Optimalkan Transformasi BUMN untuk Perbaiki Kondisi ”Pareto”
BUMN diharapkan tetap berupaya meningkatkan profitabilitas dan mengatasi kondisi ’pareto’ yang selama ini terjadi. ”Holding” BUMN yang telah dibentuk diuji untuk menjawab tantangan tersebut.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja perusahaan-perusahaan milik negara masih menghadapi tantangan untuk meningkatkan profitabilitas dan mengurai kondisi pareto. Transformasi badan usaha milik negara, termasuk pembentukan perusahaan induk, diharapkan mampu menjawab kedua tantangan itu.
Associate Partner BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan, secara umum, penyertaan modal negara (PMN) bagi badan usaha milik negara (BUMN) tumbuh 46 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Pada 2017, PMN yang diberikan ke BUMN mencapai Rp 9,57 triliun dan terus meningkat pada tahun 2020 dan 2021 yang masing-masing sebesar Rp 56,3 triliun dan Rp 43,2 triliun.
“Peningkatan PMN itu didorong oleh kebutuhan proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi dari imbas pandemi Covid-19, dan penguatan keuangan perusahaan yang menjalankan mandat pemerintah,“ ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Toto juga menuturkan, kontribusi BUMN terhadap negara, baik berupa pajak maupun dividen, juga meningkat. Dalam lima tahun terakhir, 2016-2020, proporsi pajak yang dibayarkan BUMN terhadap pendapatan negara tumbuh hingga lebih dari 14 persen, sedangkan dividen relatif stagnan di kisaran 2,3 persen hingga 2,6 persen.
Secara umum, aset dan ekuitas BUMN juga meningkat selama lima tahun terkahir. Namun, rasio laba bersih terhadap produk domestik bruto (PDB) relatif stagnan di kisaran 0,2 persen hingga 1 persen.
”Dalam kondisi normal, PMN mestinya lebih kecil daripada dividen. Namun, saat ini kondisi sedang tidak normal sehingga dividen jauh lebih sedikit ketimbang PMN. Pandemi Covid-19 telah memukul sejumlah sektor usaha, termasuk BUMN,” katanya.
Aset dan ekuitas BUMN juga meningkat selama lima tahun terkahir. Namun, rasio laba bersih terhadap PDB relatif stagnan di kisaran 0,2 persen hingga 1 persen.
Di tengah kondisi itu, lanjut Toto, BUMN diharapkan tetap berupaya meningkatkan profitabilitas dan mengatasi kondisi pareto yang selama ini terjadi. Kondisi pareto ini terjadi karena sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang sekitar 20 persen dari total perusahaan milik negera.
Hal itu mengindikasikan banyak BUMN yang belum beroperasi secara optimal. Oleh karena itu, kondisi pareto ini perlu terus diatasi dengan lebih mengoptimalkan transformasi BUMN. Pemerintah sudah melakukan hal itu, salah satunya dengan mengurangi jumlah BUMN dan membentuk perusahaan induk (holding) BUMN.
”Ke depan, keberhasilan upaya itu perlu dilihat tidak hanya berdasarkan nilai aset, tetapi juga profitablitas dan dividen holding tersebut, serta sejauh mana bisa mengatasi kondisi pareto. Jangan sampai perusahaan-perusahaan itu sudah melebur sebagai holding, tetapi tetap berdiri sendiri dan terjadi benturan-benturan kepentingan,” katanya.
Jangan sampai perusahaan-perusahaan itu sudah melebur sebagai holding, tetapi tetap berdiri sendiri dan terjadi benturan-benturan kepentingan.
Sepanjang 2021, Kementerian BUMN juga telah merintis dan membentuk holding perusahaan-perusahaan milik negara yang memiliki lini bisnis yang bisa saling menopang satu sama lain. Holding tersebut bergerak di berbagai sektor, seperti pariwisata, keuangan syariah, logistik, ultra mikro, pangan, asuransi dan penjaminan, serta komoditas.
Perusahaan-perusahaan induk itu antara lain PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), PT Bank Syariah Indonesia Tbk, PTPN Group, Indonesia Financial Group (IFG), Holding BUMN Pangan, Holding Ultra Mikro, dan Holding Pelindo. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) juga telah membentuk enam sub-holding, yaitu sub-holding upstream (eksplorasi dan ekstraksi), pemurnian dan petrokimia, komersial dan perdagangan, gas, listrik dan energi baru terbarukan, serta logistik kelautan terintegrasi.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pakar Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mas Achmad Daniri berpendapat, BUMN perlu terus menerapkan prinsip tata kelola, risiko, dan kepatuhan (governance, risk, and compliance/GRC) terintegrasi. GRC terintegrasi ini tidak hanya menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), tetapi juga pengendalian risiko bisnis dan tidak melanggar norma atau nilai hukum yang berlaku.
”Poin penting dari GRC terintegrasi ini ialah pencapaian bisnis berkelanjutan secara bersih, bebas suap, dan korupsi. Dalam hal ini, budaya transparasi dengan dukungan sistem teknologi informasi juga perlu dibangun,” ujar Daniri.
Daniri menambahkan, GRC terintegrasi ini akan menjadi tren ke depan pengembangan korporasi. Masalahnya, biasanya terletak pada eksekusi atau implementasinya, seperti memastikan kualitas pencapaian, serta menghindari konflik kepentingan dan potensi fraud (kecurangan).