Sebanyak Rp 47,29 Triliun Anggaran Kementerian dan Lembaga untuk Penanganan Covid-19
Pemerintah telah mengatur pengalokasian 5 persen anggaran belanja kementerian dan lembaga sebagai dana cadangan penanggulangan pandemi Covid-19 tahun 2022.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyesuaian anggaran kementerian dan lembaga secara khusus untuk Covid-19 diyakini pemerintah dapat efektif untuk penanganan pandemi sekaligus mengurangi kebutuhan penarikan utang pada tahun 2022. Mekanisme ini terbentuk sebagai hasil evaluasi dari realokasi anggaran yang tidak mangkus tahun lalu.
Pemerintah telah mengatur pengalokasian 5 persen anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) sebagai dana cadangan penanggulangan pandemi Covid-19 tahun 2022. Pengalokasian ini disebut penyesuaian otomatis atau automatic adjustment.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2022 menetapkan pagu belanja K/L senilai Rp 945,8 triliun. Dengan mekanisme automatic adjustment, terdapat dana senilai Rp 47,29 triliun dari belanja K/L yang akan digunakan untuk cadangan penanganan Covid-19.
Melalui automatic adjustment pada 2022, kementerian dan lembaga dapat langsung mengalokasikannya apabila dibutuhkan tambahan anggaran penanganan pandemi. Mekanisme ini penting mengingat ada peningkatan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir. (Febrio Kacaribu)
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, tujuan kebijakan penganggaran tersebut guna merespons secara cepat dampak pandemi, tanpa mengganggu program yang ditetapkan K/L pada tahun ini.
Pengalokasian tersebut, lanjut Febrio, merupakan perbaikan dari mekanisme refocusing atau realokasi anggaran belanja K/L pada 2020-2021. Realokasi anggaran dinilai tidak efektif karena K/L membutuhkan waktu untuk memangkas anggaran guna dialokasikan pada program penanganan pandemi.
”Melalui automatic adjustment pada 2022, kementerian dan lembaga dapat langsung mengalokasikannya apabila dibutuhkan tambahan anggaran penanganan pandemi. Mekanisme ini penting mengingat ada peningkatan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir,” ujar Febrio secara virtual, Kamis (10/2/2021).
Tambahan alokasi ini sekaligus akan menopang kinerja APBN 2022 untuk penanganan pandemi Covid-19. Anggaran kesehatan dalam APBN 2022 telah ditetapkan sebesar Rp 255,4 triliun yang selain ditujukan untuk lanjutan penanganan Covid-19 juga program kesehatan lain, seperti penanggulangan tengkes (stunting) dan reformasi sistem kesehatan nasional.
Sejalan dengan berbagai mekanisme dalam menopang kinerja APBN, Febrio optimistis tren penarikan utang tahun ini akan menurun. Penurunan ini juga didukung oleh pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengakomodasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan program Pengungkapan Sukarela.
”Upaya reformasi perpajakan juga akan turut meningkatkan penerimaan negara sehingga dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan (utang),” ujarnya.
Tren penurunan penarikan utang telah terjadi dari tahun lalu. Tercatat pada 2021, pembiayaan utang lebih rendah Rp 310 triliun, yakni Rp 867,4 triliun dari target Rp 1.177,4 triliun.
Risiko eksternal
Febrio menjelaskan, selain harus mengantisipasi risiko penyebaran Covid-19 varian Omicron, APBN juga perlu mengantisipasi berbagai risiko eksternal, seperti tekanan inflasi tinggi, percepatan tapering off di Amerika Serikat, serta potensi dampak isu geopolitik yang tengah terjadi.
”Dalam hal ini pemerintah bersama-sama dengan otoritas lain yang tergabung dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) terus bersinergi menyiapkan bauran kebijakan antisipatif dalam menghadapi risiko-risiko global tersebut. Selain itu, pemerintah juga akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan pemerintah daerah dalam menjaga stabilitas harga pangan di seluruh kawasan nasional,” kata Febrio.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto mengingatkan bahwa APBN 2022 tetap perlu fleksibel dalam menghadapi risiko perkembangan Covid-19 varian Omicron. Di luar itu, stabilitas sistem keuangan nasional juga perlu mengantisipasi risiko tapering.
”Kemungkinan kalau katakanlah dalam tiga bulan ke depan ada lonjakan kasus, berarti probabilitas untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen sejak triwulan pertama tahun 2022 saja sudah agak sulit,” ujarnya.
Terkait risiko tapering, seiring dengan inflasi AS yang sudah melebihi target, bank sentral AS, The Fed, akan mengurangi pembelian obligasi dari pemerintah dan berencana menaikkan suku bunga.
”Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi bagi setiap risiko tersebut dengan amunisi kebijakan ataupun anggaran jika diperlukan,” ujarnya.