impor.
Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi kedelai 1 juta ton pada tahun 2022 meski produksi tahun 2021 hanya 215.000 ton. Kementan juga menggandeng off-taker atau penjamin serapan agar ada kepastian penjualan bagi petani. Dengan demikian, para petani diharapkan melirik kedelai kembali setelah ”berpaling” ke komoditas lain.
Direktur Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan Yuris Tiyanto mengatakan, tahun ini Kementan mengembangkan 52.000 hektar kedelai dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara program dengan dana non-APBN, yakni melalui program kredit usaha rakyat (KUR), menyasar 600.000 hektar dan tersebar di 14 provinsi. ”Dari pengembangan itu, produksi diharapkan mencapai 1,04 juta ton, seperti yang diinginkan pengusaha tahu tempe karena ada kebutuhan kedelai lokal 1 juta ton,” kata Yuris.
Pada tahun 2021, pengembangan kedelai dengan APBN menyasar 144.000 hektar. Kendati luasan lahan pengembangan dengan APBN turun, pengembangan kedelai pada tahun 2022 juga menggunakan skema program kredit usaha rakyat (KUR) bagi petani kedelai. Sebelumnya, kata Yuris, program KUR untuk kedelai tidak ada. Maka, luas pengembangan kedelai tahun 2022 lebih dari 650.000 hektar.
Guna mencapai target itu, Kementan menggandeng pihak penyerap atau off-taker sebagai avalis (penjamin) untuk KUR petani. Menurut Yuris, sejauh ini ada tiga perusahaan yang mendaftarkan diri sebagai off- taker dan semuanya di Jawa. Mereka adalah CV Java Agro Prima, DI Yogyakarta; Forum Peduli Bangsa di Bogor, Jawa Barat; dan UD Sedulur Tani, Jombang, Jawa Timur.
Nantinya, para petani akan mendapat sarana produksi pertanian dan hasil panennya dibeli para off-taker. Mereka menyalurkannya ke pabrik tahu tempe, perusahaan multinasional, hingga tempat produksi tempe ekspor. Menurut dia, Kementan terbuka jika ada perusahaan yang hendak mendaftar jadi off-taker kedelai.
Akan tetapi, dia mengakui pola tersebut memiliki kekurangan. ”Salah satunya, hingga hari ini KUR belum cair. Masalahnya, masa tanam paling banyak itu April-Juli. Jadi, kalau sudah lewat (baru cair), tidak ada artinya. Tapi tim saya hari ini sudah ke lapangan. Harapannya, pekan depan sudah ada verifikasi dari bank,” ujarnya.
Tahun 2021, produksi kedelai nasional mencapai 215.000 ton. Adapun dalam Rencana Strategis Ditjen Tanaman Pangan Kementan 2020-2024 (Revisi I) tertera target produksi kedelai 0,3 juta ton pada 2022, 0,32 juta ton pada 2023, dan 0,33 juta ton pada 2024. Namun, Yuris menekankan, tahun ini ditargetkan 1 juta ton dengan sejumlah upaya agar petani kembali bersemangat menanam kedelai.
Upaya perluasan produksi juga diharapkan meningkatkan produktivitas kedelai. ”Saat ini, produktivitas masih 1,5-1,6 ton per hektar, sedangkan target kami 1,7-1,8 ton per hektar. Apabila harga bagus, petani akan bersemangat menanam kedelai. Disertai pendampingan yang baik, produktivitas nantinya akan meningkat,” ujarnya.
Varietas yang didorong untuk ditanam adalah yang memiliki biji relatif besar, seperti varietas Grobogan, karena diharapkan dapat menyubstitusi kedelai impor yang cenderung berbiji besar dan putih.