Tingginya tingkat beban pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah berisiko menghambat misi konsolidasi fiskal yang ditargetkan terwujud pada 2023.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto pada 2021 lalu menjadi sinyal yang harus diwaspadai pemerintah. Apabila utang tidak dikelola secara lebih berhati-hati, langkah menuju konsolidasi fiskal akan semakin curam.
Kementerian Keuangan mencatat, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun lalu mencapai 41 persen. Adapun belanja bunga utang pada 2021 tercatat Rp 366 triliun.
Sementara itu, sesuai dengan rencana dalam APBN 2022, pada tahun ini pemerintah memproyeksikan tingkat rasio utang terhadap PDB mencapai 43,1 persen, dengan rencana penarikan utang mencapai Rp 973,6 triliun.
Adapun berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022, total pembayaran bunga utang pada tahun ini tercatat Rp 405,8 triliun, dan belanja pemerintah pusat di angka Rp 1.938,3 triliun.
Dalam rangka meminimalisasi tingkat utang dan belanja bunga utang, pemerintah berupaya untuk terus menekan pembiayaan utang dalam APBN 2022.
Dihubungi pada Jumat (4/2/2022), Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengataka,n langkah pembiayaan nonutang akan menjadi upaya mitigasi dari tingginya pembiayaan utang.
”Utamanya (instrumen) SAL (saldo anggaran lebih) akan banyak dimanfaatkan untuk mengurangi target pembiayaan utang sebagaimana yang dilakukan pada 2021,” kata Luky.
Konsolidasi fiskal
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan tingginya tingkat beban pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah berisiko menghambat misi konsolidasi fiskal yang ditargetkan terwujud pada 2023.
Ia menambahkan, pembayaran bunga utang setiap tahunny merupakan konsekuensi dari penarikan utang yang dipergunakan untuk pembiayaan APBN pada tahun-tahun sebelumnya.
Kendati masih di bawah batas maksimal yang tertuang di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60 persen terhadap PDB, tren peningkatan rasio utang perlu diwaspadai.
”Pasalnya, selama ini rata-rata tingkat rasio utang terhadap PDB hanya di kisaran 30 persen, sedangkan sejak 2020 angka tingkat utang melesat hingga di kisaran 40 persen,” ujarnya.
Menurut Bhima, risiko peningkatan anggaran untuk pembayaran bunga utang semakin besar mengingat dunia tengah menghadapi dampak dari rencana kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral negara ekonomi utama.
”Tren inflasi, volatilitas nilai tukar rupiah, dan kenaikan suku bunga akan membuat beban pembayaran bunga utang pemerintah meningkat pada 2022,” kata Bhima.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tingkat utang Indonesia masih cukup aman dan relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Ia memaparkan, kenaikan utang Indonesia dalam rentang 2020-2021 mencapai 10,8 persen, lebih rendah dari kenaikan utang China (11,8 persen), Malaysia (13,6 persen), Thailand (17 persen), dan Filipina (22 persen).
”Ini adalah suatu cara untuk melihat apakah policy design yang kita lakukan bekerja cukup baik dan efektif untuk menangani Covid-19 dan memulihkan perekonomian,” kata Sri Mulyani.