Tata Kelola Investasi JHT Disoroti, Kesejahteraan Pekerja Jangan Jadi Taruhan
Tata kelola dana menjadi sorotan di tengah polemik terkait dengan perubahan kebijakan program Jaminan Hari Tua. Sejumlah pihak berharap kesejahteraan buruh tidak jadi taruhan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah mengembalikan program Jaminan Hari Tua atau JHT ke fungsi awal dinilai akan mempertaruhkan kesejahteraan buruh atau pekerja. Selama program Jaminan Kehilangan Pekerjaan belum teruji efektif, manfaat JHT untuk pekerja yang kehilangan pekerjaan perlu dipertahankan.
Kinerja dan tata kelola investasi dana program jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) menjadi sorotan di tengah polemik penerbitan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua pada awal Februari 2022 ini.
Mantan Dewan Pengawas BP Jamsostek Periode 2016-2021, Poempida Hidayatullah, menduga permenaker tersebut dikeluarkan untuk membenahi tata kelola dana investasi program JHT. Ia mengatakan, sejak dirinya masih menjabat Dewan Pengawas, ada persoalan terkait solvabilitas JHT atau kemampuan BP Jamsostek memenuhi semua kewajiban jangka panjangnya.
Kebijakan mengembalikan program JHT ke fungsi awal dinilai akan membebani pekerja yang saat ini justru sedang terpuruk karena terdampak pandemi Covid-19. Menurut dia, jika ada persoalan pada tata kelola dana investasi JHT, seharusnya hal itu dibenahi tanpa mengurangi manfaat bagi pekerja.
”Bisa terjadi gagal bayar. Ada dana ratusan triliun (rupiah) yang tertahan dalam portofolio yang buruk dan hanya menguntungkan segelintir orang. Masalahnya, kalau ada persoalan tata kelola investasi, seharusnya ini yang diselesaikan. Kenapa malah membebani buruh dan pekerja?” ujar Poempida dalam diskusi daring ”Menimbang Untung-Rugi Permenaker JHT” di Jakarta, Selasa (15/2/2022).
Data BP Jamsostek menunjukkan, per Desember 2021, dana investasi yang dikelola BP Jamsostek tercatat Rp 553,5 triliun. Mayoritas atau 63 persen dana tersebut ditempatkan di surat utang atau obligasi, 19 persen di deposito, 11 persen di saham, 6,5 persen di reksadana, dan 0,5 persen sisanya merupakan investasi langsung.
Adapun dari tahun ke tahun, imbal hasil (return) dana kelola untuk program JHT terus menurun. Pada 2017, imbal hasil JHT mencapai 7,28 persen. Pada 2018, imbal hasil dana kelola menurun menjadi 6,26 persen, kemudian 6,08 persen pada 2019. Pada 2020, karena dampak Covid-19, imbal hasil JHT kembali menurun ke angka 5,59 persen.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang menekan buruh saat ini, pencairan dana tabungan JHT merupakan harapan bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.
Karena itu, ia meminta pemerintah mencabut Permenaker No 2/2022 dan mengembalikan manfaat JHT kepada buruh yang selama ini ikut membayar iuran. Menurut dia, dana JHT adalah uang pekerja sehingga seharusnya pekerja diberi kebebasan untuk memilih opsi menabung atau mencairkan dana JHT-nya.
”Silakan pemerintah membuat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), itu memang kewajiban negara. Tetapi, uang buruh di JHT jangan ditahan. Kalau memang yang bersangkutan sudah tidak bekerja dan tidak lagi membayar iuran JHT, kenapa uangnya harus ditahan-tahan?” katanya.
Kalau memang yang bersangkutan sudah tidak bekerja dan tidak lagi membayar iuran JHT, kenapa uangnya harus ditahan-tahan?
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, pencairan JHT dengan menggunakan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang lama sudah tepat di tengah krisis sosial-ekonomi saat ini. Seperti diketahui, peraturan itu membolehkan pencairan tabungan JHT satu bulan seusai pekerja mengundurkan diri (resign) atau setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia mengatakan, penundaan pencairan dana JHT sampai usia 56 tahun berpotensi menjadikan pekerja beban bagi negara dan masyarakat karena tidak memiliki penghasilan dan bantalan sosial yang cukup untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga ketika kehilangan pekerjaan.
”Dana milik pekerja seharusnya kembali kepada pekerja. Beda cerita bila iuran JHT itu dibayarkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Bukan alasan
Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan, alasan di balik keluarnya Permenaker No 2/2022 adalah untuk mengembalikan fungsi program JHT pada khitahnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), bukan karena ketahanan dana BP Jamsostek sedang bermasalah.
”Pemerintah ingin mendistribusikan manfaat supaya jaminan sosial itu bisa dipergunakan untuk masa kini dan masa depan agar tidak hanya tertumpuk di masa kini,” katanya.
Menurut dia, pemerintah sengaja menunggu sampai program JKP diberlakukan pada 22 Februari 2022 ini agar ada program alternatif sebagai pengganti JHT. ”Kami tidak mungkin menarik JHT kalau tidak ada program substitusinya,” ujarnya.
Ia mengatakan, sampai Desember 2021, total dana JHT mencapai Rp 375,2 triliun. Selama tiga tahun terakhir, angka klaim JHT ada di kisaran 65,4 persen. Menurut Dita, itu tandanya pembayaran klaim pekerja dalam satu tahun masih cukup ditanggung dengan pendapatan iuran tahun berjalan.
”Jadi, tuduhan bahwa permenaker dikeluarkan untuk mem-back up likuiditas di BP Jamsostek karena ada rush pekerja menarik JHT itu tidak sepenuhnya betul. Secara anggaran, masih cukup dan masih sangat memungkinkan untuk meng-cover klaim selama ini,” katanya.
Menurut dia, meskipun imbal hasil dana kelola investasi JHT mengalami tren menurun dari tahun ke tahun, persentasenya selalu masih di atas persentase bunga deposito. ”Jadi, masih relatif menguntungkan. Kesulitan bayar klaim itu tidak sepenuhnya benar,” ujar Dita.
Dalam berkali-kali kesempatan rapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, seperti pada 28 September 2021 dan pada 15 November 2021, Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo telah menyampaikan bahwa JHT perlu dikembalikan ke fungsi awal agar BP Jamsostek dapat menempatkan dana JHT ke instrumen yang lebih baik.
”Memang, saat ini JHT hanya jangka pendek karena bisa diambil setiap saat. Sementara kalau mau return yang tinggi, harus ditempatkan di investasi jangka panjang. Kalau JHT bisa dikembalikan ke fungsi awal, kami bisa tempatkan dana di instrumen jangka panjang yang return-nya lebih tinggi,” ujar Anggoro dalam rapat 15 November 2021.
Sebelumnya, pada rapat dengan Komisi IX pada 28 September 2021, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, JHT yang terus-menerus dapat diklaim sebelum masa pensiun bisa menambah beban kebutuhan dana yang mesti dibayarkan BP Jamsostek.
Untuk itu, pemerintah berencana merevisi Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran JHT. ”Kita kembalikan JHT pada filosofi awalnya sebagai tabungan di masa tua,” kata Putri.