Tantangan Manajemen Utang
Berbekal aneka langkah strategis, utang pemerintah dapat dikelola dengan lebih prudent, profesional, tranparan, dan akuntabel. Manajemen utang yang prima dapat menekan potensi risiko keuangan negara kini dan masa datang.
Upaya menaklukkan dampak Covid -19 membutuhkan biaya amat tinggi yang mendorong pemerintah untuk menambah utang.
Utang itu bertujuan untuk menjaga kesinambungan fiskal (Muhamad Chatib Basri, Kompas 2 September 2021). Utang pemerintah mencapai Rp 6.711,52 triliun per September 2021, naik dari Rp 6.625,43 triliun per Agustus 2021. Bagaimana meningkatkan manajemen utang?
Mengapa harus berutang? Utang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan fiskal berupa APBN. Hal ini pun sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi nasional. Artinya, utang muncul sebagai akibat logis dari postur APBN yang mengalami defisit alias pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara.
Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang bertujuan untuk menjaga momentum dan menghindari opportunity loss. Adanya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda misalnya penyediaan kesehatan dan ketahanan pangan. Penundaan pembiayaan justru akan mengakibatkan biaya atau kerugian yang lebih besar di masa mendatang.
Kesempatan pembiayaan pembangunan saat ini dioptimalkan untuk menutup gap penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. IPM merupakan indikator komposit untuk mengukur capaian pembangunan kualitas hidup manusia. Peningkatan IPM dapat dipenuhi antara lain melalui peningkatan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 November 2021 menunjukkan IPM Indonesia pada 2021 mencapai 72,29, naik dari 71,94 pada 2020. Angka IPM itu berada di level tinggi (70-80) dan tumbuh 0,35 poin (0,49 persen) dibandingkan 2020.
Utang juga bertujuan untuk memberikan warisan (legacy) aset yang baik kepada generasi selanjutnya.
Utang juga bertujuan untuk memberikan warisan (legacy) aset yang baik kepada generasi selanjutnya. Warisan yang baik muncul ketika utang digunakan untuk membiayai hal-hal yang produktif dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Misalnya, belanja infrastruktur dan pendidikan.
Selain itu, utang bertujuan untuk menjaga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi serta mengembangkan pasar keuangan. Instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar keuangan digunakan sebagai acuan bagi industri keuangan.
Utang Indonesia bukan hanya utang luar negeri, melainkan juga meliputi pinjaman dalam negeri. Utang dapat berupa obligasi pemerintah atau Surat Utang Negara (SUN). SUN merupakan surat berharga berupa surat pengakuan utang, baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas) yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara.
SUN bisa berupa kupon atau bunga tetap (fixed rate/FR) yang diterbitkan untuk mengurangi risiko fluktuasi suku bunga. Namun, SUN juga bisa berupa kupon tidak tetap (variable rate/VR) yang ditentukan berdasarkan suatu acuan tertentu, seperti tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Baca juga : Rem Laju Utang, Pemerintah Tempuh Sejumlah Strategi
Pun SUN bisa berupa Surat Perbendaharaan Negara (SBN) yang berjangka waktu hingga 12 bulan dengan pembayaran bunga dilakukan secara diskonto (discounted paper). Utang itu disebut Treasury Bills (T-Bills).
Ada lagi. SUN dapat berupa Obligasi Negara Ritel (ORI) yang dijual kepada investor individu warga negara Indonesia melalui agen penjual di pasar perdana dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder (tradable). Ada pula Saving Bond Ritel (SBR) yang merupakan obligasi negara. Instrumen itu juga dijual kepada investor individu dan tetapi tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder (non-tradable).
Bahkan pemerintah juga telah menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau disebut Sukuk Negara yang diterbitkan berdasarkan pada prinsip syariah, baik dalam rupiah maupun valas. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan defisit APBN, selain menerbitkan SUN di pasar domestik, pemerintah juga menerbitkan SUN dalam valas di pasar perdana internasional.
Utang pemerintah yang mencapai Rp 6.711,52 triliun itu mendorong rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mendaki dari 40,85 persen menjadi 41,38 persen. Utang itu meliputi SBN Rp 5.887,67 triliun (87,72 persen) yang mencakup SUN dan SBSN.
Lalu pinjaman Rp 823,85 triliun (12,28 persen) yang meliputi pinjaman dalam negeri Rp 12,52 triliun (1,52 persen) dan pinjaman luar negeri Rp 811,33 triliun (98,48 persen). Pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral Rp 306,18 triliun (37,74 persen), pinjaman multilateral Rp 463,67 triliun (57,15 persen), dan bank komersial Rp 41,48 triliun (5,11 persen) (Kontan, 4 November 2021).
Untuk mendukung pemerintah dalam membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Bank Indonesia (BI) telah menyepakati skema berbagi beban (burden sharing) pembayaran bunga SBN. Artinya, ketika pemerintah menerbitkan SUN, BI akan membeli secara langsung dan menanggung beban bunga sebesar suku bunga acuan.
Aneka langkah strategis
Lantas, apa saja langkah strategis untuk meningkatkan manajemen utang (debt management)?
Pertama, pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
UU itu sebagai payung hukum dalam menetapkan defisit anggaran yang dapat melewati 3 persen dari PDB paling lama hingga 2022. Defisit akan kembali paling tinggi 3 persen pada 2023.
Namun, pemerintah wajib waspada terhadap potensi kenaikan rasio utang itu mengingat pandemi belum akan segera usai.
Kedua, karena itu, pemerintah harus meningkatkan manajemen utang. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), manajemen utang itu bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan pembiayaan pemerintah dan kewajiban pembayarannya dipenuhi dengan biaya serendah mungkin dalam jangka menengah-panjang, konsisten dengan tingkat risiko.
Sejauh mana rasio utang terhadap PDB negara maju? China mencapai 66,80 persen, Jerman 69,80 persen, Inggris 94,90 persen, Perancis 115,70 persen, Italia 115,80 persen, Kanada 117,80 persen, AS 128,10 persen, dan Jepang 266,20 persen.
Rasio utang Indonesia mencapai 41,38 persen per September 2021, naik dari 38,50 persen per Desember 2020 dan 30,50 persen per Desember 2019. Bandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Vietnam 46,70 persen, Thailand 50,50 persen, Filipina 53,50 persen, Malaysia 60,70 persen, dan Singapura 131 persen.
Rasio utang Indonesia paling rendah dan di bawah ambang batas 60 persen sesuai dengan Kesepakatan Maastricht di Belanda pada 1992. Indonesia aman! Namun, pemerintah wajib waspada terhadap potensi kenaikan rasio utang itu mengingat pandemi belum akan segera usai. Moody’s telah memperingatkan rasio utang Indonesia berpotensi makin tinggi melewati 45 persen pada 2023.
Baca juga : Defisit Anggaran Berpotensi di Bawah Target
Ketiga, publik hendaknya dapat mengakses informasi tentang utang pemerintah yang telah lalu, kini, dan proyeksi aktivitas anggaran. Hal itu bertujuan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, BI pun wajib meningkatkan kewaspadaan terhadap rencana pengurangan stimulus moneter (tapering off) yang akan dilakukan bank sentral AS, The Fed. Hal itu bisa berupa pembelian surat berharga. Namun, pemerintah AS tetap mengucurkan dollar AS meski dalam porsi lebih kecil seperti pada 2013.
Mengapa? Karena ekonomi AS sudah tumbuh 4,90 persen (yoy) per September 2021. Apa akibatnya bagi negara berkembang (emerging markets) seperti Indonesia?
Dollar AS akan pulang kampung (capital outflow). Hal itu bisa mendorong nilai tukar rupiah mengalami depresiasi (melemah). Inflasi pun dapat mendaki dari kini 1,66 persen (yoy) per akhir Oktober 2021 di tengah target inflasi 3 persen plus minus 1 persen.
Di sinilah pentingnya cadangan devisa yang mencapai 145,5 miliar dollar AS per akhir Oktober 2021, turun dari 146,9 miliar dollar AS per September 2021. Posisi cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 8,5 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional yang sekitar tiga bulan impor. Alhasil, BI dapat melakukan operasi pasar ketika nilai tukar rupiah melemah.
Kondisi itu dapat menekan portofolio utang luar negeri mengingat utang luar negeri berisiko terhadap perubahan nilai tukar dan tekanan moneter. Utang luar negeri meliputi utang pemerintah dan swasta. Utang luar negeri bisa kian membengkak tatkala rupiah melemah sebagai akibat tapering off. Namun, Gubernur The Fed Jerome Powell sudah memberi aba-aba bahwa suku bunga AS belum segera naik.
Kelima, karena itu, diperlukan koordinasi mesra antara Kemenkeu dan BI. Dengan demikian, kebijakan fiskal dan moneter dapat berjalan seiring sejalan.
Nah, perlukah pemerintah membentuk unit pengelola utang yang independen? Kita boleh belajar dari negara lain. Austria dengan Austrian Federal Financing Agency, Australia dengan Australian Office of Financial Management, Inggris dengan UK Debt Management Office, Irlandia dengan National Treasury Management Agency, dan Swedia dengan Swedish National Debt Office.
Di Indonesia, utang luar negeri ditangani Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Cyrillus Harinowo, 2002).
Kita ambil UK Debt Management Office (DMO) sebagai contoh. DMO menjalankan kebijakan manajemen utang pemerintah untuk meminimalkan biaya pembiayaan dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan risiko. DMO meminimalkan biaya untuk mengimbangi arus kas bersih pemerintah dari waktu ke waktu seraya menjalankan tugas sesuai dengan tingkat risiko yang disetujui para menteri.
Tentu, tugas Ditjen Anggaran tak hanya mengelola utang pemerintah. Karena itu, saatnya bagi pemerintah untuk mempertimbangkan pembentukan unit pengelola utang yang langsung di bawah Menteri Keuangan untuk memperlancar koordinasi. Koordinasi yang mesra dapat melahirkan sinergitas tinggi untuk membangun manajemen utang yang lebih efektif dan efisien.
Koordinasi yang mesra dapat melahirkan sinergitas tinggi untuk membangun manajemen utang yang lebih efektif dan efisien.
Unit pengelola utang itu wajib berpedoman pada UU SUN Nomor 24 Tahun 2002 yang berlaku 22 Oktober 2002. UU itu bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk melaksanakan pembangunan ekonomi secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat.
Keenam, hal itu sejalan dengan pertumbuhan utang pemerintah yang makin tinggi untuk membiayai program PEN dalam melakukan pemulihan ekonomi. Upaya itu wajib didorong oleh percepatan vaksinasi.
Berbekal aneka langkah strategis demikian, utang pemerintah dapat dikelola dengan lebih prudent, profesional, tranparan, dan akuntabel. Manajemen utang yang prima dapat menekan potensi risiko keuangan negara kini dan masa mendatang.
Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI